Part 2 • Arunika

46.6K 5.7K 95
                                    

Life is 10% what happens to you and 90% how you react with it

-Charles R.Swindol-

***

Memasuki semester genap kemarin, bagiku jumat menjadi hari yang sangat menyebalkan dalam lima hari weekdays. Bagaimana aku mengatakan demikian? Karena jadwal kuliahku berjarak seperti langit dan bumi. Dengan kelas pagi yang dimulai jam tujuh pagi, dan kelas sore yang baru dimulai jam tiga sore. Sialnya lagi, kelas sore adalah praktikum yang kehadirannya harus seratus persen. It means, tidak ada kesempatan bagiku untuk membolos kelas mau bagaimana pun keadaannya.

"Ra, gue jalan dulu ya." Aku berteriak kepada Raini yang sedang menikmati makan siangnya di dapur kontrakan.

Sembari menenteng helm bogo yang sudah menemaniku setahun ini, aku berjalan keluar untuk mengambil motor scoopyku untuk on the way ke kampus. Sore ini ada kuis pra UTS yang harus aku ikuti. So, aku berangkat lebih cepat dari biasanya untuk menghindari hal-hal tidak terduga yang tidak diinginkan

Baru sampai di setengah perjalanan, tiba-tiba motorku diarahkan ke pinggir jalan oleh beberapa pak polisi yang sepertinya sedang melaksanakan operasi lalu lintas.

Aku mengikuti instruksi tersebut dengan tenang. Merasa tidak melanggar dan memiliki surat-surat dengan lengkap, tidak ada hal apapun yang perlu aku khawatirkan.

"Selamat siang, Mbak!" Ucap pak polisi sembari memberi hormat ke arahku.

Aku membuka kaca helm ku, lalu tersenyum dan berucap. "Siang, Pak."

"Mohon maaf mengganggu perjalanannya. Bisa tolong lihat surat-suratnya?"

"Bisa, Pak. Sebentar!" Aku menurunkan totebag dari lengan kananku, lalu segera mengobrak-abrik isinya untuk menemukan dompet penyelamat.

"Ada, Mbak?" Ucap si Bapak setelah aku tak kunjung juga memberikannya apa yang diinginkan.

"Sebentar, Pak." Aku sudah mulai merasa panik karena apa yang sedang kucari sedari tadi belum juga aku temukan.

"Bapak ke mas yang di sebelah dulu aja, Pak. Sambil nunggu saya cari dompet saya." Aku mencoba untuk mengalihkan fokus si bapak karena cukup terganggu, sekaligus merasa terintimidasi dengan tatapan tajamnya. Dan untungnya, si bapak menuruti permintaanku barusan

Aku menyetandarkan motorku, lalu turun dan mencoba menghubungi Raini untuk membantu. Barang kali dia tau keberadaan dompetku, karena sedari tadi belum juga berhasil kutemukan.

Nomor yang Anda hubungi sedang tidak dapat menerima panggilan.
Silahkan tinggalkan pesan atau hubungi beberapa saat lagi.

Sial!
Aku mengumpat pelan saat panggilan ketiga ku belum juga diangkat oleh Raini.

"Gimana, Mbak? Ini motornya ditinggal aja ya. Nanti saya kasih jadwal sidangnya." Ucap bapak-bapak perut buncit berseragam ini.

Aku menggeleng sembari menggigit bibir dalamku.

"Jangan, Pak. Kampus saya masih jauh, belum lagi saya ada praktikum seperempat jam lagi. Janji deh besok nggak bakal ketinggalan lagi, biarin saya kali ini aja ya Pak?" Mohon ku dengan wajah memelas.

"Nggak bisa, Mbak. Yang namanya hukum tetap hukum."

"Kalo Mbak nggak bawa STNK dan SIM nya, motornya kami sita terlebih dulu. Nanti saya kasih jadwal sidangnya buat besok."

Aku menghembuskan napas pelan. Bagaimana bisa aku tidak ingat jika dompetku tertinggal diatas meja kontrakan gara-gara tadi membeli makan siang di warteg depan . Astaga cerobohnya!

"Terus saya ke kampusnya gimana, Pak?"

"Ya terserah Mbaknya saja. Naik angkot atau ojol." Pak Polisi yang aku taksir berumur hampir setengah abad ini memberikan saran yang sesungguhnya tidak aku butuhkan.

Aku mendengkus, "Kan dompet saya ketinggalan, Pak. Mana bisa saya naik kendaraan umum. Gimana entar coba bayarnya. Maafin saya kali ini deh ya, Pak?" Aku masih belum patah semangat untuk merayu bapak polisi yang satu ini.

Kulihat pak polisi di depanku justru tersenyum sembari memandang lurus ke arah belakangku. Dan entah kenapa tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak dengan sendirinya.

"Hey kamu yang pake baju warna marun! Sini sebentar." Teriak sang bapak sembari melambaikan tangannya kepada seseorang yang sepertinya berada dibelakang posisiku berdiri.

"Itu di belakang ada yang bajunya sama kaya kamu. Saya bilangin dulu biar kasih tumpangan ke kampus!" Seketika kedua mataku membola kaget mendengar penuturan bapaknya. Ku beranikan diri untuk menengok ke belakang dan damn, cobaan apalagi ini, Tuhan?

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang