Part 33 • Raditya

17.9K 2.3K 15
                                    

Dari apa yang tertulis dalam buku berjudul positive personality karangan Rayhan Adiprabowo yang aku baca, disebutkan bahwa percaya diri adalah suatu keyakinan seseorang untuk mampu berperilaku sesuai dengan harapan atau keinginan. Apabila seseorang tidak memiliki rasa percaya diri, maka banyak masalah yang akan timbul karena kepercayaan diri merupakan suatu aspek kepribadian dari seseorang yang berfungsi untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya.

Kunci untuk mendapatkan kepercayaan diri adalah dengan memahami diri sendiri. Seseorang harus yakin dengan kemampuan dan potensi atas dirinya, dan tidak merasa pesimis serta cemas yang selalu menghantui perasaan. Rasa percaya diri dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik dan juga faktor ekstrinsik.  Faktor internal ini meliputi konsep diri, harga diri, kondisi fisik dan pengalaman hidup. Sedangkan faktor eksternal yaitu pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan.

Aku sendiri cukup percaya diri untuk mengatakan bahwa aku termasuk orang yang cukup percaya diri. Even untuk melakukan hal-hal yang di luar rencana sekalipun.

Menyatakan cinta di depan sebuah tempat makan tentu saja keluar dari rencana yang pernah ada. Kendati demikian, hal itu tak lantas membuatku merasa menyesal dan rendah diri. Aku cukup yakin apa yang aku lakukan sudah tepat dan memiliki peluang yang cukup besar untuk berakhir sesuai harapan.

Dan inilah bagaiman cara berpikir seorang Raditya Putra bekerja.

Ingatanku kembali melayang di kejadian saat di restoran.

Entah kenapa aku sudah merasa bahwa aku berkewajiban untuk treat her like as my girlfriend. Meski hubungan kami belum jelas, aku cukup yakin bahwa Ika memiliki rasa yang sama padaku.

Anyway, aku sengaja belum meminta jawaban darinya karena aku sendiri berniat mengulang menyatakannya dengan persiapan yang lebih proper. Jadi sebelum saat itu tiba, aku akan menjadi orang yang tidak tau diri dan menganggapnya sebagai pacar.

"Bang!" Ika berucap lirih sembari menarik kaus putih yang saat ini aku kenakan.

Aku menoleh ke arah samping. "Kenapa, Ka? Bosen ya?" Tanyaku padanya.

Kulihat ia menggeleng, yang aku tebak bahwa kali ini ia sedang berbohong karena menjaga perasaanku. Bagaimanapun untuk ukuran orang yang tidak sering mengikuti rapat, Ika pasti merasa apa yang kami lakukan sedari tadi sangat membosankan. Aku bahkan sudah berkali-kali meliriknya yang terus saja menguap.

"Mau ke kamar mandi dulu." Ucapnya dengan suara lirih.

"Ya udah yuk!" Aku sudah memundurkan kursi dan bersiap berdiri untuk menemaninya.

"Eh,"
"Ika sendiri aja, Bang. Abang lanjutin rapatnya." Jawabnya dengan yakin.

"Beneran?"

Aku cukup khawatir untuk membiarkannya pergi ke toilet sendirian. Sebagai seorang laki-laki, aku cukup peka bahwa dua orang perempuan di meja kami, yaitu Kaluna dan Selin sedari tadi terus saja melirik ke arah Ika.

Kaluna sendiri adalah temanku sedari kecil. Rumah kami berada dalam satu komplek, dan kebetulan sedari dulu kami selalu bersekolah di tempat sama. Orang-orang di sekitar kami seringkali menjodoh-jodohkan kami berdua. Meski dulu aku pernah berusaha untuk mencoba membuka hati padanya, tetap saja aku tidak bisa melakukan itu. Aku sudah terlanjur menganggapnya sebagai seorang adik.

Dan untungnya, dia adalah gadis yang baik dan mau menerima realitas yang ada.

Sedangkan Selin? Aku cukup ragu tentang gadis itu.

Aku tidak cukup kenal dengannya selain sebagai sahabatnya Luna. Namun beberapa kali aku pernah mendengar kabar bahwa ia pernah terlibat pertengkaran dengan beberapa perempuan. Jadi aku sangat berharap bahwa kali ini dia tidak akan berulah hanya karena aku membawa Ika ke pertemuan kali ini.

"Ika bisa sendiri. Abang sini aja." Ika berucap yakin sembari menarik kedua tanganku untuk kembali duduk.

Pada akhirnya aku terpaksa duduk kembali karena perbuatannya. Ika benar-benar merasa yakin tidak mau ditemani, jadi aku pun tidak akan memaksa.

"Toilet gak jauh dari sini kali Bi, Arunika gak bakal ilang." Leo tiba-tiba menyeletuk, yang langsung ku respon dengan tatapan sinis.

Bocah ini memang sedari tadi memperhatikan interaksi ku dengan Ika entah untuk alasan apa. Pasti sengaja ingin meledekku, dasar bocah sialan!

"Ya udah ati-ati," Pesanku sembari mengacak pelan rambutnya.


***

Aku langsung kehilangan fokus saat menyadari bahwa Kaluna dan Selin sudah tidak berada di tempatnya. Entah kemana perginya keduanya, yang jelas Ika yang tidak kunjung juga kembali membuatku khawatir. Aku takut Selin akan mengajak ribut Ika, atau bahkan mengatakan hal-hal yang aneh dan mempengaruhi pikirannya.

Dan sialnya, aku tidak bisa menyusul karena sebentar lagi adalah bagianku untuk berbicara dan mendiskusikan beberapa hal.

"Oke dari gue mungkin segitu dulu. Buat progress ke depannya bakal gue kabarin besok." Tukasku sebelum menutup apa yang aku bicarakan sedari tadi.

Barusaja mengucapkan terima kasih, satu gelas air mineral tiba-tiba sudah berada tepat di depanku. Aku menoleh ke samping dan menemukan Ika yang sudah duduk manis dan menyunggingkan senyumnya padaku. "Minum dulu, Bang."

Aku membalas senyumnya. "Terima kasih, Ka."

Sepertinya kekhwatiranku hanyalah asumsi saja. Ika masih terlihat baik-baik saja dan tidak berubah dari sebelumnya. Semoga memang benar bahwa apa yang aku takutkan tidak pernah terjadi.

"Gak terjadi apa-apa kan?" Tanyaku setelah meminum minuman pemberiannya.

Kulihat Ika terdiam. Tidak langsung memberikan jawaban dan membuatku kembali merasa was-was. "Nggak ada apa-apa, Bang. Kan Ika cuma ke kamar mandi tadi."

Aku tersenyum. "Syukurlah..."


***

"Makasih ya, Ka buat hari ini." Ucapku setelah sampai di depan kontrakannya.

"Sama-sama, Bang."

"Ka..... Soal yang tadi..."

"Bang..." Tukasnya memotong kalimat yang aku ucapkan.

"Ya?"

"Jangan di bahas dulu ya.... Kasih Ika waktu." Ucapnya dengan menunduk.

Aku tersenyum. Sepertinya Ika merasa kurang nyaman untuk membicarakan hal ini sekarang. "Take your time, Ka."

"Tapi jangan lama-lama ya...." Lanjutku setelah Ika mendongakkan wajah dan menatapku.

"Ika usahain, Bang."

"Ya udah kalo gitu.  Sana gih masuk, udah malem." Aku menyuruhnya untuk segera masuk karena udara di luar cukup dingin.

"Abang hati-hati di jalan ya...." Pesannya sebelum berlalu masuk.

Tingkat DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang