Part 12 • Arunika

25.9K 3.4K 101
                                    

Jangan biarkan kesalahan masa lalu menentukan kehidupan kita di masa sekarang dan yang akan datang

***


Entah mengapa aku tiba-tiba teringat akan perkataan guru sejarah di tempatku sekolah dulu. Tentang alasan penggunaan bahasa latin dalam kesejarahan karena bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi secara umum. Sehingga tidak dimungkinkan untuk berkembang dan menghasilkan istilah baru yang mungkin saja dapat memicu kebingungan.

Bahasa adalah sesuatu yang dinamis. Berkembang mengikuti zaman, dan terus bertambah sesuai situasi dan kondisi yang sedang terjadi.

Salah satu pengaruh dari perkembangan bahasa yaitu maraknya penggunaan bahasa gaul (prokem). Prokem adalah variasi bahasa informal yang dipakai dan digemari oleh kalangan remaja. Dan pada umumnya, bisa sedikit aneh dan memiliki makna yang cukup berbeda dari kedengerannya. 

Sebut saja kentang, bukan jenis ubi yang biasa dikenal melainkan sebuah akronim dari kena tanggung atau situasi nanggung alias situasi yang bisa dikatakan berada di tengah-tengah. Contoh realnya, aku sendiri. 

Arunika. Arunika si mahasiswa kentang. Seorang mahasiswa biasa tanpa embel-embel shining simmering splendid yang melekat dalam dirinya, tetapi disisi lain bukan juga mahasiswa kuper yang anti sosial. Aku adalah satu dari tujuh miliar manusia di bumi ini yang tidak spesial. Tidak dikenal banyak orang selain dalam circle tempatku bersosialisasi, serta tidak memiliki followers ribuan karena jarang sekali upload foto atau ig story di instagram. 

So, ini adalah disclaimer yang aku tunjukan untuk memberikan kesadaran pada diri sendiri bahwa  kisah cintaku juga mungkin hanya akan menjadi one side love story yang tidak menarik untuk diikuti. 

"Yo, lo yakin gue nggak harus ngapa-ngapain kan?" Tanyaku saat kami berjalan bersisian setelah keluar dari sholat ashar tadi. 

Rio hanya mengangguk, sembari mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam di pergelangan tangannya. "Buruan Run, kita udah telat." Ucapnya sembari mempercepat langkahnya. 

Aku hampir seperti berlari karena tidak mampu mengimbangi langkahnya. Dan sialnya ketika aku sudah berusaha begitu besar, nyatanya kami tetap saja terlambat ketika melihat pintu ruangan tujuan kami yang sudah tertutup rapat. 

"Assalamu'alaikum," Rio mengetuk pintu sembari membukanya sedikit untuk mengintip situasi dan kondisi di dalam sana. 

Aku sendiri berdiri di belakangnya, sambil berdoa supaya orang di dalam sana tidak terlalu banyak karena mungkin saja aku akan merasa sangat malu. 

"Punten, tadi sholat dulu." Rio mengkonfirmasi alasan keterlambatan kami yang aku duga masih bisa ditoleransi. 

Aku tidak tahu orang-orang di dalam ruangan itu mengangguk atau tidak. Tapi dengan melihat respon Rio yang tenang dan melenggang masuk dengan tanpa beban pun membuatku langsung yakin jika keterlambatan kami tidak perlu diperdebatkan. 

Aku berjalan menunduk di belakang Rio tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar. Langsung menarik satu buah kursi yang tepat berada di sebelah kanan kursi yang ia duduki, tanpa sadar bahwa di sisi yang lain telah duduk sesosok laki-laki yang belakangan ini sering mengisi pikiran ini. 

"Hai." Suara di sebelah langsung membuatku menoleh tanpa ragu. 

Mulutku mungkin melongo karena terlalu syok akan kenyataan ini. "Abang.. " Beoku yang dibalasnya dengan senyuman. 

"Lucu banget sih... " Lanjutnya yang samar-samar kudengar dengan ragu. 

"Eh, kenapa Bang?" Tanyaku memastikan dengan suara pelan, tapi tetap jelas agar dapat dengan mudah untuk di dengar. 

Tingkat DuaWhere stories live. Discover now