NARENDRA[23]

128K 14.2K 1.6K
                                    


°°°

Anggota Morvesca buru-buru turun dari motornya begitu melihat Langit yang berada di pangkuan Nalva dengan berlumuran darah.

Parkiran tempat mereka berada sekarang ini bukan parkiran utama rumah sakit Pelita Lara. Parkiran ini terletak lumayan di belakang rumah sakit, jadi parkiran tersebut lumayan sepi karena terletak lumayan jauh dari parkiran utama. Parkiran tersebut juga tertutup dan lumayan usang.

Elio dan Candra masuk dari parkiran utama karena mereka harus mengantar Aji terlebih dahulu, jadi mereka tidak tahu keadaan Langit saat ini.

Hans merasa kakinya lemas, Hans adalah laki-laki yang paling dekat dengan Langit, bahkan mereka sudah berteman sejak SMP hingga orang-orang selalu mereka adalah anak kembar.

Hans mendorong tubuh Nalva pelan, laki-laki itu berjongkok dan mengguncang tubuh Langit, tetapi tidak ada reaksi apapun. Hans mengecek denyut nadi Langit, seketika jantungnya hampir berhenti karena tidak merasakan apapun.

Langitnya telah pergi.

"Lang bangun" Suara Hans berubah serak, aura khasnya pun hilang seketika. Hanya ada raut sedih dan penyesalan, hanya ada rasa kehilangan dan dan tidak ingin melepaskan.

"BANGUN ANJING!" Sentak Hans.

Hans menatap perut Langit yang masih tertancap pecahan kaca, wajahnya yang penuh luka, dan darah yang mengalir di mana-mana.

"Lang gue mohon.." Hans mengeluarkan air matanya untuk pertama kalinya di depan anggota Morvesca. "Gue mohon bangun.." Sambung laki-laki itu dengan suara tertahan.

"LANG— "

BUGH!

Satu bogeman mendarat mulus di wajah Hans. Naren juga tidak percaya Langit akan pergi secepat ini. Tapi apa boleh buat? Siapapun tidak bisa mengubah apapun.

"Ikhlasin" Kata Naren.

Hans menggelengkan kepalanya cepat, anggota Morvesca tidak pernah melihat Hans seperti ini, tapi mereka semua tau Langit sangat berharga bagi Hans. Bukan hanya bagi Hans tetapi bagi semua anggota Morvesca.

°°°

Naren meninju tembok tanpa henti, tangannya sudah berlumuran darah bahkan tangannya sudah membiru karena terus di hantam oleh tembok. Laki-laki itu sama sekali tidak perduli, kedua tangannya terus dia gunakan untuk menghantam tembok seolah tembok itu akan bergeser karena tinjuannya.

"BANGSAT!" Makinya keras di belakang rumah sakit, dirinya pergi saat jasad Langit sedang di bersihkan tadi.

Naren merasa bersalah, tidak sedetik pun dia bisa melupakan rasa bersalahnya. Rasa bersalah itu akan terus menghantuinya kemanapun dia melangkah. Laki-laki dengan keadaan jauh dari kata baik itu duduk dengan luruh, bersandarkan tembok putih yang di hiasi sedikit bercak darah akibat ulahnya sendiri.

Fardan. Laki-laki itu harus mati di tangannya. Kemanapun itu Naren akan mengejar Fardan dan menghabiskan laki-laki itu. Tapi sekarang Fardan pasti sudah menjadi buronan polisi, kejadian di parkiran rumah sakit tadi sudah masuk berita di televisi, tapi sebelum itu Naren sendiri yang akan menangkap Fardan.

Naren berdiri dengan sedikit terhuyung, tangannya terasa sakit, belum lagi luka-luka di badannya dan di wajahnya karena melawan Wira dan beberapa anggota Volien tadi.

Naren melangkah ingin meninggalkan area rumah sakit tapi sebuah suara hangat menghentikan langkahnya.

"Kak. . " Panggil Nalva pelan.

Naren menoleh dengan garis wajah yang tak dapat di baca, hanya datar seperti tak ada perasaan apapun yang ada di hatinya. Tidak sedih, tidak kecewa, tidak marah, tidak bahagia. Hanya wajah yang datar tidak menunjukkan ekspresi apapun.

NARENDRAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin