MEMORY || 39

Mulai dari awal
                                        

Langkahnya kembali ia bawa cepat mengambil dua buah tas abu berukuran sedang di meja makan dan segera melesat menggunakan sepatu lalu turun menuju parkiran dimana Yoongi sudah menunggunya.

"Hyung, kenapa kau lama sekali."

Benar apa kata Seokjin 'kan? Ia baru saja menutup pintu tapi sapaan yang ia dapatkan justru semenjengkelkan itu.

"Kau punya mata untuk melihat seberapa banyak bawaanku bukan?"

Dan bukan Kim Seokjin jika diam saja diperlakukan seperti itu oleh manusia semacam Yoongi.

Taehyung? Ia asik menatap perdebatan itu sembari mengabsen berapa banyak wadah yang Seokjin masukan kedalam tas makanan berwarna abu gelap yang kakaknya bawa.

Perjalanan mereka terlampau hening kala gumpalan awan bercorak jingga berhasil mengambil alih atensi ketiganya. Cahaya hangat matahari senja berpadu lembut bersama putihnya arakan awan menuju akhir peradaban hari. Ketiganya memilih tenggelam dalam pikiran masing-masing sembari meresapi udara yang terasa sangat ringan saat dihirup. Menikmati waktu yang selama dua tahun terakhir tak pernah membiarkan mereka tersenyum tulus seperti saat ini.

Padat jalanan Seoul di sore hari, pantulan manis cahaya matahari pada tenangnya riak sungai Han, kuasa alam berhasil membangkitkan sisi hangat pada setiap jiwa yang hampir mati. Seokjin tersenyum simpul sembari melirik kedua adiknya yang duduk dibangku depan.

Rasanya benar-benar seperti ia telah pulang ke tempat dimana dirinya seharusnya. Dimana mereka seharusnya.

Yoongi tak kalah menghangat, kala melalui kaca kecil itu dirinya bisa melihat senyuman sang kakak juga lewat lirikan matanya, ia bisa menemukan sisi cerah Kim Taehyung telah kembali. Inikah ... waktunya ia diizinkan kembali bahagia?

Jemari Taehyung bergerak pelan menurunkan kaca jendela mobil sedikit lebih rendah. Kedua netranya serempak terpejam kala terpaan lembut angin menyapa wajahnya. Ia tersenyum. Rasanya udara benar-benar terasa menyegarkan kembali jiwa Taehyung yang sudah terlalu lama terkurung dalam gua gelap keputusasaan.

***

Disisi lain, Park Jimin sedang fokus menatap Namjoon yang baru saja menumpahkan segelas jus yang dirinya beli dari cafetaria Rumah Sakit. Pemuda berbaju pasien yang menyadari dirinya ditatap jengkel oleh sang adik hanya bisa tersenyum canggung sembari perlahan mendekati meja dengan tissue diatasnya.

Untuk apa? Tentu saja untuk membersihkan kekacauan yang dirinya buat. Tapi belum sempat Namjoon bergerak meraih tissue itu, tangan Jimin telah lebih dulu meraihnya dan mengelap tumpahan jus pekat itu.

"Astaga! Kau baik-baik saja?" Sapaan yang cukup heboh berhasil membuat Namjoon dan Jimin menoleh serentak ke asal suara.

Seokjin dengan tergesa menghampiri Jimin yang masih berjongkok di dekat cairan berwarna merah itu sembari menatap sang adik khawatir. "Kau baik-baik saja? Atau ini ulah Namjoon?"

Jimin menatap heran kearah kakaknya. "Hyung, ini--" Ia bahkan tak sempat mengatakan apapun karena Seokjin dengan panik justru menangkup pipinya dan melihat apakah ada luka diwajah adiknya.

Tunggu sebentar... Seokjin?

"Padahal sudah terlihat jelas itu jus strawberry, apa hyung benar-benar berpikir itu darah?" Celetukan Yoongi memang tak pernah salah sasaran. Tubuh Seokjin seketika membeku ketika mendengar ketiga adiknya yang lain -minus Jimin yang masih kesulitan berbicara karena tangannya- sudah terkekeh geli.

Sial. Dia benar-benar malu setengah mati.

"Ekhem." Seokjin berdehem cukup keras sebelum merebut paksa tissue pada tangan Jimin dan menggantikan sang adik membersihkan cairan 'merah' itu. Mengalihkan seluruh rasa malunya dengan berpura-pura membantu sang adik membersihkan kekacauan yang sudah jelas pasti ulah Kim Namjoon. "Seharusnya kau lebih berhati-hati. Lihatlah, aku bahkan tidak perlu bertanya ini ulah siapa." Entah Seokjin berkata pada siapa, ia hanya ingin menjaga harga dirinya tetap tinggi. Demi Tuhan, hanya itu.

기억 MEMORY || BTSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang