CHAPTER 50

90 7 0
                                    

AWARE

“Jangan pernah mengemis untuk meminta seseorang selalu berada di sisimu. Jika dia benar mencintaimu, dia akan melakukannya tanpa perlu meminta.”

✈✈✈

Raksi angsana telah menyelimuti jumantara. Satu per satu kusuma gugur pada datum kedua. Puan memejamkan mata kala beratma. Angsana tiba memelawa ketentraman.

Netra menjerat sosok teruna. Parasnya begitu mempesona hingga puan terpana. Namun teruna tak membuktikan kesantunan. Sira telah membinasakan seulas senyum malu.

Dari tangannya terdapat sepucuk surat bernuansa suci. Puan tak tahu pasti apa isi di dalamnya. Namun presensi surat itu menjadi penyulut utama sang teruna beralih.

"Tumben sekali Bapak meminta saya ke sini seorang diri," sambutnya. "Apakah ada yang mau Bapak bicarakan pada saya?"

Puan terpaku kala melayangkan pandang ke sepucuk surat di depannya. "Ini surat apa, Pak?"

Jemarinya mencarik punca surat. Di dalam sana dia berjumpa dengan selembar kertas. Netra menilik satu per satu kata yang tercantum. Namun tak ada yang mengetahui mengapa bibirnya bungkam.

Kini sendu yang menghiasi paras wajahnya. Netra pun terlihat begitu gemerlap. Dari sudut bersemi tirta bening menghilir di pipinya. Barangkali ada materi yang begitu hebat mengundang tirtanya.

Iya, hati puan telah remuk. Sangat remuk. Memandang sendu dua untai nama yang bersanding di selembar kertas. "Bapak... akan menikah," lirihnya.

Teruna mengangguk pelan dengan wajah yang bersembunyi. Rasanya begitu canggung bila dia melihat wajah sang puan saat ini. "Iya, Bu Siti."

Siti, nama sang puan, melihat teruna duduk di sampingnya. Ratapan itu kian sendu. Agaknya dia tak mampu lagi membendungi tirta.

Teruna menjamah pelan sebuah tangan di atas pangkuan. Sentuhan pertama dan terakhir itu sangatlah lembut. "Terima kasih karena telah menyukai saya."

Lantas Siti menolehnya. Tanpa rasa malu dia menunjukkan netra merahnya. Tekstur wajah kini berlapis dengan cairan bening yang berpunca dari netra. Bagaimana bisa dia tahu dengan perasaanku?

Teruna memandangnya teduh. Dia begitu prihatin dengan keadaan Siti saat ini. "Tapi saya minta maaf. Saya tidak bisa membalas perasaan Ibu."

Retak. Satu tangan menjamah pelan di dada. Rasanya sangat menyakitkan. "Apa... saya tidak cantik, Pak? Apa saya tidak menarik... di mata Bapak?"

Teruna menyeka tirta yang tak mengenal henti membasahi parasnya. Bibirnya menarik pelan hingga membentuk lengkung, meski saat itu dia takut untuk melakukannya. "Ibu sangat cantik di mata orang yang tepat," tuturnya pelan. "Namun sayangnya orang itu bukanlah saya."

"Pak Ali...." lirihnya memanggil nama teruna itu. "Tolong beri saya kesempatan terakhir... untuk menjadikan Bapak sebagai orangnya." Siti mendekap tangannya begitu erat.

Ali kembali tersenyum seraya melepas tangannya. "Izinkan saya untuk bahagia, Bu." Kemudian Ali beranjak dari bangku itu. "Saya harap Ibu juga menemukan bahagia Ibu bersama orang yang tepat itu," pungkasnya.

Siti masih memandanginya dari sana. Teruna itu sudah berjalan begitu jauh. Meski sudah terhempas, meski sudah rusak, meski sudah remuk, nyatanya dia selalu berharap agar teruna berpaling. Namun nyatanya tidak.

"Pak...Ali," lirihnya. Kini puan bersembunyi dibalik telapak tangan. Dia menyembunyikan duka lara itu di sana.

Bahana gemuruh seolah menyambut duka lara. Datang di waktu yang tepat dan di saat yang tepat. Netra berbinar menuju cakrawala. Berjuta air luruh dalam satu masa. Kedua telaga kini saling melebur.

10 Years Ago ✓Where stories live. Discover now