CHAPTER 45

222 14 35
                                    

COMFORT

“Menemukan kenyamanan dengan seseorang itu sulit. Maka jagalah dia ketika kamu telah menemukannya. Jangan sia-siakan jika kamu tidak ingin menyesal di kemudian hari.”

✈✈✈

Seseorang mengenakan kaos hitam berdiri di ambang pintu. Manik matanya mengedar ke penjuru ruang, memperhatikan satu per satu objek yang ada di sana. Lalu manik mata itu fokus pada sebuah benda berwarna cokelat. Benda itu biasa dipakai oleh pemiliknya setiap pergi ke sekolah. "Itu bukannya tas Andin?"

Dia melangkah menuju tas cokelat di atas meja belakang. Sepasang mata memperhatikan tas itu dengan seksama. Tas itu tertutup rapat. Sepertinya tak ada barang yang dicuri atau pun hilang.

Mungkin dia masih melukis.

Lalu dia mengambil tas itu dan membawa ke bangkunya. Dia berniat untuk mengembalikan tas itu secara langsung kepada pemiliknya. Setelah dia memasang tas di punggungnya, dia pun membawa tas cokelat itu kemana pun dia pergi. Langkahnya lurus menuju sebuah ruang di ujung koridor.

Suara gesekan sepatu dan ubin koridor begitu kentara. Indra pendengaran menangkap derap langkahnya sendiri. Iya, tempat ini begitu sunyi. Tak ada seorang pun yang melintas selain dirinya. Semua orang telah pulang ke rumah, dapat terhitung beberapa orang saja yang masih berkepentingan di sini.

Kala itu dia mendengar gelak tawa beberapa siswi. Suara itu menggema di sekitar sehingga dia tidak bisa mengetahui dari mana asalnya. Lalu manik matanya menangkap beberapa siswi berjalan beriringan di koridor samping. Salah seorang membawa benda berbentuk kotak yang tertutupi kain putih.

Dia menilik wajah satu per satu siswi. Tak ada seorang pun yang dapat dia kenali. Wajah mereka masih asing dalam ingatannya. Dia pun memilih berlalu dan melanjutkan langkahnya, tak memandang curiga pada mereka.

Tak jauh dari ruangan yang dituju dia tak menangkap suara apa pun. Bukankah setidaknya ada meski terdengar abstrak. Tapi mengapa ruang itu sunyi seolah tak ada seorang pun yang berada di sana?

Dugaannya pun benar. Dia tak menemukan seseorang yang menjadi alasannya datang ke ruangan ini. Keadaan begitu kelam dan sunyi. Hanya angin ribut yang dapat indra pendengarannya tangkap.

Andin dimana... nggak mungkin dia pulang duluan.

Dia memandang lama kursi di depan easel. Di atas kursi itu terdapat sebuah ponsel berbentuk daun. Dia melangkah menuju bangku itu dan mengambil ponselnya. Tak salah lagi, ponsel ini milik teman satu kelasnya.

Atau mungkin dia lagi di serba guna...

Kali ini dia mengubah rute perjalanan ke ruang serba guna, tepatnya di samping kantor guru. Dia berjalan lurus melewati koridor yang akan membawanya menuju kantor guru. Durasi langkahnya kian memburu seperti dikejar waktu.

Sesampainya di sana dia tak menemukan seorang pun. Dia melangkah cepat mengitari ruang besar ini seraya menilik satu per satu karya. Mencari salah satu nama dari pembuat mahakarya.

Lukisan Andin belum ada di sini.

Rasa cemas pun berkecamuk di jiwanya. Ratusan bulir kini menitik di kening dan pelipisnya. Dia pun berlari menyusuri sekolah ini seraya menyebut nama temannya. Tak perduli sudah ribuan langkah yang dia habiskan untuk mencari keberadaannya. Yang menjadi hal penting baginya saat ini hanyalah Andin.

10 Years Ago ✓Where stories live. Discover now