CHAPTER 43

265 17 18
                                    

ANOTHER SIDE

“Bersyukurlah atas apa yang Tuhan takdirkan untukmu. Kamu tidak akan pernah tahu bahwa orang di luar sana menginginkan hidup sepertimu, sedangkan kamu tidak mensyukurinya.”

✈✈✈

Minggu, 8 Januari 2006

Mentari pagi membawa pesan baik kepada semua orang, bahwa hari ini adalah hari yang indah untuk melakukan segala aktivitas. Meski hanya ada satu mentari, dia dapat menemani kita kapan pun dan dimana pun.

Andin memperhatikan suasana di sekitarnya dari balik jendela mobil. Para pejalan kaki, para pemotor, para pemobil, para penjual koran, dan yang lainnya telah berperan baik seperti yang Tuhan amanahkan.

Mobil sedan itu memperlambat laju hingga menepi di pinggir jalan. Kendaaraan itu berhenti tak jauh dari seorang pedagang yang pernah dia temui beberapa waktu lalu.

"Kita turun dulu," titah seseorang di sampingnya. Pemilik perut buncit itu membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.

Sejenak Andin melihatnya memberi lambaian tangan pada pedagang itu. Kemudian dia membuka pintu mobil dan bergegas keluar.

"Syafril," tegur pedagang itu. Dia mengambil bucket hat di atas kepala untuk menyeka keringat di wajah dan lehernya.

Syafril mempercepat langkah dan memeluk pedagang itu. Tubuhnya sedikit hangat karena dia beraktivitas di bawah sengatan mentari pagi .

Andin melangkah pelan menghampiri mereka. Sudut bibirnya perlahan menarik hingga membentuk lekukan tipis.

Syafril melepas pelukan itu dan beralih melihat anaknya. "Kenalan dulu, Din. Ini temen sekolah Ayah dulu di sekolah, namanya Edi," jelasnya.

Andin meraih tangannya serupa bersalam. "Nama saya Andin, Om." Manik mata membulat usai meraba tangan berpermukaan kasar milik pedagang itu.

Sedetik pun Andin tak melepas perhatiannya dari orang itu. Kulit gelapnya terlihat banyak kerutan, terutama di bagian kening. Dia terlihat berbeda dengan Syafril yang berumur sama dengannya.

Edi menunjukkan senyum tulus, lalu dia beralih menatap Syafril. "Anak kamu cantik sekali."

Syafril mengangkat kepala. Dia tampak begitu percaya diri. "Iya, dong. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya."

Edi membalasnya dengan tawa kecil, sementara Andin tak memberi respons apapun. Dia sibuk menilik beberapa barang tersusun rapi di atas terpal merah. Barang itu merupakan barang dagangan Edi. Kebanyakan barangnya didominasi kebutuhan rumah tangga. Selain itu dia juga menjual majalah dan koran yang dia ambil dari perusahaan percetakan, sebagai kaki tangan.

Lalu manik matanya fokus menilik satu kalimat yang diketik dengan huruf besar dan ditebalkan dari salah satu koran. Salah satu kata dalam penyusunan kalimat itu membuatnya mendengkus kesal. Banjir.

Ah, sudah biasa terjadi di pulau kecil dengan penduduk terbanyak ini. Mau berapa kali berganti pemimpin tetap saja masalah banjir tak kunjung usai. Semua hanya klise belaka; 'Bila saya menjadi Pemimpin di daerah ini, saya jamin Jakarta bebas banjir'. Nyatanya Jakarta masih saja banjir dan seiring bertambah tahun debit ketinggian air semakin parah.

"Kamu kelas berapa, Andin?" tanya Edi.

"Kelas sepuluh, Om."

"Sama seperti anak saya," ungkapnya. "Sekolahnya dimana?"

10 Years Ago ✓Where stories live. Discover now