Yoongi masih berdiri kaku di tempatnya, tak berani beranjak sedikitpun semenjak Seokjin menyisakannya sendiri di ruangan ini ... bersama Jungkook. Sang kakak memintanya untuk tetap disini karena Jungkook tak bisa ditinggalkan sendirian sedangkan dirinya harus mengecek keadaan Namjoon. Walau pada akhirnya Yoongi juga menyadari, kakaknya itu sedang memberikannya waktu.

Saat dimana dirinya hanya berdua bersama sosok yang jauh di lubuk hatinya begitu Yoongi rindukan. Selama ini memang dirinya saja yang terlalu bodoh karena tak pernah mau mengakui akan rasa yang ia punya. Yoongi terlalu banyak menyangkal dan bahkan mengubahnya menjadi rasa benci tanpa pernah tahu kebenaran akan apa yang sosok itu alami selama ini.

Yoongi ingin mendekat. Rasanya begitu gila saat ia bisa menatap lagi sosok sang adik secara nyata namun dirinya tak bisa mengikis jarak lebih dekat lagi. Yoongi merasa tak pantas namun sisi lain dirinya begitu merindukan adiknya.

Kedua netranya sama sekali tak lepas menatap lekat setiap inci tubuh Jungkook. Memperhatikan dengan seksama dan menyadari bahwa tubuh yang dulu sempat tumbuh lebih besar darinya itu kini berubah begitu kurus. Wajahnya bahkan pucat dan ... dan ... sialnya kedua mata bulat kesukaan Yoongi itu pun terpejam begitu erat.

Hantaman sesak itu semakin menjadi. Dadanya terlihat naik turun dengan cepat bersusah payah mengontrol nafas yang berantakan karena menahan desakan tangis di pelupuk mata. Tubuh dan hatinya memaksa Yoongi untuk segera mendekat dan merengkuh tubuh lemah dihadapannya, namun logika masih memenjarakan Yoongi dan terus mengatakan bahwa dirinya sama sekali tak pantas untuk melakukan hal itu.

Dosa Yoongi terlalu banyak. Sudah cukup karena Yoongi hanya akan menyakiti sang adik jika dirinya berada didekatnya. Bahkan, bukankah Yoongi juga yang membuat sosok itu kini terbaring tak sadarkan diri dengan luka sayat di pergelangan tangannya?

Pertahanan Yoongi akhirnya hancur. Setitik air mata berhasil menerobos netra kirinya dan memicu genangan itu mengalir membasahi lagi pipi putih pucatnya.

"Jungkook-ah... hiks. Jungkook-ah..." lirihan serak itu terdengar perih. Rasanya begitu sakit walau untuk mengeluarkan satu nama yang sejak dua tahun lalu tak pernah mau dirinya sebut.

"Jungkook-ah..." Tubuh lemah itu akhirnya dengan sempurna luruh ke lantai. Sosoknya berlutut masih dengan menghadap ranjang Jungkook. Bahkan mata yang semakin sembab itu pun masih tetap memandang tepat pada wajah sang adik.

Sosoknya mulai membangun harapan akan kedua mata itu lekas terbuka lalu memberikannya hukuman seberat mungkin. Rasanya sungguh menyiksa Yoongi karena tembok terakhir yang terbangun di antara keduanya baru akan benar-benar hancur jika Jungkook telah menghukumnya.

Yoongi tak akan pernah bisa melewati batas kokoh itu. Tak akan pernah.

"Jungkook-ah... hiks. Kumohon bangunlah dan hukum aku, hiks."

"Jangan pernah maafkan aku sebelum kau menghukumku, hiks... Jungkook-ah, bahkan rasanya lebih baik kau benar-benar membunuhku daripada terus menatapmu yang tak bergerak sama sekali."

"Bangun, Jungkook! Bangun! Kumohon bangun dan hukum aku."

"Biarkan aku saja yang terbaring di sana. Biarkan aku saja yang menggantikan semua rasa sakitmu."

"Jungkook-ah... aku... aku... aku merindukanmu. Banyak orang yang merindukanmu, Jungkook. Tolong, bangunlah. Kumohon."

Kepala Yoongi kini menunduk begitu dalam. Dirinya sudah tak sanggup lagi untuk terus menatap Jungkook yang sama sekali tak menjawab pertanyaannya. Demi apapun, itu benar-benar membunuhnya. Rasa begitu sakit dan sesak.

Waktu berlalu tapi tangisannya semakin justru semakin menjadi. Bibirnya terus menggumamkan kata dan permohonan yang sama. Memanggil tanpa lelah nama sang adik dan berharap dirinya akan mendapatkan balasan.

기억 MEMORY || BTSWhere stories live. Discover now