24: Mulai tahu

9 3 0
                                    

Renjana sedang memasak nasi liwet, ayam goreng, dan juga tempe goreng. Ia sengaja memasak ini untuk Gemintang. Rencananya, karena hari ini tanggal merah, Renjana akan mengantarkan makanan ini ke rumah Gemintang. Ia membutuhkan waktu satu jam untuk mempersiapkan ini hingga selesai.

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Renjana memasukkan kotak bekal ke dalam tas dan mengunci kamar apartemennya. Renjana langsung menuju rumah Gemintang.

Sesampainya di rumah Gemintang, Renjana melihat ada dua mobil yang terparkir di garasi Gemintang. Tidak biasanya. Renjana tidak langsung masuk, ia mengamati dari jauh dan samar-samar mendengar suara percakapan.

"Tumben papa dan mama pulang. Ada apa?" ucap lelaki yang sangat dikenal Renjana. Siapa lagi kalau bukan Gemintang.

"Memangnya tidak boleh?" tanya seorang perempuan.

Gemintang diam. Ia malas menanggapi ucapan papa dan mamanya. Bukan benci, tapi kecewa karena mereka jarang memperhatikan dirinya.

"Papa dan Mama pulang itu karena kami rindu sama kamu. Kami juga ingin menghabiskan waktu bersama kamu," sahut Rudy.

"Mama tau, kamu mungkin marah karena kita jarang pulang, tapi mama rindu kamu Gemintang," timpal Mariska.

Sebenarnya Gemintang juga merindukan dua sosok malaikat di hidupnya itu. Namun, ia sudah malas karena selama ini mereka seperti menelantarkan dirinya. Tidak peduli tentang apa yang ia lakukan.

Gemintang bangkit dari duduknya lalu keluar dari rumah. Ia ingin mencari angin segar di taman kompleks rumahnya. Gemintang terkejut saat melihat Renjana ada di depan rumahnya. Sementara Renjana, ia sama terkejutnya karena kemunculan Gemintang secara tiba-tiba. Tanpa berbicara panjang, Gemintang mengajak Renjana menuju taman kompleks.

"Maaf, tadi gue nggak sengaja dengar semua percakapan itu," ucap Renjana.

Gemintang tidak menjawab. Rahangnya mengeras.

"Kalau boleh tau, itu orang tua lo?"

"Jangan ikut campur masalah gue. Itu orang tua gue atau bukan, semuanya bukan urusan lo. Anggap aja semuanya nggak pernah terjadi. Lo nggak pernah dengar percakapan itu."

Bibir Renjana membisu. Ia sangat takut jika Gemintang marah karena dirinya.

"Kalau gue boleh saran nih, ya. Sebaiknya kalau ada masalah diselesaikan baik-baik. Jangan main pergi kayak gini."

Gemintang menatap Renjana dengan tatapan elangnya. Ia sangat tidak suka dengan orang yang mencoba ikut campur dengan masalahnya. Sebab, ia menganggap orang lain tidak akan paham menjadi dirinya.

"Jangan main pergi gitu aja? Lantas, apa bedanya sama lo? Lo juga pergi gitu aja kalau ada masalah sama Bunda dan Papa lo, kan? Bahkan lo sampai hilang tanpa jejak beberapa hari. Itu yang lo bilang diselesaikan dengan baik-baik?"

Renjana tercekat. Ia tidak menyangka jika Gemintang menanggapinya seperti itu.

"G-gue? Gue tau kok, hidup gue belum bener. Gue juga nggak berhak untuk tahu kehidupan pacar gue sendiri. Gue tau, gue cuma sampah yang numpang hidup sama lo. Gue cuma butuh lo terbuka. Apa itu salah? Gue pengin dengar keluh kesah lo. Gue pengin kita lewatin ini bareng-bareng. Tapi apa? Lo malah bilang gue kayak gitu. Gue tau, semua itu emang benar. Gue nggak berhak untuk tau semua tentang hidup lo."

Air mata Renjana sudah tidak tertahan lagi. Ia menyeka air matanya dan menaruh makanan yang dibuatnya secara spesial untuk orang yang spesial juga.

"Jangan lupa dimakan. Makanan itu spesial untuk lo. Maaf dan terima kasih," ucap Renjana lalu berlari menjauh dari Gemintang.

Sementara Gemintang, ia menatap Renjana dengan tubuh yang membeku. Otaknya seakan berhenti sejenak.

"ARRGHH! Nggak seharusnya gue ngomong gitu!" ucap Gemintang sambil memukul kursi taman.

***

Renjana sudah berada di apartemen. Ia membuang tasnya ke segala arah. Untuk kesekian kali, ia hancur. Renjana duduk sembari menatap suasana Jakarta di siang hari. Air matanya jatuh seolah tak ingin berhenti. Untuk kesekian kalinya juga, ia sangat rapuh.

Ada suara ketukan pintu di apartemen Renjana. Ia tahu, mungkin itu adalah Gemintang yang ingin meminta maaf padanya. Renjaan sengaja tidak membukakan pintu karena ia sedang ingin sendirian untuk saat ini.

"Renjana, buka," ucap Gemintang.

Renjana tidak merespon apa-apa. Ketukan pintu semakin terdengar kuat.

"Maaf, nggak seharusnya gue ngomong kayak gitu. Gue bodoh banget. Maafin gue. Gue nggak mau nyakitin hati lo. Maaf, maaf, dan maaf. Tolong buka pintunya, gue bakal jelasin semuanya. Tentang keluarga gue dan kehidupan gue."

Renjana berada di balik pintu. Sebenarnya, ia ingin membuka pintu apartemennya. Namun hatinya masih terasa sakit jika harus bertemu dengan Gemintang lagi.

"Plis tolong buka."

Logika Renjana tidak sejalan dengan hatinya. Entah ada angin apa, Renjana membuka pintu apartemennya dan membiarkan Gemintang masuk.

Gemintang lega karena pintu ini terbuka. Ia menatap mata Renjana yang sangat sembap.

"Lo nangis?"

Renjana diam.

"Maaf, gue udah bikin lo nangis."

"Mau apa kesini?" tanya Renjana.

"Gue mau jelasin semuanya."

"Apa yang perlu dijelaskan? Gue siapa disini? Gue bukan siapa-siapa yang berhak tau atas kehidupan lo. Gue cuma pacar yang nggak dianggap disini."

Gemintang diam. Ia tidak tahu harus merespon apa. Gemintang ingin bersuara, tapi ia takut melukai Renjana lebih jauh. Akhirnya, ia memeluk Renjana dengan erat.

"Lepas," ucap Renjana.

Gemintang melepaskan pelukan itu. Ia menggenggam tangan Renjana dan duduk di sofa. Ya, ia akan menceritakan seluk beluk kehidupannya.

"Dari kecil gue selalu hidup sendirian. Mungkin sejak usia tujuh tahun. Orang tua gue sibuk kerja. Mereka ngurus bisnis dimana-mana. Mereka sering ke luar kota bahkan ke luar negeri dalam satu bulan. Gue selalu kesepian. Sesekali mereka pulang, tapi gue malah marah-marah nggak jelas. Sebenarnya gue kangen mereka, tapi mereka seakan nggak peduli sama gue."

Renjana mengamati ekspresi Gemintang. Ia melihat ada sebuah kerinduan yang sangat besar, juga ada ego yang terlalu tinggi. Tanpa disuruh, Renjana memeluk Gemintang untuk menenangkan dirinya.

"Maaf, maaf gue nggak tau kalau hidup lo seperti itu. Maaf juga gue udah bikin lo sakit karena mengulik tentang kehidupan lo. Maaf," ucap Renjana.

Gemintang menggeleng. Ia melepaskan pelukannya lalu memegang kedua tangan Renjana.

"Janji satu hal sama gue, ya?"

Dahi Renjana menyirit. "Apa?"

"Lo nggak boleh ninggalin gue dengan alasan apapun. Gue mau, kita selalu seperti ini sampai selamanya. Gue udah nggak punya siapa-siapa. Jadi, gue harap lo jadi penyemangat pertama dan terakhir gue. Janji?"

"Tapi kan masih ada orang tua lo. Kenapa nggak dijadikan penyemangat?"

Ekspresi Gemintang berubah jadi datar. Sudah cukup untuk membicarakan tentang orang tuanya. Ia sudah malas.

"Janji?"

Renjana mengangguk. "Janji."



Jangan lupa vote, komen, dan share yang banyak yaa! Sampai jumpa di chapter selanjutnya :) 🍀

Gemintang Renjana [Completed] ✔Where stories live. Discover now