"Sir Ted," kataku seraya berlutut di hadapannya. "Kau masuk ke ruang benakku lagi."

Pria itu mengangkat kepalanya. Matanya menunjukkan kelelahan seperti orang yang belum tidur seminggu dan hanya hidup dengan belasan cangkir kopi sehari.

"Ah, aku pasti melamun lagi ..." lirihnya. "Karena terluka aku tidak bisa apa-apa selain melamun. Kadang, saat aku melamun di dunia nyata, aku tersasar ke ruang benak orang lain. Seringnya, aku tersasar ke ruang benak Seli. Anak itu butuh teman."

"Sir Ted," kataku lagi seraya duduk bersila di hadapannya. "Benarkah X bisa melihat masa depan? Seli mengatakan sesuatu padaku ...."

"Aku tidak bisa mengonfirmasi apa-apa," jawabnya sambil mengerjap lemah. "Kadang aku pun melihatnya—seperti potongan gambaran yang tidak berkaitan, dan kalau aku mencoba menyusunnya, mereka seperti potongan puzzle yang tidak sesuai satu sama lain. Aku tak pernah memahaminya sampai ia terjadi. Tapi Seli memang memiliki kelebihan pada X-nya. Semua Relevia seperti itu—selalu ada satu atau dua Fervor yang paling menonjol meski kami menguasai semuanya."

"Anak itu bilang akan ada yang mati; Pascal mati. Lalu dia bilang akan ada yang berkorban; percaya atau tidak, Op baru saja melakukan itu, dan dia adalah orang terakhir yang kupikir bakal melakukannya. Seli kemudian mengatakan akan ada yang hilang juga; Alatas lenyap sekarang." Kuembuskan napas yang seakan menyayat paru-paruku. "Kalau yang hilang tidak ketemu, akan ada yang mati lagi karena keempatnya berhubungan. Aku tak bisa mengenyahkan pikiran bahwa yang dia bicarakan adalah kami berempat—Erion, Alatas, Truck, dan aku. Apakah maksudnya ... salah satu dari kami bertiga pun akan—"

"Leila,"—Sir Ted menepuk bahuku. Tangannya seolah tinggal tulang dibungkus kulit kusam. "Coba lihat dengan cara ini: semua manusia pasti mati . Tak peduli Seli mengatakan 'seseorang akan mati' atau tidak, pasti ada yang mati tiap hari. Dan saat Seli mengatakan akan ada yang berkorban ... Leila, tiap detik, kita semua membuat pengorbanan. Embre sudi mengotori tangannya untuk keluarga Calor-nya, Neil mundur demi kelangsungan koloninya, ibumu melepasmu agar kau bisa pulang utuh-utuh, bahkan aku—" Sir Ted berhenti. Lalu, dia memutuskan untuk tidak melanjutkan itu. "Maksudku, Op membuktikan bahwa dirinya bukan sekadar Teleporter terbaik; dia juga bisa menjadi yang terbaik sebagai manusia."

"Alatas pernah bilang padaku bahwa Kompleks 1 berbahaya, dan dia kira dirinya takkan bisa keluar hidup-hidup." Kutangkup wajahku dengan menyesal. "Tapi, saat kami bersama-sama, kukira tidak akan terjadi apa-apa. Truck bakal melindungi kami, Erion bisa mengatasi apa pun, Alatas selalu jadi penengah kami, dan aku mungkin bisa membantu mereka. Aku ... meremehkan keadaan."

"Ayahmu dan aku pernah meremehkan Binta." Tangan Sir Ted berpindah ke puncak kepalaku, menepuk-nepukku seperti yang dulu dilakukannya tiap kali aku mengambek pada Ayah. "Dan kami menyesal."

Kalau dipikir lagi dari ingatan mereka, NC selalu menyebut Binta sebagai produk cacat, tapi kini malah mengangkatnya sebagai Komandan. Binta bahkan tidak pernah mengotori tangannya sendiri. Bukan dia yang menarik pelatuk hingga ayahku terbunuh—ayahku sendiri yang melakukannya, dikendalikan oleh situasi yang dirancak khusus oleh Binta. Bukan Binta yang menculik semua anak-anak Calor—bawahannya yang melakukan itu. Bukan tangan Binta yang menyeret Truck ke pihaknya kala itu—Truck memutuskan sendiri. Bukan Binta pula yang menyupiri dua Specter yang membunuh Pascal dan Op sekaligus—Binta semata memberi perintah pada anak buahnya untuk membajak pesawat. Bukan dia pula yang membakar pemukiman di Kompleks 1—Pyro dan Embre yang melakukannya.

Namun, segalanya berjalan sesuai yang diinginkannya.

Sang Komandan hanya berada di balik layar dan menonton. Bahkan tanpa Fervor, pria itu selalu dua langkah di depan kami.

Persis seperti anaknya.

"Aku dulu pernah besar kepala, Leila, hanya karena aku selalu menjadi yang yang paling pintar di antara saudara angkatku. Sampai akhirnya aku bergabung dengan NC dan melihat Binta."

RavAgesWhere stories live. Discover now