“...tidak.” Ia akhirnya hanya menunduk tak berani sedikitpun menatap sosok Jimin. Taehyung benar-benar telak sempurna menjadi manusia terjahat maka dari itu ia benar-benar tak berhak untuk melontarkan kalimat apapun yang akan meringankan bebannya. Ini mutlak rasa sakit dan sesak yang harus ia tanggung.
“Tapi apa, Tae?” Suara Jimin masih terdengar begitu lirih dan jelas menghantarkan perih itu sampai pada hati Taehyung. Dirinya masih terdiam. Benar-benar tak sedikitpun mengangkat kepalanya atau mengeluarkan suaranya.
Sedang Jimin sendiri masih berusaha mencerna semuanya. Apa... apa dua tahun memang waktu yang sungguh lama? Apa... ia memang seterlambat itu untuk memperbaiki semuanya? Mengapa semuanya bisa sehancur ini dalam dua tahun?
Perlukah Jimin menyebutkan apa saja yang telah sosok itu katakan? Hal-hal yang bahkan tak pernah Jimin bayangkan bahwa mereka... sosok yang begitu Jimin percayai... bisa melakukannya. Dadanya sesak hingga air mata itu turun menggenang tanpa suara. Ia ingin memukul sosok dihadapannya ini atau bahkan ia ingin menghajar mereka semua yang telah dengan egoisnya berpikir seperti itu.
Tapi Jimin tahu, tidak, Jimin sejatinya tak tahu, iya, dia tidak akan pernah bisa mengerti lagi semuanya setelah hari ini karena dari semua yang Taehyung katakan, sosok-sosok yang begitu Jimin rindukan itu telah jauh berubah.
Dirinya tersentak hebat saat mendapat kesimpulan bahwa salah satu penyebab semuanya ini terjadi adalah dirinya. Mereka semua kehilangan diri mereka karena dirinya yang kehilangan ingatannya. Ironis. Mereka semua sakit, iya, tapi yang tak bisa Jimin pahami mengapa mereka semua melimpahkannya pada sosok Jungkook?
“Kenapa harus Jungkook, Tae?” Ini mungkin akan terdengar begitu egois namun Jimin tak bisa menghilangkan rasa itu. Kenapa harus Jungkook? Mengapa mereka semua menyalahkan Jungkook? Apa hanya karena kecelakaan itu terjadi saat dirinya dan Hoseok tengah mencari Jungkook? Tanpa mereka tahu bahwa—
“Taehyung...”
“Jim, aku tahu aku tak akan pernah pantas mendapatkan maafmu terlebih maaf dari Jungkook. Aku... aku paham semua memang kesalahanku karena tak bisa menahan amarahku hari itu saat melihatmu yang sama sekali tak mengingatku. Tapi, aku benar-benar menyesal, Jim. Rasanya aku bahkan ingin membunuh diriku sendiri andai aku benar-benar tak meruntuhkan egoku untuk mendatangi dorm semalam. Aku benar-benar akan membunuh diriku sendiri andai... andai... andaikan Jungkook tak selamat. Aku bersumpah aku—”
“Hanya itu yang kau sesali?” Suara Jimin terdengar semakin dingin saat memotong kalimat Taehyung. Membuat Taehyung kembali menundukkan kepala nya tak berani menatapnya.
“Apa hanya itu yang kau sesali, Kim Taehyung!” Suara Jimin meninggi. Ia tak bisa lagi menahan sesak itu. Jimin sakit. Tangannya terkepal erat berusaha keras menahan ledakan emosi yang bisa memperparah semuanya.
“Kau... kalian... apa kalian tidak tahu apa alasanku dan Hoseok hyung begitu mencemaskan nya malam itu?” Jimin menggigit bibirnya keras saat isakannya semakin tak tertahankan. Sesak itu sungguh menyiksanya. Jimin bersumpah bahkan ia tak pernah mengingat bahwa ia pernah merasakan sesak yang lebih parah dari ini. Keluarganya hancur? Karena kesalahpahaman?
“Tae, hiks. Jungkookie... Jungkook kita... dia...”
***
Bolehkah Jimin merasa tak adil kali ini? Mengapa matahari masih terus bersinar secerah itu saat ia merasa semua harapannya telah hancur? Dia pergi ke Seoul, berharap bisa memperbaiki semuanya tanpa mengetahui ternyata seluruhnya telah rusak terlalu parah.
Ini sudah hari ketiga dirinya menghindari Taehyung dan Seokjin semenjak pertengkarannya dengan Taehyung sore itu. Ia memutuskan berdiam di ruangan Hoseok, menumpahkan semua sesak dan sakitnya pada sosok yang masih saja tak membuka matanya. Ia rindu, ia ingin menceritakan banyak hal, namun sayang yang terjadi justru ia menangis seharian penuh.
Jimin ingat betapa terkejutnya Dawon saat ia pertama kali mengetuk pintu ruangan ini dan menunjukkan dirinya di hadapan kakak kandung Hoseok itu. Namun beruntung, meski melihat betapa berantakannya penampilan Jimin malam itu, Dawon tak menanyakan begitu banyak hal. Dia justru membiarkannya menghabiskan waktu bersama Hoseok.
Pagi ini Jimin akhirnya memutuskan untuk berjalan sebentar keluar dari ruangan Hoseok. Ia berencana mencari sarapan sendiri karena tak enak dengan Dawon yang beberapa hari ini selalu dengan tepat waktu mengantarkannya makanan. Padahal wanita itu sendiri sudah jarang berdiam lama di ruangan itu semenjak Jimin datang. Dia hanya mampir untuk mengecek Hoseok sebentar dan memberikan makanan untuk Jimin. Setelahnya ia akan berterima kasih pada Jimin karena telah menemani Hoseok dan kembali pergi. Meski nyatanya seharusnya Jiminlah yang berterima kasih padanya.
Langkah kakinya berderap pelan menyusuri koridor rumah sakit yang mulai ramai dengan beberapa pasien dan petugas medis yang berlalu lalang. Rasanya seperti dejavu mengingat saat pertama ia menginjakkan kakinya di Seoul, ia melakukan hal yang sama persis seperti yang ia lakukan sekarang. Hari itu, hari yang sama Jimin pertama kali kembali melihat sosok Taehyung dan Seokjin setelah dua tahun berlalu.
Dengan penampilan jauh dari kata baik, dengan suasana yang jauh dari yang sering ia bayangkan, dengan keadaan yang bahkan bisa dikatakan sangat buruk. Tungkainya refleks berhenti melangkah ketika tanpa ia sadar kini ia sedang berjalan menuju ruang ICU. Jimin sama sekali tak berniat untuk pergi keruangan dimana sosok adik kecilnya itu berada bahkan Jimin sendiri tak tahu dimana letak ICU itu sendiri.
Ia mencoba mengumpulkan kembali fokus dirinya. Ia merindukan Jungkook, sangat. Namun ia tak siap jika harus melihat langsung keadaan sang adik. Bayangan betapa pucat dan lemah tubuh itu pada malam yang lalu membuatnya benar-benar tak memiliki kekuatan untuk menemuinya. Tidak sekarang. Terlebih dengan dirinya yang masih belum bisa mencerna semua keadaan ini.
Jimin sudah berbalik dan mengambil langkah pertamanya, namun bayangan sosok Seokjin justru muncul tepat di hadapannya. Kedua netranya tepat menatap iris sang kakak. Seokjin terlihat masih begitu pucat terlebih dengan cekungan di bawah matanya yang masih bisa Jimin lihat walau sedikit terhalang masker.
Keduanya terdiam. Tak ada satupun yang berani mengambil langkah atau memulai percakapan. Hanya terdiam seakan berkomunikasi lewat tatapan yang bertaut enggan terlepas.
📖To Be Continued📖
Yuhuuu sampai lagi pada hari sabtu yang sangat uvvuuuu DENGAN KEJUTAN JEON JUNGKOOK HAHA BISA-BISANYAA TENGAH MALEM PANTESAN SUSAH TIDUR SEMALEM TUH HA!
Okee mari kembali pada topik wkwk
Masih belum banyak yang bisa diungkap tapi mari singkap semuanya perlahan wkwk
Ditunggu tanggapan kaliann kesayangannya Jungkook hehe
Terima kasih sudah membaca dan mendukung universe ini
CINTA UNGU BANYAK-BANYAK
BORAHAEEEE
💜💜💜
-Jiraa-

ESTÁS LEYENDO
기억 MEMORY || BTS
FanfictionSemua kenangan itu tersimpan rapi di laci sudut kepalaku Semua kenangan itu seperti huruf korea 'giyeok' Permulaanku yang berharga An ordinary story between their friendship and memory Inspirasi : 💜 Puisi RM di Run BTS eps 56 ...
MEMORY || 12
Comenzar desde el principio
