Mata Arletta menjelajahi ruang tamu Alanno. Ada begitu banyak pernak-pernik landak. Baik miniatur maupun boneka.

"Tenapa diem?" tanya Laskar, merasa jenuh dengan keheningan yang melanda. Sejak tadi Tata hanya diam, sesekali menanggapi dengan senyuman.

"Hah? Oh, enggak kenapa-napa," jawabnya, "Laskar," panggil Tata.

Laskar menengok, menampilkan raut bingung yang tampak lucu di mata Tata.

"Laskar suka landak?" tanya Arletta.

Laskar mengangguk antusias. "Kal cuka Ndak, ucul. Ada dulinya," ceritanya.

"Tapi durinya kalau di pegang bisa bikin luka," kata gadis itu.

"Talau gitu janan di pegang," sahut Laskar dengan polosnya.

Benar juga batin Arletta berkata. Gadis itu menggaruk tengkuknya salah tingkah.

"Papa kamu, kemana?"

"Appa? Beli esklim buat Kal," ujarnya riang.

Tata mengangguk, "Laskar suka es krim? Suka rasa apa?"

"Lasa tobeli."

Tata mengangguk lagi. Selanjutnya kembali hening.

"Amma suka esklim?"

Deg

Reflek, Tata menatap Laskar. Tata merindukan panggilan itu. Sejak mengetahui bahwa ceritanya hanyalah hayalan, Tata benar-benar merasa kehilangan. Rasanya hampa, dan kini, saat Laskar memanggilnya demikian, hatinya menghangat.

Apa ini nyata? Tata harap semesta tidak sedang bercanda dan kembali menyadarkannya bahwa ini hanya halu semata.

"La-laskar tadi bi-bilang apa?" tanya nya terbata.

"Amma suka esklim?" ulang Laskar.

"Sekali lagi?" pinta Tata, mata gadis itu berkaca-kaca.

"Amma suka esklim?"

Senyum Tata mengembang, ia mengangkat Laskar ke pangkuannya. "Coba bilang sekali lagi."

"Amma suka esklim? Tenapa ulang telus, Amma ndak dengel Kal?" tanya Laskar lugu.

"Ini mimpi nggak sih?" tanya Tata pada dirinya sendiri.

"Laskar."

"Appa!!"

Laskar buru-buru turun dari pangkuan Tata, ia berlari ke arah Alan yang berdiri di ambang pintu sambil menenteng kantung plastik.

"Es klim Kal, mana?" tanya nya.

"Ini." Alan menyerahkan satu buah es krim pada Laskar. Memekik riang, Laskar berjalan ke arah Tata dengan senyum merekah.

Tata tersenyum kaku, ia menatap Alan yang memandangnya datar.

"Gu-gue mau pulang," ujarnya. Tata segera bangkit, gadis yang masih memakai seragam sekolah nya itu segera mengendong tas sekolahnya.

"Gue antar," ujar Alan.

"Nggak perlu, gue bisa naik taksi."

Alan menggeleng tegas, "gue antar," ucapnya penuh penekan. Tata mengangguk pasrah, ia takut dengan tatapan datar laki-laki itu.

Laskar menatap Tata bingung, "mau temana?" tanya batita itu.

"Mau pulang," jawabnya.

Laskar melayangkan tatapan protes, "ndak boleh!" serunya. Ia memeluk erat kaki Tata. Melarang gadis itu pulang. "Dicini aja," ucap Laskar.

Delusion Effect (Terbit Di Glorious Publisher) Where stories live. Discover now