Bab 05: Si Super Gemuk

775 13 0
                                    

Malam yang gelap di musim semi, hujan membasahi seluruh tanah perbukitan gunung Pa-san. Hujan di musim semi memang selalu mendatangkan kemurungan, apalagi bila berada di gunung Pa-san, tanah perbukitan yang sepi, jalan setapak yang berliku-liku, tebing dengan lumut yang hitam...

Banyak kejadian tragis yang menimpa para jago kenamaan dunia persilatan, terkubur di balik lumut tebal itu, entah berapa banyak kuntum bunga yang gagal mekar dan berubah jadi lumpur? 

Di atas tanah berlumpur tersisa bekas telapak kaki, tertinggal ketika hujan berhenti.

Malam ini hujan turun dengan derasnya. Hujan turun begitu deras hingga membentuk lapisan kabut berwarna putih, di ujung jalan setapak yang berliku-liku, berdiri sebuah To-koan (kuil kaum Tosu), sudah lama tak ada yang berziarah ke sana, jarang ada orang berkunjung ke sana hingga suasana angker di masa lampau kini mulai memudar.
Semenjak jago pedang dari bukit Pa-san yang sangat menggetarkan sungai telaga dengan ilmu pedangnya Si-cap-kau-jiu-hwe-hong-wu-liu-kiam (empat puluh sembilan jurus ilmu pedang tarian Hu), Ku-tojin, lenyap tak ada kabar beritanya, anak muridnya membubarkan diri. Dengan bubarnya para anggota kuil itu, lambat-laun kuil itu pun sepi dan terpencil, yang tersisa hanya cerita serta bekas guratan pedang di atas lapisan lumut.
Dalam dua tahun terakhir, setiap menjelang malam bulan purnama, para pemburu dan pencari kayu yang berdiam di sekitar sana kerap menyaksikan dari dalam ruang To-koan itu lamat-lamat muncul secercah cahaya lentera.
Ada lentera berarti ada orang. Siapa yang tinggal di situ? Kenapa?
Ketika hujan turun dengan derasnya, kembali cahaya lentera muncul di tempat itu. Seseorang duduk di bawah cahaya lentera, ia bukan anggota Pa-san-bun, juga bukan seorang Tosu. Ternyata orang yang berdiam di kuil To-koan yang hening dan telantar selama dua tahun ini adalah seorang Hwesio. Seorang Hwesio yang sering tidak makan sampai berhari-hari dan tidak mandi selama berbulan-bulan. Bahkan Hwesio ini tidak bicara dengan siapa pun sepanjang tahun.
Malam itu ternyata ada dua orang lagi yang muncul dalam To-koan itu. Dua orang itu mempunyai perawakan seimbang, mengenakan jas hujan berwarna hitam dengan topi bulu berwarna hitam pula, topi lebar dikenakan rendah hingga nyaris menutupi seluruh mukanya.
Berjalan dari jalan setapak yang meliuk-liuk hingga ke tempat itu, entah berapa banyak rontokan bunga yang mereka injak hingga hancur, salah seorang di antaranya kelihatan amat lelah, sementara seorang yang lain harus sering berhenti untuk menggandengnya.
Hwesio di bawah lentera itu tahu kedatangan mereka. Tapi ia tidak bergerak, berpaling pun tidak. Walaupun cahaya lentera berkedip terhembus angin, Hwesio itu tetap tidak bergeming, bahkan bereaksi pun tidak, menanti kedua orang itu menyeberangi halaman di depan To-koan dan tiba di depan rumah kecil itu, Hwesio itu tetap tidak menunjukkan reaksi apapun, seakan sedang bersemedi.

Ketika ketukan pintu tidak ditanggapi, dua orang yang sedang kehujanan itu segera membuka pintu ruangan. Walaupun cahaya lentera tidak terlampau terang, namun lebih dari cukup untuk menerangi wajah kedua orang itu, juga menerangi mulut serta janggut mereka yang disembunyikan di bawah topi bulu. Janggut kedua orang itu runcing dengan guratan halus dan lembut, bibir mereka pun indah dan menawan.

Hanya perempuan yang memiliki bibir semacam ini, perempuan dengan bibir seindah itu jelas perempuan yang memiliki daya tarik luar biasa. Dua orang perempuan cantik, di tengah malam hujan deras naik ke bukit Pa-san untuk bertemu seorang Hwesio yang duduk bersemedi. Apakah mereka sudah gila? Atau punya penyakit?

Kalau mereka tidak gila, tidak berpenyakit, kedatangannya pasti karena suatu masalah yang gawat dan serius. Persoalan apa yang telah memaksa kedua perempuan cantik itu naik ke atas gunung sepi untuk bertemu seorang Hwesio? Ketika kedua orang perempuan datang menemui seorang Hwesio, peristiwa apa yang bakal terjadi?
Hwesio yang belum kelihatan tua itu masih duduk tenang bagaikan pendeta tua.
Perempuan yang berjalan lebih cepat, kondisi badannya lebih baik dan perawakannya lebih tinggi, menggerakkan tangannya yang putih, gerakan yang indah bagai seorang penari, melepas topi bulu yang dikenakan di kepalanya, ketika tangannya diayunkan, butiran air hujan segera berhamburan dari topinya, di bawah cahaya lentera, butiran air itu mirip seuntai mutiara yang berkilauan.
Rambut panjangnya yang semula terikat di balik topi segera terurai bersama dengan rontoknya butiran air hujan, lagi-lagi menutupi separoh wajahnya, tapi separoh wajahnya yang lain terlihat jelas, alis matanya yang hitam memanjang, matanya yang haius bening dengan sekulum senyuman yang lebih cerah daripada matahari di musim semi.
Hwesio itu tetap duduk tenang dengan mata memandang hidung, memandang ke hati, seakan tidak melihat di hadapannya telah berdiri seorang perempuan cantik.
Kelihatannya perempuan itu kenal si Hwesio, malah dengan sikap yang ramah dan hangat berseru, "Hwesio, orang lain bilang kau Lau-sit (JuJur) walau di dunia terdapat sepuluh laksa manusia, paling tidak ada sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang mengatakan kau jujur."

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Место, где живут истории. Откройте их для себя