Bab 03: Selir Raja

855 15 0
                                    

Matahari awal musim semi dengan kemalas-malasan muncul dari balik awan, langit dan udara di kota Ui-sik terasa cerah dan segar.

Dari kediaman Sah Toa-hu menuju toko kelontong Ong Toa-yan, orang harus melewati jalan berpasir yang cukup jauh. Cairan salju membuat tanah berpasir berubah jadi lumpur, bila berjalan di atasnya, kaki akan penuh lumpur. Perasaan semacam ini selalu mendatangkan ketidak-nyamanan bagi siapa pun.

Liok Siau-hong tidak ingin menggunakan Ginkang, dia ingin menikmati suasana hening dan terpencil di tempat ini, udara bersih dan dingin semacam ini sangat membantu menjernihkan pikirannya.

Cepat dicarinya dua potong kayu, dengan menggunakan badiknya ia buat sepasang egrang, lalu diikat di sepatunya, dengan begitu dapatlah ia melewati jalanan berlumpur itu dengan gembira dan bersih. Untuk pertama kali inilah ia memanfaatkan badik itu.

Sekarang sudah tengah hari, angin berhembus terasa hangat dan segar, walaupun pikiran Liok Siau-hong masih dicekam beberapa persoalan, namun ia masih bisa menikmati suasana segar ini.

Ia bukan termasuk jenis orang yang setiap saat selalu menjaga hartanya, juga bukan termasuk orang yang suka memendam segala kegundahan dan keruwetan pikiran. Prinsipnya, segala kegundahan dan keruwetan ibarat harta kekayaan, makin cepat buyar semakin baik.

Angin berhembus, meniup ranting-ranting yang berderet sepanjang jalan, ranting gundul yang belum ditumbuhi daun, menimbulkan suara gemerasak ramai. Siau-hong tidak menghentikan langkahnya, sambil mengangkat kepala ia memanggil, "Kim Jit-liang!"

"Liok Siau-hong!" Kim Jit-liang berdiri di bawah pohon, sepintas mirip kapas seberat tujuh Hang.
Ia memandang Siau-hong sambil tertawa terkekeh-kekeh. "Sepantasnya namamu bukan Liok Siau-hong, karena kau tidak mirip seekor burung, lebih mirip ayam cilik."
Siau-hong tertawa. Ia sendiri pun merasa, dengan memasang dua tongkat panjang di bawah kakinya, memang mirip seekor ayam.
"Kim Jit-liang, mau apa kau kemari? Mengejarku?"
"Mengejarmu? Untuk apa mengejar ayam jago, enakan mengejar ayam babon. Aku terdesak dan kehabisan akal, terpaksa aku kabur ke sini."
"Siapa yang memaksamu?"
"Tak ada orang yang bisa memaksaku, hanya kemarahan yang bisa membuat aku menyingkir."
"Siapa yang marah?"
"Tentu saja Sah-lopan, hanya dia yang bisa memaksa orang menyingkir."
"Sah-lopan sedang marah?'
"Bukan hanya marah, bahkan marahhya setengah mati."
"Marah kepada siapa?"
"Tentu saja padamu, dia sudah berpesan ke dapur agar menyiapkan hidangan yang paling lezat untuk menjamumu, tapi kau bersikeras menolak undangannya, coba kalau kau jadi dia, masaah kau tidak marah?"
"Tidak, aku takkan marah, malah gembira setengah mati."
"Gembira?"
"Aku menolak undangannya berarti dia bisa menghemat arak, juga hidangan, kenapa dia tidak gembira? Kenapa mesti marah?"
"Kau bukan dia, maka kau bisa bicara begitu. Kau harus tahu, Sah-lopan gila hormat, sok gengsi, Liok Siau-hong datang ke wilayahnya, tapi menolak makan di rumahnya, penolakan ini adalah penghinaan baginya, rasa jengkelnya mungkin melebihi saat bininya dicuri orang, karena itu aku pun tak tega meneruskan makanku."
"Pantas kau pergi begitu saja dan mencari aku. Jadi kau ingin aku mentraktirmu?"
Kim Jit-liang tertawa. "Akulah yang ingin mentraktirmu, tapi jika kau ngotot, aku perlu memberi muka kepadamu bukan?"
Siau-hong ikut tertawa. "Aku memang benar-benar ingin mentraktirmu, sayang di sini tak ada rumah makan."
"Asal kau bersedia keluar uang, aku bisa mengatur segalanya, jika menghamburkan uang orang lain aku tak sanggup, percuma aku bernama Kim Jit-Iiang, mending jadi Kim Toh-kau saja (Kim si anjing buduk)."
Ternyata dia memang punya akal. Ketika sepuluh tahil perak diserahkan ke tangan Ong Toa-yan, tak sampai satu jam, arak dan hidangan sudah siap di atas meja dalam kamar tidur Liok Siau-hong.
Biarpun kualitas araknya tidak bagus, masakannya ternyata lezat dan sedap, terutama angsio ayamnya, benar-benar menambah selera makan, Siau-hong yang biasanya bawel dalam hal makanan pun puas.
"Tak tersangka, Laopan Nio pandai memasak."
"Kau keliru, ini bukan masakan Laopan Nio, tapi Ong-lopan sendiri yang turun ke dapur."
Kim Jit-liang mengawasi Siau-hong, lanjutnya, "Tampaknya apa saja akan dia makan."
Siau-hong tidak menjawab, sepasang matanya mengawasi angsio ayam.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang