Bab 3: Butiran Keringat

1.1K 20 0
                                    

Rumah bekas restoran ini sudah dipotong-potong menjadi beberapa buah kamar, dipisahkan dengan papan. Kamar yang paling besar terdapat sebuah ranjang besar dengan selimut yang tebal. Dan Liok Siau-hong sekarang berbaring di tempat tidur ini sambil selimutan, namun masih terasa kedinginan.

Setiap orang tentu pernah mengalami penurunan mental, Siau-hong juga manusia. Dalam keadaan demikian, ia merasa segala urusan telah dilakukannya dengan kacau-balau tak keruan. Ia menjadi gemas dan ingin menghajar dirinya sendiri hingga setengah mati.

Di luar kamar ramai orang menggotong peti, sebagian pekerja menguap kantuk, ada yang bersin kedinginan.

Maklum, tengah malam buta, orang sedang enak-enak tidur berselimut dibangunkan dan disuruh menggotong peti, jelas orang yang menyuruhnya ini rada-rada sadis.

Siau-hong membalik tubuh, ia ingin lekas pulas tapi sayang, tidur serupa perempuan, semakin kau harapkan dia lekas datang, dia justru datang lambat-lambat. Hidup manusia ini memang banyak terjadi hal demikian.

Pada saat itulah mendadak terdengar serentetan jeritan kaget. Siau-hong melompat bangun dan mengenakan baju luar. Ssampai sepatu saja tidak sempat dipakai, dengan kaki telanjang ia terus menerobos keluar. Dilihatnya beberapa lelaki penggotong peti berdiri termangu di situ sambil memandangi sebuah peti.

Peti jatuh di lantai dan terbuka, isi peti sama berantakan keluar, tapi bukan emas, juga bukan perak, melainkan batu bata. Siau-hong juga melenggong.

Untuk sekian kalinya dia melenggong malam ini. Sekali ini bukan saja dia terkejut, bahkan juga gusar. Sebab ia merasa tertipu, perasaan ini sangat tidak enak.

Sebaliknya Jo-jo tidak memperlihatkan sesuatu tanda terkejut, dengan hambar ia berkata, "Untuk apa kalian berdiri kesima di situ? Batu bata itu kan tidak berkurang, lekas dan diantar ke sana.

"Diantar ke sana?" jengek Siau-hong.

"Memang antar ke mana?"

"Dengan sendirinya ke kasino Pancing Perak sesuai pesanmu," sahut Jo-jo.

"Huh, hendak kau gunakan batu untuk menukar Lo-sat-pay orang? Memangnya kau kira orang lain semuanya orang tolol?" jengek Siau-hong.

"Justru lantaran nona Tan itu sedikit pun tidak tolol, makanya akan kuantarkan begini saja peti-peti ini. Jika dia seorang yang tahu kwalitas barang, sekali pandang tentu takkan bicara lagi."

"Apakah isi peti yang lain juga batu?"

"Ya, semuanya batu, cuma ...."

"Cuma apa?" tanya Siau-hong.

Jo-jo tertawa, lalu menyambung. "Cuma meski isi peti ini semuanya batu, tapi petinya sendiri adalah buatan dari emas murni. Maklumlah, kita menempuh perjalanan sejauh ini dengan membawa separtai emas, mau tak mau kita harus bertindak lebih hati-hati."

Seketika Siau-hong tak dapat bicara lagi, tiba-tiba dirasakannya satu-satunya orang tolol di sini tak lain tak bukan ialah dia sendiri.

Dan sisa beberapa peti itu dengan cepat pun sudah diangkut pergi, tertinggal Liok Siau-hong yang masih berdiri termangu di situ dengan kaki telanjang.

Jo-jo memandangnya, katanya pula dengan tersenyum, "Kutahu engkau lagi marah padaku, kutahu."

Ia tahu di balik baju luar Siau-hong itu tidak memakai apa-apa, maka ia mendekatinya dan membuka jubahnya, ditempelkannya mukanya ke dada yang telanjang itu serta merangkul pinggangnya dengan erat, lalu bisiknya, "Namun malam ini pasti takkan kubikin kau marah lagi, pasti tidak."

Siau-hong menunduk dan memandangi kundai di atas kepalanya, sampai sekian lamanya barulah ia bicara, "Urusan apa yang mengubah pendirianmu."

Dengan suara lembut Jo-jo menjawab, "Selamanya aku hanya berbuat menurut kehendakku, sebelum ini aku tidak suka menemanimu, tapi sekarang....."

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Where stories live. Discover now