Bab 02: Tokko Bi, Si Tak Kenal Saudara

910 17 0
                                    

Kegelapan mulai menipis dan berubah menjadi remang kelabu yang aneh.

Kegelapan malam yang panjang ini akhirnya berlalu juga. Kini sudah tiba saatnya fajar akan menyingsing.

Tapi biarpun hari sudah terang, lalu bagaimana? Biarpun kegelapan sudah pergi, namun kematian masih terus mengancamnya.

Banyak daun kering di tanah. Ia meraupnya segenggam untuk membersihkan darah pada tangannya. Pada saat itulah dia mendengar sesuatu suara.

Suara manusia entah darimana datangnya, seperti ada suara orang merintih.

Di tempat dan dalam keadaan begini mana bisa ada orang? Jika tidak terpaksa, siapa pula yang mau masuk ke hutan purba ini? Menempuh jalan kematian ini?!

Jangan-jangan Sebun Jui-soat?

Mendadak Siau-hong merasakan sekujur badan dingin dan kaku, napas pun terasa berhenti, ia mendengarkan dengan tenang.

Terdengar lagi suara rintihan yang lemah, sebentar lenyap dan sebentar terdengar lagi. Dari suaranya, jelas penuh rasa derita Semacam penderitaan yang mendekati putus harapan.

Suara menderita itu jelas pasti, bukan pura-pura. Sekalipun orang ini benar Sebun Jui-soat adanya, penderitaannya sekarang pasti juga tidak di bawah Liok Siau-hong.

Apakah dia juga mengalami sesuatu pukulan yang mematikan? Kalau tidak, mengapa hawa pedang pembunuh yang khas juga lenyap sama sekali?

Siau-hong memutuskan untuk mencari, peduli orang ini Sebun Jui-soat atau bukan, harus ditemukannya.

Dan sudah tentu ditemukannya. Di atas daun kering dan tanah yang lembab menggeletak satu orang, sekujur badan tampak meringkuk menjadi satu kerena kesakitan.

Seorang yang rambutnya sudah ubanan, lemah, pucat, letih. duka dan ketakutan.

Waktu melihat Liok Siau-hong, orang tua itu seperti berusaha melompat bangun, tapi yang diperoleh adalah kejang dan kesakitan.

Dia membawa pedang yang berbentuk antik, jelas sebilah pedang yang sangat bagus. Akan tetapi pedang ini tidak menakutkan, sebab orang ini bukan Sebun Jui-soat.

Siau-hong menghela napas lega, gumamnya, "Bukan, bukan dia."

Biji leher si kakek tampak naik-turun, sorot matanya yang penuh rasa takut menampilkan setitik harapan, ucapnya dengan terengah, "Sia...Siapa kau?"

"Aku bukan siapa-siapa," sahut Siau-hong dengan tertawa.

"Aku cuma orang lalu saja."

"Orang lalu?" si kakek menegas.

"Kau heran bukan? Masa orang lalu di tempat begini?" kata Siau-hong.

Si kakek mengamat-amati dari bawah ke atas dan dan atas ke bawah, tiba-tiba sinar matanya menampilkan kelicikan, katanya, "Apakah jalan yang kau tempuh serupa aku?"

"Sangat mungkin," jawab Siau-hong.

Si kakek tertawa. Tertawa yang pedih, getir. Dan dia lantas terbatuk-batuk.

Siau-hong juga melihat orang terluka, ternyata juga bagian dada yang terluka, malahan kelihatan sangat parah.

Tiba-tiba si kakek bertanya pula, "Memangnya kau sangka siapa diriku?"

"Seorang lain," sahut Siau-hong.

"Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?"

Siau-hong juga tertawa dan bertanya, "Tadinya kau kira siapa diriku? Apakah orang yang hendak membunuhmu itu?"

Si kakek ingin menyangkal, tapi tidak dapat menyangkal.

Kedua orang saling pandang dengan sikap serupa dua ekor binatang buas yang sama-sama terluka.
Tidak ada orang yang dapat memahami sikap mereka ini, juga tidak dapat memahami perasaan mereka.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Where stories live. Discover now