Bab 04: Di Dalam Kereta

1.1K 21 0
                                    

Tanggal sepuluh bulan empat, cuaca cerah.

Waktu Jing-jing mendusin, sang surya telah memancarkan cahaya yang gemilang di luar jendela.

Daun jendela tampak lagi bergerak. Pepohonan di luar juga bergerak, bergerak mundur ke belakang secepat terbang.

Ia kucek-kucek matanya. Tiba-tiba diketahui dirinya sudah berada di dalam kereta lagi. Siau-hong tampak berduduk di depan dan sedang memandangnya dengan tertawa.

Jing-jing coba menggigit bibir, terasa sakit, jelas ini bukan mimpi.

Ia melompat bangun dan melototi Siau-hong.

"Selamat pagi," ucap Siau-hong dengan tersenyum.

"Pagi? Sekarang pagi?" tanya Jing-jing.

"Sebenarnya juga tidak pagi lagi. Tidurmu semalam sungguh seperti orang mampus," sahut Siau-hong dengan tertawa.

"Dan kau?" tanya Jing-jing dengan gregetan.

"Aku juga tidur sebentar."

Mendadak Jing-jing menubruk ke atas tubuh Siau-hong dan mencekik lehernya, serunya dengan gemas, "Katakan. Lekas katakan. Sesungguhnya apa yang terjadi?"

"Kejadian apa?" tanya Siau-hong.

"Kejadian semalam," kata Jing-jing.

Siau-hong menghela napas, ucapnya. "Aku justru ingin tanya padamu sesungguhnya apa yang terjadi? Mengapa tanpa sebab kepalamu kau tumbukkan ke dinding sehingga jatuh kelengar?"

"Aku tidak gila, mengapa kutumbukkan kepala sendiri?" teriak Jing-jing.

"Jika kau sendiri tidak tahu, darimana aku dapat tahu?" ujar Siau-hong sambil menyengir.

"Kutanya padamu, mengapa semua lampu di rumah-rumah itu bisa padam mendadak secara serentak?"

"Kalau minyak sudah habis, dengan sendirinya lampu padam."

"Dan kemana perginya si penggali cacing."

"Sesudah lampu padam, dengan sendirinya ia pergi mencari minyak."

"Didapatkan tidak?" tanya Jing-jing pula.

"Justru dia mendapatkan minyak, maka dapat kami menemukan dirimu."

"Penggali cacing itu memangnya manusia?"

"Bukan saja manusia, bahkan manusia baik. Tidak minyak saja yang dia dapatkan, dia malah memasak satu kuali bubur dan menyuruh kami makan sekenyangnya."

Jing-jing jadi melenggong sampai sekian lamanya, kemudian bertanya pula, "Kalian berada dimana pada waktu lampu padam?"

"Di belakang," tutur Siau-hong.

"Aku berada di depan. Mengapa kalian pergi ke belakang, untuk apa?"

"Jika kau berada di depan, mengapa kami harus berada di depan juga? Kami kan bukan pengekor, mengapa tidak boleh melongok ke belakang?"

Mendadak Jing-jing berteriak, "Koan-keh-po dan putra kesayangan, masuk sini semuanya."

Kereta lantas berhenti, orang yang dipanggil juga menghadap seluruhnya. Ia bertanya kepada mereka seperti dia tanya Siau-hong tadi, tapi jawaban mereka juga sama. Mereka pun tidak mengerti mengapa tanpa sebab dia menumbukkan kepala sendiri sehingga jatuh kelengar.

Sungguh tidak kepalang keki Liu Jing-jing, hampir saja ia jatuh semaput lagi. Ia coba bertanya pula, "Masa kalian sama sekali tidak melihat tangan itu?"

"Tangan apa?" tanya Koan-keh-po.

"Tangan setan yang mencekik leherku," tutur Jing-jing.

"Ya, kulihat," mendadak Siau-hong menyela dengan tertawa, "bukan cuma melihatnya saja, bahkan kubawa sekalian."

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Where stories live. Discover now