Bab 4: Angkara Murka

747 18 0
                                    

Angin meniup dingin, udara kelam kelabu, jalan penuh tertimbun salju, seorang perempuan menunggang seekor keledai kurus menempuh perjalanan sendirian. Dan kejauhan sayup-sayup terdengar suara seruling yang memilukan, namun bumi raya ini tetap suram dan sunyi.
Si nona berada jauh di rantau, hatinya terlebih jauh di luar langit. Dia menjalankan keledainya dengan sangat lambat, ia sendiri tidak tahu harus kemana, tapi entah mengapa dia terburu-buru melanjutkan perjalanan.

Mendadak dari persimpangan jalan sana muncul sebuah kereta kuda yang besar, pengendara kereta memakai topi kulit, memegang cambuk panjang, waktu berlalu di samping si nona, sekilas dia tersenyum padanya.

Perempuan itu juga tersenyum. Sama-sama pengelana dan kebetulan berjumpa, apa halangannya saling tersenyum walaupun tidak saling kenal?

Pengendara kereta itu mendadak bertanya, "Nona kedinginan tidak?"

"Dingin!" sahut perempuan itu. Dia adalah Tan Cing-cing. "Kalau duduk di dalam kereta tentu takkan kedinginan," ujar si pengendara kereta.

"Tentu saja, kutahu," kata Cing-cing.

"Jika begitu. mengapa nona tidak naik ke atas kereta saja?" ujar si lelaki pengendara kereta.
Tan Cing-cing berpikir sejenak, perlahan ia turun dari keledainya, kereta pun sudah-berhenti. Jika gentong es saja pernah dimasuki, apa artinya naik kereta.

Sesudah Cing-cing naik ke dalam kereta, mendadak si pengendara mengangkat cambuknya dan menyabet sekerasnya pantat keledai yang ditinggalkan itu.

Karena kesakitan, keledai itu berlari pergi seperti kesurupan setan.

Si pengendara kereta tersenyum senang, lalu berdendang lagu cinta "si nona manis siapa yang punya" segala. Tidak lama kemudian, kereta ini pun menjauh.

Tidak terlalu lama, sampailah kereta besar ini di Hiula, sebuah tempat yang sangat terpencil meski bukan sebuah kota, tapi sudah tergolong tidak kecil di daerah kutub seperti ini.

Pengendara kereta mendadak menoleh dan berkata dengan tertawa, "Sudah sampai di rumahku, nona mau mampir tidak?"

Selang sejenak barulah terdengar suara Tan Cing-cing menjawab hambar di dalam kereta, "Kalau sudah berada di sini, mampir sebentar juga tidak menjadi soal.'"

Baru saja ia turun dari kereta, pintu rumah papan yang sudah reyot berkeriat-keriut dan terbuka, seorang anak yang kotor dan ketolol-tololan melongok keluar dan memandang Cing-cing dengan cengar-cengir.

Wajah Cing-cing tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, ia kebut-kebut bajunya, lalu masuk ke rumah dengan langkah gemulai.

Di dalam adalah sebuah ruang tamu yang sangat sederhana, di tengah ruangan terpuja patung Toapekong kekayaan dengan tangan memegang Kim-goan-po (bongkah emas), sebuah pintu di belakang ditutupi tabir biru yang sudah luntur, di atas pintu tertempel kertas merah yang tertuliskan "Hi" dan "Cay" (Selamat dan Rejeki). Jelas kelihatan penghuni rumah yang rudin ini setiap hari senantiasa bermimpi agar cepat kaya mendadak.

Seorang rudin dengan seorang anak dekil, dua-tiga buah rumah bobrok, empat-lima buah bangku yang reyot, huruf tempelan yang miring, lukisan patung yang lucu, semuanya serba tidak serasi.

Tempat seperti ini seharusnya sukar didiami lama-lama oleh Tan Cing-cing. Maklum, dia suka kebersihan, suka ketenangan suka barang-barang yang indah dan bernilai. Tapi sekarang dia ternyata sangat kerasan di sini, sangat betah, seperti di rumah sendiri sama sekali tidak ada niat hendak pergi lagi.

Memangnya sudah tidak ada tempat lain lagi yang dapat ditujunya?
Anak dekil tadi masih memandangnya dengan cengar-cengir, tapi wajah Cing-cing tetap tidak memperlihatkan sesuatu perasaan! Ia melongok kian kemari, habis itu terus menyingkap tabir biru yang sudah luntur itu dan masuk ke kamar tidur orang.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang