Bab 6: Mengorbankan Segalanya

692 15 0
                                    

Setengah bulan kemudian, di dalam rumah yang teratur rapi dan resik, cuaca cerah, cahaya mentari gilang gemilang. Di depan jendela ada hiasan pot bunga yang indah.

Ting-hiang-ih ternyata sudah dapat berduduk, wajahnya yang pucat sudah mulai bersemu merah, serupa setangkai bunga yang semula sudah layu mendadak segar kembali.

Dengan sendirinya semua ini sangat menyenangkan orang. Perasaan Liok Siau-hong juga jauh lebih riang daripada beberapa hari yang lalu.

"Kan sudah kujanjikan, aku pasti akan datang lagi menjengukmu," kata Siau-hong.

"Ya, kutahu," sahut Ting-hiang-ih, tersembul juga senyuman lembut pada wajahnya, "Kutahu engkau pasti akan datang lagi."

Dia duduk bersandar tempat tidur, seprei tempat tidur baru saja diganti, dia memakai baju tidur yang longgar hingga menutupi kaki dan tangannya yang buntung.

Sinar sang surya menembus masuk melalui jendela, dia kelihatan masih sangat cantik.

"Kedatanganku juga membawa sesuatu barang," tutur Siau-hong dengan tersenyum.

Mencorong sinar mata Ting-hiang-ih. Serunya, "Lo-sat-pay?!"

Siau-hong mengangguk, "Apa yang sudah kujanjikan padamu pasti dapat kulakukan, aku tidak berdusta padamu."

Mata Ting-hiang-ih berkedip-kedip, katanya. "Memangnya aku yang berdusta padamu?"

Siau-hong menarik sebuah kursi dan berduduk, katanya, "Kau bilang padaku bahwa Cing-cing adalah sahabatmu dan boleh kupercaya padanya."

Ting-hiang-ih membenarkan.

"Apakah dia benar-benar sahabatmu? Kau benar-benar mempercayai dia?" Siau-hong menegas.

Ting-hiang-ih melengos ke arah lain, menghindari pandangan Siau-hong yang tajam. Napasnya mendadak berubah memburu seakan sedang mengekang perasaan sendiri. Selang agak lama, akhirnya ia tidak tahan dan tercetus ucapan setulusnya, "Dia perempuan jalang!"

"Dan kau suruh aku mempercayai seorang perempuan jalang!" kata Siau-hong dengan tertawa.

Akhirnya Ting-hiang-ih berpaling kembali, ucapnya dengan tertawa, "Sebab aku seorang perempuan. Bukankah perempuan selalu suka menyuruh orang lelaki mengerjakan sesuatu yang tidak suka dikerjakannya sendiri?"

Alasan ini sebenarnya tidak begitu tepat, namun Siau-hong seperti merasa puas. Sebab ia tahu berhadapan dengan seorang perempuan, jika orang perempuan disuruh bicara secara peraturan, sama sulitnya kau minta unta menerobos lubang jarum.

Tiba-tiba Ting-hiang-ih bertanya, "Apakah dia benar-benar sudah mati?"

"Ehmm," Siau-hong mengangguk.

Ting-hiang-ih menghela napas lega perlahan.

Siau-hong menatapnya tajam-tajam, tiba-tiba ia bertanya, "Darimana kau tahu dia sudah mati?"

Kembali Ting-hiang-ih berpaling dan berdehem, lalu menjawab perlahan, "Aku tidak tahu, aku cuma menduga begitu saja."

"Mengapa dapat kau pikirkan demikian?"

"Jika cara begitu kau tanya padaku tadi, suatu tanda dia telah banyak melakukan hal-hal yang tidak baik padamu. Orang yang berbuat tidak baik padamu bukankah pantas mati?"

Alasan ini kurang baik, tapi diterima juga oleh Liok Siau-hong, katanya, "Apa pun juga, toh akhirnya sudah kutemukan kembali Lo-sat-pay, tidak tersia-sia perjalananku ini."

Mendengar Lo-sat-pay, sinar mata Ting-hiang-ih tambah mencorong. Ia memandang tangan Liok Siau-hong yang sedang meraba bajunya itu, lalu menyaksikan dia mengeluarkan sepotong Giok-pay, mendadak ia menitikkan air mata.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Where stories live. Discover now