Bab 01: Ucapan yang Terputus

1.1K 17 0
                                    

Lereng yang mereka lalui tandus tanpa tetumbuhan apapun, batu padas licin dan tajam! Mendadak Hoa-kuahu berhenti dan memandang kaki sendiri, kakinya yang putih halus itu tampak melepuh dan berdarah.

"Engkau tidak bersepatu?" tanya Siau-hong.

"Tidak," jawab si janda dengan tertawa. "Biasanya aku sangat jarang berjalan."

Ternyata sepatu pun tidak dipakainya dan segera ikut pergi bersama Siau-hong, malahan tidak membawa apapun.

"Engkau tidak menghendaki apapun dan cuma minta kuikut pergi bersamamu, lalu apa yang perlu kubawa?" ucap Hoa-kuahu dengan muka pucat karena kaki kesakitan namun tetap tertawa lembut. "Di dunia ini masakah ada yang lebih berharga daripada cinta sejati?"

Siau-hong memandangnya, rasa hangat membanjiri hatinya. Dipondongnya Hoa-kuahu dan melintasi lereng ini.

Si janda berbisik di tepi telinga Siau-hong, "Sekarang Sebun Jui-soat pasti menganggap engkau sudah mati, asalkan kau suka, kita dapat mencari suatu tempat yang aman dan tenang untuk hidup seterusnya." "Sebenarnya aku sudah bertekad akan mati bagi Lau-to-pacu, tapi telah kutemukan dirimu," sambungnya pua. "Dia juga tidak berkeras menghendaki aku tinggal di sana, maka kuharap seterusnya dia akan melupakan si janda ini. Aku she Liu, bernama Jing-jing."

Jing-jing artinya hijau menghijau. Rerumputan di depan memang hijau, dedaunan juga menghijau.

Siau-hong tidak langsung menuju ke sana, dia tidak lupa di depan itulah hutan pemakan manusia.
Mereka berduduk di ketinggian tanah di tepi hutan, di atas tanah berumput yang penuh dedaunan rontok.

Aneh juga, tengah musim semi, masa daun sudah rontok?

Siau-hong memungut sehelai daun itu, hanya dipandangnya sekali, mendadak tangannya berkeringat dingin.

Segera si janda alias Liu Jing-jing dapat melihat perubahan air muka Liok Siau-hong itu, cepat ia tanya, "Apa yang kau lihat?"

Siau-hong menunjukkan pangkal daun rontok itu dan berkata, "Daun ini bukan rontok tertiup angin."

Pangkal daun rontok itu ternyata rata.

Liu Jing jing juga berkerut kening, ucapnya, "Bukan rontok tertiup angin? Apakah rontok karena tebasan pedang?"

"Bukan ketajaman pedang, tetapi hawa pedang," tukas Siau-hong.

Air muka Liu Jing-jing juga berubah. Pedang di tangan siapa yang mampu memancarkan hawa pedang setajam ini?

Segera Siau-hong memungut lagi sehelai bulu yang juga ron¬tok oleh karena hawa pedang.

Di hutan ini ada burung dan burung dapat dijadikan santapan. Tapi di dunia ini, ada berapa orang yang mampu membuat burung terbang jatuh dengan hawa pedang? Siapa lagi kecuali Sebun Jui-soat.

Liu Jing-jing tidak dapat tertawa lagi, "Apakah dia belum pergi?" tanyanya.

"Biasanya dia tidak mudah kehilangan akal," ujar Siau-hong dengan tersenyum getir.

Liu Jing-jing menunduk, "Kutahu bagaimana bentuknya, pernah kulihat dia." Tiba-tiba ia mendongak pula dan berkata, "Tapi kita pun tidak perlu takut, dengan tenaga gabungan kita berdua masakah tidak mampu melawannya?"

Siau-hong menggeleng.

"Tetap kau takut padanya?" Jing-jing menegas. "Sebab apa?"

Siau-hong juga menunduk, ucapnya dengan menyesal, "Sebab aku merasa malu."

"Apakah benar engkau pernah berbuat seperti apa yang dituduhkan padamu?"

"Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan," ujar Siau-hong.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Where stories live. Discover now