Bab 01: Sejumlah Perampokan

2.3K 30 0
                                    

Panas yang menyengat. Sinar matahari seperti pisau panas, menusuk tanpa belas kasihan pada jalanan yang kotor dan berdebu. Bahkan bekas luka di wajah Siang Ban-thian pun tampak terpanggang hingga memerah.

Tepatnya ada tiga bekas luka, bekas luka itu dan sekitar 7 atau 8 macam luka dalam telah memberikan dirinya kemasyuran dan posisi yang ia nikmati sekarang ini. Bila cuaca berubah menjadi lembab atau hujan, luka dalamnya akan mulai berdenyut-denyut lagi, menyebabkan ruas-ruas tulangnya terasa sakit, dan ia tentu akan teringat lagi pada pertarungan-pertarungan dahsyat di masa mudanya dan merasa sangat bersyukur.

Bisa bertahan hidup selama ini bukanlah hal yang mudah, bisa menjadi seorang Hu-congpiauthau sebuah piaukiok yang pendapatannya 500 tael perak sebulan malah lebih sulit lagi, karena posisi itu didapatkan dengan darah dan keringat. Akhir-akhir ini ia jarang mengawal sendiri barang-barang antaran piaukioknya. Congpiauthau Tin-wan-piaukiok adalah juga suhengnya (kakak seperguruan). Mereka berdua menghabiskan waktu beberapa tahun terakhir ini dalam hidup yang tenteram dan damai, berlatih sedikit kungfu di pagi hari, minum arak di malam hari. Dengan melihat bendera Kim-jio-thi-kiam (Tombak Emas Pedang Besi) sudah cukup membuat orang-orang di wilayah tenggara menjauh dari barang-barang antaran Tin-wan-piaukiok.

Tetapi barang antaran kali ini terlalu penting, pemiliknya meminta kedua saudara seperguruan itu melakukan sendiri seluruh proses antaran. Tapi karena Congpiauthau sedang sakit, Siang Ban-thian terpaksa mengambil kembali sepasang pedang besinya yang masing-masing berbobot lebih dari 27 kati dan memimpin sendiri ekspedisi kali ini.

"Minggir.... Tin-wan... Tolong minggir...." Si tua Tio yang berada di depan berteriak-teriak untuk membuka jalan bagi rombongan piaukiok itu. Ia telah berkecimpung di dunia ekspedisi ini selama 20 tahun. Ia masih memiliki suara yang menggelegar, terutama setelah tadi ia meminum beberapa kendi arak Hwe-to (Golok Api) selama istirahat makan siang yang membuat tenaganya bangkit kembali lebih dari biasanya.

Siang Ban-thian mengeluarkan sehelai saputangan berwarna hijau dan menghapus keringat di keningnya. Waktu tiada memberi ampun, tiba-tiba ia menyadari bahwa ia telah bertambah tua. Setelah misi kali ini selesai, mungkin sudah tiba waktunya untuk menggantung pedang dan berhenti dari pekerjaannya ini. Saat itu matahari benar-benar terik. Jika ada sebuah tempat untuk berteduh, mungkin tidak ada salahnya untuk beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.

Siang Ban-thian menyentakkan tali kekang kudanya dan memacunya ke depan. Ia baru saja hendak memberikan instruksi pada si tua Tio ketika tiba-tiba ia melihat seseorang, yang sedang sibuk menjahit, duduk di tengah jalan. Seorang laki-laki bertubuh besar dan berjenggot.

Selama berkelana di dunia persilatan 30 tahun lebih, Siang Ban-thian belum pernah melihat seorang laki-laki menyulam, apalagi orang itu melakukannya di tengah terik matahari sambil duduk di tengah jalan raya.

"Mungkinkah dia sudah gila?" Orang itu benar-benar terlihat seperti orang gila, karena permukaan jalan itu sudah cukup panas untuk menggoreng sebutir telur, dan ia pun masih mengenakan sebuah mantel dari kain katun berwarna ungu kemerah-merahan.

Anehnya, sementara semua orang yang mengenakan selembar baju tipis saja telah dipenuhi oleh keringat, tidak terlihat setetes pun keringat di wajah laki-laki ini.

Siang Ban-thian mengerutkan keningnya, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat pada rombongannya agar berhenti, dan melirik ke arah si tua Tio.

Tio tua adalah orang yang telah lama berkecimpung di dunia persilatan, ia telah menjadi anak buah Siang Ban-thian sejak Siang Ban-thian pertama kali melakukan tugas ekspedisi.

Tentu saja ia langsung faham tentang keinginan majikannya. Maka ia pun tertawa kecil untuk membersihkan tenggorokannya dan berjalan menghampiri orang itu.

Serial Pendekar Empat Alis (Gu Long)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang