chapter 32

11.4K 695 16
                                    

HAPPY READING YEOROBUN 💞
---------

Pagi menjelang siang, para santri tengah mengantri untuk mengambil makan di dapur, ada juga yang tengah mengantri untuk membeli lauk, bahkan rela berdesak-desakan.

Atau ada juga yang malah lebih memilih untuk berangkat mandi, di karenakan para santri tengah mengantri makan, jadi kamar mandi akan sedikit lebih sepi dari biasanya. Juga tidak perlu mengantri panjang-panjang.

Aza, Ganeth, dan Lala, tiga Ning somplak yang kelakuannya bikin geleng-geleng kepala. Seperti biasanya mereka hanya rebahan di kasur masing-masing, menghalu, berghibah, nyanyi-nyanyi gak jelas, bahas cogan, atau hanya sekedar menatap langit-langit kamar.

"Cita-cita kalian apaan" tanya Ganeth pada kedua sahabatnya.

"Buat apa Lo tanya sesuatu, yang Lo sendiri udah tau jawaban atas tujuan kita berdua" jawab Lala.

Lala dan Aza adalah anak tunggal, sedari kecil mereka di tuntut untuk menjadi penerus pondok pesantren, walaupun ada Arvelin tetapi Aza lah yang selalu di tuntut untuk menjadi sempurna, dan karena itulah Aza selalu membangkang perintah kakeknya. Dulu sewaktu ibu dan ayahnya masih ada, mereka selalu membela Aza, kini hanya tinggal kenangan belaka.

"Siapa tau takdir bisa berubah" ucap Ganeth.

"Dan gue harap, takdir benar-benar bisa merubah hidup gue" monolog Aza.

"Lah gue, udah lah terima aja" timpal Lala. "Setelah dari sini Lo mau kemana mett?" tanya Lala.

"Gue? Mau tinggal bareng sama orang tua, bahagia, gak punya beban, itu harapan gue. Tapi yang pasti, harapan itu bakal terwujud" ucap Ganeth tersenyum lebar, seakan menanti-nanti itu.

"Gue harap harapan Lo terkabul" ucap Lala dan Aza.

"Seenggaknya gue pengen salah satu dari kita bisa bebas akan tanggung jawab yang besar" batin Aza.

Setelah percakapan pendek itu, hening. Mereka bertiga tengah berkelana dalam pikiran masing-masing. Mungkin sebagian orang mengira menjadi Ning ataupun Gus itu enak, terkenal dalam kalangan pondok, sudah pintar dari kecil, tanpa mereka ketahui itulah yang menjadi beban terberat mereka.

Sudah pintar dari kecil bukan berarti mereka bisa bersantai, justru mereka akan di tuntut lebih, setelah tuntutan itu selesai, mereka akan di tuntut lagi untuk melakukan sesuatu yang lebih besar. Hingga akhirnya mereka siap untuk menjadi penerus, dan melahirkan penerus lainya.

Itu yang Aza pikirkan sekarang, mungkin besok harinya pikiran itu akan berubah, begitulah manusia.

"Panggilan kepada Ganetha Alice ada orang tuanya di ruang penjengukan, sekali lagi lagi, Ganetha Alice ada orang tuanya di ruang penjengukan, terimakasih"

Gubrak

Mereka bertiga dengan serempak turun dari kasur, saling berpandangan. "Yeyyyys" girang mereka.

"Assalamu'alaikum, punten. Tadi Abah Dawuh Mbak Lala suruh ke ndalem" ucap putri salah seorang santri.

"Wa'alaikum salam, makasih infonya" ucap Lala, membiarkan santri itu pergi. "Ada apa Weh, deg-degan gue" ucap Lala sambil memegang dadanya.

"Kunjungan kali" sahut Aza.

"Mana ada, tapi ya udah lah gue kesana dulu. Sorry ya met gue gak bisa ikut ketemu bunda, salamin ya" ucap Lala lalu beranjak pergi ke ndalem Abah.

"Ayok kita ketemu bunda" seru Aza girang, Ganeth hanya tersenyum melihat tingkah Aza, layaknya bocil yang sudah lama di tinggal ibunya.

"Bundaaaaa" pekik Aza girang memeluk bunda Ganeth, sedangkan Ganeth hanya memandang sinis Aza. Sambil menyalimi Ayahnya.

Ijbar [Terbit]Where stories live. Discover now