chapter 10

14K 751 2
                                    

HAPPY READING YEOROBUN 💞
-----------

Malam harinya Selepas Takror Aza langsung berlari ke kamar, memastikan bahwa hpnya ada. Karena tadi saat di Takroran mbak Naila sempat bilang bahwa saat diniah para pengurus melakukan razia.

"Anyin- astagfirullah, hp gue nggak ada." Ujar Aza menggeledah tempat penyimpanan handphone nya.

"Jamet, Lo minjem hp gue nggak?!" jerit Aza panik.

"Enggak, emang di situ nggak ada?"

"Kalo ada gue nggak bakal panik."

Aza terduduk di lantai menahan tangis, bukan ia cengeng atau apa. Pasalnya itu handphone terakhir yang di kasih ayahnya, juga terdapat beberapa kenangan bersama orang tuanya.

"Tinggal beli lagi elah Za" usul Ganeth enteng, mengingat bahwa Aza anak orang kaya.

"Bukan itu masalahnya, memori kenangan gue sama orang tua gue semuanya ada di handphone itu. Dan lagi itu handphone ke tiga gue yang kesita, udah pasti bakal di hancurin" lirih Aza.

"Bagi yang namanya di panggil harap segera ke kamar pengurus, Azalia, vasline, citra. Sekali lagi, bagi yang namanya di panggil harap ke kamar pengurus, terimakasih" mendengar namanya di panggil, Aza sudah benar-benar yakin bahwa handphonenya berada di kamar pengurus.

"Tuh kan gue di panggil suruh ke kandang macan"  ucap Aza malas, kandang macan adalah istilah para santri yang merujuk kamar pengurus.

"Gimana dong kak" khawatir Khanza.

"Emang kenapa, nggak usah khawatir. Gue udah sering kaya gini waktu di pondok Al-Hikam dulu." Ungkap Aza tenang, sudah tidak ada lagi raut panik di wajahnya.

Ganeth yang melihat perubahan emosi Aza dalam waktu sesingkat itu sudah tidak heran lagi.

Aza keluar kamar, menuju kandang macan. Di keramik lapis, tempat biasa para santri nongkrong banyak yang melirik Aza heran. Mungkin bagi mereka ini hal baru, karena selama dua tahun di pondok pesantren Assalam, Aza tak pernah membuat ulah. Dua handphone Aza yang kesita pun, itu udah lama sekali. Tepatnya waktu Aza pertama kali datang ke pondok.

"Itu beneran kak Aza buat ulah?"

"Kemarin gue juga dengar kalo dia bahkan ribut sama Arvelin, si santri baru ituloh."

"Tapi muka dia memang mendukung jadi bad girl kok."

Aza menghela nafas pasrah, mendengar para santri membiarkannya. Toh ia memang nakal kan, dan dia akan mempertanggung jawabkan masalah ini.

Saat Aza melongok ke dalam kamar pengurus di dalam sudah ada para santri yang di panggil, mereka duduk berhadapan dengan para keamanan pondok.
"Wah, mainnya keroyokan nih" batin Aza.

"Kenapa mbak?" Tanya Aza santai, ia sudah terlatih dalam seperti ini, tapi itu dulu.

"Kamu nggak ngerasa ngebuat kesalahan?" Tanya Mbak Farah, sang lurah pondok.

"Kalo saya nggak ngerasa, saya nggak akan di sini." Ini lah yang membuat Aza malah berurusan dengan pengurus, mereka merasa sok berkuasa.

"Ini punya kamu," tanya Mbak Farah sambil menunjuk handphone nya.

"Iyaaa, kenapa mba, bagus yah?"

"Kamu itu bisanya njawab aja kalo di tan-"

"Udahlah mba langsung aja. Takziranya apa, handphone mau di apain. Belibet banget dah hidup kalian. Mana mainnya kerokan lagi."

"Keroyokan kak" bisik citra membenarkan ucapan Aza.

"Iya itu, kerokan."

"Keroyokan."

Ijbar [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang