Have a Nice Dream [Completed]

By alyaranti

3.3M 241K 27.8K

#2 in Teenfiction [29/12/2020] "Lo tau nggak gimana rasanya ditinggal waktu lagi sayang-sayangnya?" "Rasanya... More

PROLOG
[1] First Met
[2] Meet Again
[3] Getting You
[4] Issues
[5] Weird
[6] Pacar?
[7] Hilang
[8] Her Feelings
[9] Curious
[10] Her Eyes
[11] Comfort
[12] Melted
[13] Sweet Question
[14] Terjebak
[15] For You
[16] Another Feelings
[17] Looking at Stars
[18] About Sirius
[20] Am I Fall in Love?
[21] Am I Wrong?
[22] 180 Degrees
[23] Broken Pieces
[24] Clarity
[25] Hurt Issue
[26] Unpredictable Things
[27] Deep Inside
[28] Big Question
[29] Indescribable Day
[30] A Mess
[31] Tenang
[32] More Curious
[33] Misi Selanjutnya
[34] Terungkap
[35] Unexpected
[36] Is He Okay?
[37] The Story of a Raindrop
[38] Under the Stars
[39] About Rapunzel
[40] Espresso
[41] Deeply Hurt
[42] Tahu Diri
[43] About Hurt
[44] Last Time
[45] About The Feelings
[46] Lost in Stars
[47] Broken Rain
[48] Bitter Reality
[49] Bittersweet Memories
[50] Letting Go
[51] Last Words
EPILOG
Extra Chapter
Question and Answer
Broken Memories
An Information
Official Trailer Film The Other Side

[19] First Love

52.1K 3.8K 660
By alyaranti

“Ada makna berarti yang bahkan kadang orang lain nggak bisa ngerasain kalo cuma liat pake mata.”

Sudah pagi, mentari pun sudah keluar dari tempat persembunyiannya dan kembali mempersembahkan sinar terindahnya untuk semesta.

Kini Ravin tengah berada di meja makan untuk menyantap sandwich sebelum ia berangkat ke sekolah. Di depannya ada Papanya dan di sebelahnya ada sosok yang menjadi malapetaka untuknya. Siapa lagi kalau bukan Shanon?

Shanon adalah adik kelas yang sudah lama menyukai Ravin. Mungkin ini juga salah Ravin yang menggombali siapa saja hanya untuk memalak uangnya. Namun Shanon ini gila, ia bisa melakukan apa saja hanya untuk menarik perhatian Ravin.

Ravin menatap Papanya. “Pa, Papa belum jawab pertanyaan Ravin. Kenapa sih Papa harus nyuruh dia buat tinggal sama kita?”

Vito—Papa Ravin justru tertawa seraya mengunyah makanan yang masih tersisa di dalam mulutnya. “Nanti kamu juga tahu.”

Ravin memutarkan kedua bola matanya malas.

“Emangnya gue cenayang apa?” dumel Ravin dengan memelankan suaranya.

“Yang penting, mulai sekarang kamu harus jagain Shanon. Jangan galak-galak juga ya sama Shanon?” pinta Vito.

Setelah makanan mereka habis, Vito tersenyum kearah Ravin dan Shanon.

“Udah sana kalian berangkat. Oh iya, mulai sekarang kamu juga harus anter jemput Shanon ya, Vin?”

“Ravin berangkat, Pa,” ujar Ravin malas seraya mencium punggung tangan Vito lalu beranjak pergi tanpa menunggu Shanon.

Shanon berjalan cepat untuk menyejajarkan posisinya dengan Ravin lalu tersenyum manja. “Tuh, Kak Ravin denger ‘kan apa kata Om Vito? Mulai sekarang, Kak Ravin harus jadi malaikat pelindung buat aku.”

Ravin bergedik geli. “Heh jenglot, nggak usah sok cantik lo! Muka lo kayak upil kuda tau nggak?”

Ravin langsung naik ke atas motornya. Shanon yang merasa ditinggal mengerucutkan bibirnya. “Ih Kak Ravin, tungguin dong!”

Tanpa aba-aba, Shanon langsung menaiki motor Ravin. Mau tak mau, pagi ini Ravin harus berangkat bersama Shanon.

Ravin menghela napas berat.

Sial amat gue, baru kemaren ketemu bidadari. Kenapa sekarang jadi ketiban jenglot gini?

“Kak Ravin kenapa sih jutek banget sama aku? Aku kurang cantik ya, Kak?” tanya Shanon.

“Kata temen-temen aku, Kak Ravin sukanya sama Kak Ara. Padahal kata mereka juga, aku lebih cantik loh daripada Kak Ara.”

“Lagi juga, Kak Ravin terlalu baik buat Kak Ara. Kak Ara nggak pantes dapetin Kak Ravin.”

“Kak Ravin nggak tau ya? Kak Ara ‘kan cewek murahan, masa iya dia ngerebut calon tunangan orang lain?”

“Emangnya, apa sih yang Kak Ara punya tapi aku nggak punya?” tanya Shanon.

Ravin menahan emosinya, matanya sudah membulat, perutnya juga sudah kembali maju mundur karena emosi. Rasanya ia ingin menelan Shanon hidup-hidup karena berani-beraninya berkata seperti itu tentang Ara.

“Lo kurang waras, jenglot!”

“Nggak usah jelek-jelekin Ara! Lo belum tentu lebih baik dari dia.”

Shanon menggerutu sendiri. “Ih tapi emang Kak Ara murahan, Kak.”

Hidung Ravin kembali kembang kempis seperti biasanya. “Lo mau diem apa gue turunin disini?”

“Lo mau mulut lo gue sumpel pake pantat panci beneran?” sentak Ravin. Shanon terdiam dan menundukkan kepalanya.

“Iya, aku ‘kan cuma ngingetin Kak Ravin aja biar nggak salah jatuh cinta sama orang.”

Setelah beberapa menit, motor Ravin akhirnya sampai di koridor parkir SMA Melodi. Ravin melepas helmnya dan menatap malas gadis yang ada dibelakangnya. “Turun lo!”

Menyebalkan. Tuhan, mengapa engkau harus mengirimkan malapetaka seperti Shanon?

Apa juga tujuan Papa Ravin meminta Shanon untuk tinggal dirumahnya? Dan mengapa juga ia tak memberi tahu apa alasannya pada Ravin?

Pelajaran demi pelajaran sudah terlewati dan kini tiba pelajaran terakhir yaitu pelajaran matematika.

Siapa yang cinta pada matematika?

Tapi sayangnya, matematika selalu menjadi perkara yang menyebalkan untuk seorang Davira Amanda.

Lagi juga, mengapa matematika selalu meminta orang lain untuk memecahkan masalahnya? Memangnya ia tak bisa memecahkan masalahnya sendiri? Apakah ia tidak tahu jika masalah manusia di dunia ini mungkin lebih banyak dibandingkan masalahnya?

Ara mengetukkan pulpennya di kepala tak lama ia berdiri dan menghampiri Bu Beti. “Bu, saya izin ke toilet ya?”

Bu Beti mengangguk. “Ya sudah sana, ganggu ibu lagi menjelaskan saja.”

Ara tersenyum penuh kemenangan dan keluar dari kelas Bu Beti, sebenarnya Ara tak ingin ke kamar mandi. Namun ia sangat bosan berada di dalam kelas dan mengikuti pelajaran yang tak ia sukai sama sekali.

Langkahnya terhenti di depan suatu koridor kelas. Disana terdapat Galang, Boni, Chiko yang tengah tertawa lepas. Iya mereka bertiga, tanpa dirinya. Biasanya Ara selalu menjadi bagian dari mereka, tertawa bersama, membahas project bersama, menciptakan lagu bersama. Namun mengapa kini ia seakan berada di titik terendah sendirian?

Ara terdiam beberapa saat. Suara tawa mereka mengingatkan Ara pada hal-hal yang pernah mereka ber-empat lakukan bersama. Rasa rindu itu masih terbesit di dalam dadanya, meskipun rasa kecewa pun bergejolak karena mereka menuduh Ara seenaknya.

Ara berjalan menuju lapangan dan duduk di kursi yang ada di tepi lapangan, ia menatap langit biru di sore hari yang sebentar lagi akan berubah menjadi warna oranye.

Mungkin memang benar, cepat atau lambat semuanya akan berubah.

Warna awan saja bisa berubah, bagaimana manusia bisa menetap? Semua pasti ada waktunya untuk berubah.

Ara memejamkan matanya seraya menarik napasnya dalam-dalam untuk mencoba membendung air matanya. Ia tak ingin menangis lagi.

“Kak Ara, jangan sedih.” Suara itu membuat Ara menoleh kearah sumber suara itu. Disana terdapat Ravin yang tengah menggoyangkan kedua es krim sehingga tampak seolah berbicara pada Ara dengan tangannya.

Ara menatap Ravin dengan matanya yang memerah. “Ravin, ngapain lo disini?”

Ravin tersenyum teduh. Entah mengapa ada manusia yang memiliki senyum seteduh Ravin. “Aku bukan Ravin, aku es krim yang minta dimakan sama Kak Ara.”

Ara terkekeh kecil. “Apaan sih lo, Vin. Jayus banget tau nggak?”

Ravin kembali menggerakan es krim itu dengan tangannya. “Ih Kakak, ‘kan aku udah bilang aku bukan Ravin. Aku es krim yang minta dimakan sama Kak Ara!”

Ara tertawa. Entah mengapa Ravin selalu punya cara untuk membuatnya kembali tertawa. “Iya deh, kenapa kamu tiba-tiba disini? Ini ‘kan jam pelajaran. Nanti kamu dihukum loh!”

“Tadi aku liat Kak Ara lagi sedih, makanya aku samperin Kak Ara. Aku ‘kan nggak mau liat Kak Ara sedih.”

“Sok tahu, siapa sih yang sedih?”

“Kak Ara lah, masa Bu Beti! Bu Beti ‘kan lagi ngajar matematika.”

Ara tertawa lagi, memang Ravin manusia paling aneh yang pernah ia temui. Jadi Ravin juga tahu jika ia bolos pelajaran matematika?

“Apaan sih lo, Vin? Nggak usah sotoy,” ujar Ara lalu mengalihkan pandangannya.

Ravin tertawa hangat. “Lo bohong, Ra.”

“Nggak,” tepis Ara tanpa menatap mata Ravin.

“Buktinya lo nggak berani liat mata gue,” ujar Ravin seraya menatap Ara dengan tatapan intens. Mendengarnya, akhirnya Ara menoleh kearah Ravin yang sudah menatapnya terlebih dahulu sehingga mata mereka bertaut beberapa saat.

“Ra, mungkin lo bisa bohong sama siapapun. Tapi mata lo nggak akan pernah bisa bohong sama gue.”

“Tau nggak kenapa? Karena mata itu langsung nyambung ke hati.”

Ravin tersenyum setelah itu ia memberikan satu buah es krim rasa Vanilla pada Ara. “Nih buat Ara, nanti nangis loh kalo nggak dimakan.”

Ara menggeleng. “Gue nggak mau.”

“Nggak papa, es krim nggak akan bikin Ara gendut.”

“Es krim itu cocok buat orang yang lagi sedih,” lanjut Ravin dengan tetap masih menyodorkan es krim itu seraya menaikkan satu alisnya.

Ara tersenyum dan mengambil es krim itu, sedangkan Ravin tanpa diminta sudah memakan es krim itu dengan lahap.

“Lo suka es krim?” tanya Ara penasaran.

Ravin tampak berpikir dengan terus memakan es krimnya. “Suka, tapi lebih suka lo.”

Ara menepuk bahu Ravin seraya tertawa. “Dih, dasar tukang gombal!”

Ravin ikut tertawa. “Tapi ini beneran!”

“Kenapa lo suka banget sama es krim?”

Ravin tampak berpikir lagi. “Karena, es krim sama kayak Ara.”

Ara mengerutkan dahinya. “Lo tuh emang suka nyama-nyamain ya? Kemarin lo nyamain gue sama bintang, sekarang lo nyamain gue sama es krim.”

“Karena Ara emang kayak es krim.”

“Es krim itu dingin kayak Ara.”

“Tapi disatu sisi, es krim juga menyejukan dan menenangkan.”

“Dan dengan tetap jadi dirinya sendiri, es krim selalu berhasil buat orang lain jatuh cinta.”

“Es krim juga sama kayak hidup, Ra.”

“Dia emang dingin, tapi walaupun dingin dia tetep bisa dinikmatin sama pecintanya dengan komposisi yang pas. Sama ‘kan kayak hidup? Tuhan pasti ngasih masalah sama kita, tapi dengan komposisi yang pas. Tuhan nggak mungkin ngasih masalah sama hambanya diluar kemampuan hambanya.”

“Dan kalau kita mencintai hidup kita, walaupun ada masalah kita tetep bisa nikmatin hidup kita.”

Ara mengangguk. “Lo kayaknya tau
banget tentang filosofi ya?”

Ravin terkekeh pelan. “Nggak tau banget sih, tapi suka aja.”

“Kenapa?” tanya Ara penasaran. Ternyata, ada sisi lain dari Ravin yang mungkin tak banyak orang lain tahu. Banyak sisi lain dari Ravin yang baru akan diketahui setelah mengenalnya lebih jauh.

“Karena semuanya nggak bisa dinilai dari luar, Ra.”

“Ada makna berarti yang bahkan kadang orang lain nggak bisa ngerasain kalo cuma liat pake mata.”

Ara mengangguk lagi, ia tak tahu apa yang harus ia katakan pada pemikiran Ravin yang begitu menakjubkan.

“Eh iya, Ra. Babang Ravin ke kamar mandi dulu ya? Kebelet pipis,” izin Ravin.

Ara tertawa lepas. “Yaudah sana, kocak banget sih lo!”

Setelah Ravin pergi, ia menggelengkan kepalanya sendiri seraya memakan es krim vanilla yang diberikan oleh Ravin. Tak lama, Pak Jaka—petugas kebersihan SMA Melodi menghampiri Ara.

“Neng Ara téh pacarnya Mas Ravin, ya?”

Ara menggelengkan kepalanya. “Bukan, Pak. Saya bukan pacarnya.”

Pak Jaka mengangguk. “Tapi calon pacarnya, ‘kan?”

Ara terkekeh kecil. “Ah enggak, Pak.”

“Tapi kayaknya, Mas Ravin téh cinta banget sama Neng Ara.”

“Masa sih, Pak? Bukannya dia emang begitu sama semua cewek?”

Pak Jaka menggelengkan kepalanya. “Aih kata siapa, Neng Ara? Mas Ravin mah emang baik sama semua cewek, suka gombalin semua cewek juga. Tapi baru kali ini Mas Ravin jatuh cinta sama cewek.”

Ara mengerutkan dahinya. “Masa sih, Pak? Perasaan bapak aja kali.”

Pak Jaka mengangguk. “Serius atuh, Neng. Cewek yang sering diceritain sama Mas Ravin ke saya juga cuma Neng Ara.”

“Katanya, Neng Ara bidadari tak bersayapnya.”

Ara tertawa seraya menggelengkan kepalanya. “Itu mah, emang dianya aja yang aneh, Pak.”

“Enggak, Neng. Kalo kata anak sekarang mah, Neng Ara itu cinta pertamanya Mas Ravin,” ujar Pak Jaka yang membuat Ara tersedak seketika. Es krim yang tengah ia makan seakan berkumpul ditenggorokannya.

“Mas Ravin orangnya baik banget, Neng. Jangan bikin dia sakit hati ya, Neng?” pesan Pak Jaka lalu bergegas pergi meninggalkan Ara.

Ara tertegun sejenak, mengapa jantungnya berdebar sendiri setelah mendengar ucapan Pak Jaka? Mungkinkah jika ia adalah cinta pertama seorang Ravin Bagaskara? Sosok yang terkenal badboy dan tukang gombalin cewek di SMA Melodi?

Lalu, apa arti degupan itu? Degupan yang sempat hadir saat ia bersama Chiko dahulu. Apa mungkin jika ia sudah jatuh cinta pada manusia aneh seperti Ravin?

TBC

Author Note:

Kenapa Papanya Ravin nggak mau ngasih tau alesan dia minta Shanon buat tinggal sama mereka ya? Sebenernya tujuannya apa? Oh iya, apa mungkin Ara beneran cinta pertamanya Ravin? Thanks for reading ❤

Alya Ranti

Continue Reading

You'll Also Like

78.3K 8.8K 65
Highest rank #1 Metropop 06.04.2019 - 11.04.2019 Kei tak lagi berusaha untuk melawan takdir. Ia menjalani hari-hari seperti yang sudah digariskan unt...
8.8M 422K 71
#2 Highes Rank 05092017 18+ Menyakitkan... itulah yang kurasakan saat orang orang yang ku cintai tak lagi mempercayaiku,saat kebahagiaanku terampas s...
19.2K 2.2K 72
"Tenn-nii, kenapa anak itu selalu memperhatikan ku?" "Abaikan saja dia!" . "Tenn-nii! Aku berkenalan dengannya! Ternyata dia adik kelas kita dulu!" "...
2.4M 129K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...