Have a Nice Dream [Completed]

alyaranti által

3.3M 241K 27.8K

#2 in Teenfiction [29/12/2020] "Lo tau nggak gimana rasanya ditinggal waktu lagi sayang-sayangnya?" "Rasanya... Több

PROLOG
[1] First Met
[2] Meet Again
[3] Getting You
[4] Issues
[5] Weird
[6] Pacar?
[7] Hilang
[9] Curious
[10] Her Eyes
[11] Comfort
[12] Melted
[13] Sweet Question
[14] Terjebak
[15] For You
[16] Another Feelings
[17] Looking at Stars
[18] About Sirius
[19] First Love
[20] Am I Fall in Love?
[21] Am I Wrong?
[22] 180 Degrees
[23] Broken Pieces
[24] Clarity
[25] Hurt Issue
[26] Unpredictable Things
[27] Deep Inside
[28] Big Question
[29] Indescribable Day
[30] A Mess
[31] Tenang
[32] More Curious
[33] Misi Selanjutnya
[34] Terungkap
[35] Unexpected
[36] Is He Okay?
[37] The Story of a Raindrop
[38] Under the Stars
[39] About Rapunzel
[40] Espresso
[41] Deeply Hurt
[42] Tahu Diri
[43] About Hurt
[44] Last Time
[45] About The Feelings
[46] Lost in Stars
[47] Broken Rain
[48] Bitter Reality
[49] Bittersweet Memories
[50] Letting Go
[51] Last Words
EPILOG
Extra Chapter
Question and Answer
Broken Memories
An Information
Official Trailer Film The Other Side

[8] Her Feelings

65.6K 4.6K 460
alyaranti által

“Lo mungkin nggak sadar kalo senyuman lo itu bisa nebar kebahagiaan buat orang yang ada disekitar lo.”

Ara menghela napas berat, ia menatap langit senja yang sering dibilang indah oleh banyak orang di
atap gedung berukuran delapan kali sembilan belas meter yang ada di seberang SMA Melodi.

Ara tak biasanya seperti ini, Ara bukanlah tipe orang yang melankolis. Tapi ternyata orang-orang itu ada benarnya juga, jika senja itu menenangkan. Senja siap untuk mendengarkan keluh kesah ribuan manusia untuk sekadar meluruhkan beban yang ada di dalam diri mereka.
Dan yang jelas, senja tidak seperti manusia yang hanya bisa menghakimi tanpa mendengarkan. Senja tidak seperti manusia yang selalu ingin dimengerti namun tidak pernah mau mencoba untuk mengerti.

Mungkin memang terlalu melankolis, namun memang menyakitkan ketika  kau harus terus mengerti tanpa dimengerti.

Menyakitkan ketika kau terus disalahkan tanpa diberi kesempatan untuk bicara.

Memang menyakitkan ketika kau tak diberikan ruang untuk didengarkan.

Dan memang menyakitkan, ketika kau ditinggalkan begitu saja padahal selama ini kau sudah mati-matian mempertahankan.

Ara tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, pikirannya begitu kalut sehingga Ara mengambil sebatang rokok dari dua belas rokok yang tersusun rapi di dalam bungkusnya.

Namun tiba-tiba saja, seseorang mengambil semua rokok itu dari tangan Ara. Ia menatap Ara cemas. “Ara, menurut ilmu kedokteran. Rokok itu nggak baik buat kesehatan!”

“Apalagi buat cewek.”

“Kalo misalnya bibir Ara korengan gimana?”

“Terus kalo misalnya paru-paru Ara jadi borokan gara-gara rokok gimana?”

“Ara nggak mikirin gimana perasaan Babang Ravin kalo misalnya Ara kenapa-napa?” tanya Ravin. Ara menatap sosok itu dengan matanya yang sembab, mengapa sih sosok itu selalu datang kapanpun dan dimanapun tanpa diundang?

“Babang Ravin tau Ara lagi banyak masalah.”

“Tapi nyelesain masalah bukan dengan cara ngancurin diri lo sendiri, Ra.”

“Mau apa sih lo?”

“Emangnya lo tau apa tentang gue?” tanya Ara dengan nada bicara yang meninggi.

“Kalo lo kesini cuma buat ganggu gue, mendingan lo pergi!”

“Lo tuh ganggu tau nggak?”

Ravin menggelengkan kepalanya lalu duduk disamping Ara. “Tapi gue nggak mau ninggalin lo sendirian.”

Ara mendengus kesal seraya menatap langit senja yang sebentar lagi akan hilang. “Pergi.”

“Nggak usah ikut campur urusan gue.”

Ravin menatap mata Ara yang sepertinya tengah menahan air matanya yang akan mengalir. “Kan Babang Ravin udah bilang, sekarang lo itu pacar gue. Gue bakalan terus ada buat lo kapanpun dan dimanapun.”

Emosi Ara semakin memuncak. “Tapi ‘kan gue udah bilang, lo bukan pacar gue!”

“Gue kasih tau ya sama lo.”

“Sampai kapanpun, lo nggak bakalan jadi siapa-siapa buat gue.”

“Jadi mendingan sekarang lo pergi!”

“Lo disini juga nggak guna tau nggak?”

Ravin tersenyum hangat seraya menatap Ara dengan tatapan teduh. “Nggak papa kalo menurut Ara Babang Ravin nggak guna buat Ara.”

“Tapi gue bakalan lebih ngerasa nggak berguna buat diri gue sendiri kalo gue nggak berbuat apa-apa disaat lo lagi rapuh, Ra.”

Ara tertawa miris. “Nggak usah sok kasian sama gue!”

“Gue nggak perlu dikasihanin.”

“Lagi juga, gue nggak rapuh kayak yang lo bilang.”

“Mendingan lo pergi sekarang!”

Ravin hanya tersenyum tipis.

Dasar cewek, selalu aja bilangnya nggak papa—padahal sebenernya ada apa-apa. Selalu aja sok kuat, padahal sebenernya udah rapuh, padahal sebenernya hati mereka udah nggak kuat lagi.

“Pergi! Ngapain sih lo masih disini? Gue mau sendiri,” ujar Ara setengah berteriak.

“Babang Ravin nggak akan pernah ninggalin Ara sendirian.”

Ara memutar kedua bola matanya malas, percuma saja jika ia terus bicara dengan spesies semacam Ravin. Itu hanya akan membuat kepalanya semakin ingin pecah.

Mereka hanya saling diam seraya menatap langit senja yang sebentar lagi akan pergi, mereka saling diam dan merasakan apa yang tengah mereka rasakan masing-masing didalam perasaan mereka.

Ara menatap Ravin, tapi bukan dengan tatapan tajam yang biasa ia tunjukkan. Ia menatap Ravin, dengan tatapan sendunya.

“Ngapain sih lo masih disini?”

“Ngapain sih lo peduli sama gue?”

“Paling bentar lagi lo sama aja kayak mereka yang ngeliat gue cuma pake sebelah mata.”

Ravin menatap Ara dengan tatapan teduhnya. “Kenapa gue harus ninggalin orang yang bikin gue tenang?”

“Kenapa gue harus ninggalin orang yang bikin gue bahagia kalo gue ada dideketnya?”

“Buat apa gue mandang lo pake sebelah mata padahal hati gue selalu tentram kalo gue ngeliat wajah lo?”

“Babang Ravin juga nggak tau kenapa Babang Ravin harus peduli sama Ara.”

“Yang jelas, Babang Ravin paling nggak suka kalo ada orang yang bikin Ara sedih kayak gini.”

“Babang Ravin ikhlas kok kalo Ara marah-marahin Babang setiap hari. Itu nggak lebih menyakitkan dibanding Babang Ravin harus ngeliat Ara sedih kayak gini.”

“Ara nggak usah dengerin omongan mereka, kadang mereka cuma bisa ngomong tanpa tau kebenarannya gimana.”

“Babang Ravin yakin kok, diluar sana masih banyak orang-orang yang sayang sama Ara. Yang kagum sama Ara.”

“Harusnya Ara tetep bahagia, Ara tetep semangat buat mereka yang sayang sama Ara. Harusnya Ara peduliin mereka, bukan orang-orang yang nggak suka sama Ara.”

“Harusnya Ara senyum buat mereka yang sayang sama Ara.”

“Karena Ara mungkin nggak sadar kalo senyuman Ara itu bisa nebar kebahagiaan buat orang yang ada disekitar Ara.”

“Orang-orang yang nggak suka sama Ara belom tentu mereka lebih baik dari Ara, Babang Ravin yakin kok kalo Ara itu orang yang baik.”

“Buktinya Babang Ravin jatuh cinta sama Ara semenjak pertama kali liat Ara nyanyi. Karena Ara cantik apa adanya, Ra.”

Ara menghela napas sejenak seraya memutar kedua bola matanya malas. “Alay banget tau nggak sih bahasa lo?”

“Lo nggak ngerti masalah gue gimana, jadi nggak usah sok paling ngerti, nggak usah sok peduli.”

“Kalo lo nggak mau pergi, yaudah gue yang pergi.”

Ara mengambil tasnya lalu beranjak pergi dari tempat itu. Namun dengan cepat Ravin berdiri dan menahan Ara. “Kan Babang Ravin udah bilang, Babang nggak akan biarin Ara sendirian.”

“Babang Ravin yang jemput Ara ke sekolah, Babang Ravin juga yang harus anterin Ara pulang!”

“Nggak usah, gue bisa pulang sendiri!”

“Nggak, Ara harus pulang sama Babang Ravin!”

“Babang nggak mau ya dianggep laki-laki nggak bertanggung jawab sama Om Revo!”

Ara terdiam sejenak seraya menatap Ravin bingung. Kenapa dia tau nama bokap gue?

“Ya orang gue nggak mau, lo apaan sih?”

“Babang Ravin janji, kalo Ara pulang bareng gue. Besok pagi gue nggak akan jemput Ara.”

Ara terdiam sejenak, rasanya itu adalah ide baik untuk menenangkan pikirannya esok hari.

Ara mengangguk seraya menatap Ravin tajam. “Gue balik bareng lo, tapi jangan ganggu gue lagi.”

“Ngerti lo?”

Ravin mengangguk. “Iya Ra, enggak kok.”

Enggak janji, batin Ravin seraya tersenyum penuh kemenangan.

Setelah hampir 20 menit, akhirnya mobil Ravin berhenti didepan rumah Ara. Tanpa berkata satu patah kata pun, Ara turun dari mobil Ravin.

Ara berjalan cepat untuk memasuki rumahnya, bahkan tak mempedulikan Papanya yang tengah berdiri di dekat pintu.

Ravin turun dari mobilnya lalu berteriak. “Ara, jangan lupa mimpiin Babang Ravin ya!”

“Have a Nice Dream, Ara.”

I love you!” ujar Ravin tanpa sadar jika Revo—Papa Ara sudah berdiri di depan pintu seraya menatapnya penuh arti.

“Eh, Om,” ujar Ravin malu seraya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Apa jadinya nasib Ravin malam ini?

TBC

Author Note:
Babang Ravin ternyata omongannya bisa bener juga ya? Oh iya, kalo kalian ada di posisi Ravin kalian bakalan gimana? Kalo aku sih bakalan malu banget. Thanks for reading ❤

Alya Ranti

Olvasás folytatása

You'll Also Like

2.7M 155K 39
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
6.3M 413K 57
[Sequel INTO YOU] Akan ada saat dimana orang berhenti berjuang. Berhenti berharap. Meski sulit, tapi itu yang terbaik. Sama hal-nya dengan Bintang Ar...
771K 36.7K 41
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...
3M 256K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...