Pintu kantor dibuka lebar, seorang wanita muda masuk ke ruangan tempat Arbie dan Aika sedang sibuk bercengkerama. Dia berdiri di ambang pintu dengan pandangan mata yang nanar. Wajahnya merah, dia mendekat denga sebilah pisau di tangannya. Arbie menarik Aika di belakangnya.
"Kau janji akan menikahiku, Mas!" teriaknya dengan tangan yang gemetaran.
"Kapan aku bilang begitu padamu? Letakkan pisaumu, ayo kita bicara!"
"Aku tak ingin bicara padamu, seperti yang sudah-sudah! Kau pilih aku atau wanita itu! Aku hamil, Mas!" teriaknya lagi.
Aika meremas pundak suaminya, dia mendorong Arbie dan berjalan mendekati wanita gila yang mengaku hamil anak suaminya.
"Mundur! Atau aku akan membunuhmu!"
"Apa kau takut, kebohonganmu akan terbongkar? Makanya, kamu kemari dengan sebilah pisau ini?" tanya Aika tenang.
"Aku akan menusuk anak di dalam kandunganmu!" teriaknya lagi. Urat lehernya tercetak jelas. Wanita bertubuh cungkring itu mendekat, dia mengacungkan pisau kecil itu lebih dekat.
Arbie mencoba menarik Aika, tetapi, terlambat. Wanita gila itu berteriak, dia maju dan siap menikam Aika. Aika pun ikut maju, dia mengayunkan tas tangan yang masih ada di tangannya. Perut besarnya, sama sekali tidak memengaruhi gerakannya yang masih lincah.
Pisau itu pun jatuh ke lantai. Aika maju dan meloncat ringan untuk melancarkan tendangannya yang mengenai perut wanita itu. Wanita gila itu pun terlempar dan menabrak dinding. Dia meringis menahan rasa sakit.
Aika maju, dia memasang kuda-kuda. Kini, kakinya sudah ada di depan wajah wanita gila yang bernama Raisa itu. "Apa kau ingin merebut suamiku dengan cara ini?" Aika menarik sudut bibirnya.
"Aku akan merebutnya darimu!"
"Aika, kamu bisa terluka, sudah hentikanlah!" Arbie menarik istrinya. Dia pun memeluknya erat, "kau ini!"
Wanita itu berdiri, dia memungut pisau kecilnya dan kini menghujamkannya ke pinggang Arbie.
Aika berteriak kuat, Raisa menjatuhkan pisaunya. Kini tangannya berlumuran darah. Aika menahan tubuh suaminya yang perlahan jatuh tersungkur.
"Tolooooong!" lolong Aika kuat. Dia melepaskan jilbabnya dan menggulungnya untuk menekan luka suaminya agar darah tak makin bercucura. Arbie mengerang, dia menahan rasa sakit yang ada di perutnya.
"Maafkan aku, Aika."
"Diamlah! Kau terluka, jangan banyak bergerak."
Aika masih bisa bersikap tenang di kondisi sekritis ini. Arbie memejamkan matanya, dia memegangi tangan Aika erat. Rasa takut tiba-tiba saja menyergapnya. Dia tak ingin mati muda.
Aika menepuk dadanya. "Aika tenanglah, tenanglah!"
Seseorang datang, dia memanggil teman-temannya dan mengangkat Arbie dari sana. Aika ikut dengannya ia terus berada di samping suaminya itu. Darah segar yang mengucur dari perutnya membasahi pakaiannya.
"Aika, tutupi rambutmu sayang."
Aika hanya mengangguk pelan. "tak apa, aku akan menutupnya kembali nanti, kita ke rumah sakit sekarang, pegang tanganku kuat, sayang."
Aika terus berjalan sampai ke mobil. Sepanjang jalan, Arbie tak melepaskan pegangannya pada istrinya itu. Kepalanya sudah mulai terasa pusing dengan mata yang kabur.
"Aika, aku tidak menyentuhnya. Dua hari aku habiskan untuk mengerjakan proposal, aku bahkan tidak sempat makan atau bahkan mandi. Mana mungkin aku main gila. Kau percaya padaku kan?"
"Tentu saja, tenanglah, jangan panik."
Aika menutup matanya, bulir bening mengalir membasahi pipi. Dia berpaling untuk mengusap air matanya.
"Jangan mati! kau harus mengganti popk Angkasa." Akhirnya, wanita cantik itu pun terisak juga.
Mereka pun sampai di depan IGD. Pintu mobil dibuka lebar, Arbie pun ditarik dan dikeluarkan utuk segera di tangani. Aika masih memegangi jilbabnya yang bersimbah darah. Tangannya gemetaran, dia tak kuat melangkah keluar dari mobilnya.
"Aika? Apa itu kau?" Aika mengangkat wajahnya, dia menatap laki-laki yang berdiri di pintu mobil.
"Tetaplah di situ," katanya. Dia menarik orang yang ada di depan kemudi dan memarkirkan mobil itu ke tempat yang aman. "Apa kau terluka?"
Aika menggeleng, rambutnya tergerai dengan sedikit darah yang menempel di ujungnya. Aika mengusap air matanya dengan tangan yang penuh darah dari suaminya.
"Apa Arbie baik-baik saja?" tanyanya dengan suara parau.
"Dia akan baik-baik saja, kita tiba tepat waktu, kau tak perlu khawatir."
Edward keluar dari mobil itu dan meminta Aika tetap ada di sana. Tak berapa lama, dia pun kembali dengan sebuah pelastik hitam. Wajah Aik terangkat, dia menatap Edward lekat-lekat.
"Pakailah, kau membutuhkan itu kan?" katanya pelan.
Aika keluar dari mobil setelah merapikan dirinya. Dia berjalan di belakang Edward. Di depan IGD, ada banyak orang yang berkerumun. Mereka awak media yang ingin meliput kejadian yang baru saja terjadi.
Edward memilih jalur lain agar Aika tidak terkena sorot media.
"Kita cari jalan lain, Ka. Di depan banyak wartawan."
"Aku istri sahnya, aku akan masuk ke sana dari depan."
"Kau jangan bodoh, Aika. Darah yang ada di bajumu ini akan menjadi perbincangan hangat, mereka akan menggiring opini untuk menjatuhkan kamu. Bagi mereka, darah ini bukan bukti kau melindungi dan menyelamatkannya. Ini bukti, kalau kau mungkin saja yang melukai suamimu karena dia berselingkuh."
Edward menarik tangan Aika menuju sebuah lift. Aika menoleh ke arah pintu IGD. Ada seseorang yang menyadari keberadaannya. Mereka pun mulai mengejar Aika dan Edward.
Tepat sebelum pintu lift tertutup, seseorang berhasil mengambil gambar Aika. Aika bersembunyi di belakang Edward, dia melepas pegangan tangan laki-laki yang pernah mengisi hatinya itu.
"Kau baik-baik saja 'kan? Apa perutmu tak apa-apa?" tanya Edward perhatian.
Aika hanya menunduk sambil sesekali mengusap air matanya yang meleleh. DIa masih memegang hijabnya yang penuh darah Arbie. Pikirannya mengawang, segala prasangka dan dugaan memasuki kepalanya dengan brutal.
Pintu lift akhirnya terbuka juga, mereka segera menghampiri Arbie di ruang operasi. Arbie dipindahkan segera ke sana untuk mendapatkan pertolongan. Dia sudah kehilangan banyak darah.
Kalut pun akhirnya merasuki Aika saat seorang perawat berkata, stock darah mereka sudah habis. Edward berdiri, dia pun berjalan mengikuti perawat itu untuk mendonorkan darahnya.
"Ed?"
"Kebetulan, golongan darah kami sama. Mertuamu memang hebat, dia memang mencari orang-orang seperti kami, yang akan sangat berguna di saat seperti ini," kata Edward sebelum pergi.
Aika meremas pashminanya kuat-kuat, dia mencoba untuk tetap tegar dan menerima takdirnya kali ini.
Ratna pun datang, dia berlari tergopoh-gopoh ke rumah sakit. Matanya mendelik saat melihat Aika berdiri dengan blazer yang berlumuran darah.
"Maaaa ...."
Bukannya kasihan atau mendengar ucapan Aika, wanita paruh baya itu malah menamparnya. Hati Aika remuk, dia memegangi pipinya yang merah.
"Apa kau yang menusuk anakku?" pekik Ratna.
Surya yang datang kemudian langsung mencoba menenangkan istrinya. Dia menarik Ratna ke sisi ruangan. "Mama apa-apaan! Itu Aika yang nulungin anak kita. Bisa-bisanya Mamah ma;ah nuduh dia melukai anak kita."
Ratna tak lantas percaya, dia malah mendorong suaminya dan masih berusaha menarik pashmina Aika. Wanita yang sedang mengandung cucu Ratna itu hanya diam.
Tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Dia melemparkan lembaran foto itu ke wajah Ratna. Di sana, semua bukti tentang kedekatan Arbie dengan wanita laknat yang menusuk suaminya ada di sana.
Ratna tercengang, dia memunguti foto itu.
"Wanita itu, ingin memeras anakmu, dia mengaku hamil agar bisa masuk ke dalam keluargamu. Kalau memang Mama inginkan dia menggeser posisiku, silahkan."