Apa adik kelas harus bergelayut manja begitu padamu? Pertanyaan Aika tentu saja mengganggu pikiran Arbie. Dia mengantarkan istrinya itu ke rumahnya. Mereka langsung masuk ke kamarnya. Bau.
Bau menyengat keluar dari kamarnya. Arbie berdecak sambil menatap ke arah Aika. "kamu lupa buang popok?" tanya Arbie pada istrinya itu.
"Hah? Tadi aku buru-buru ke ...."
Belum sempat dia menyelesaikan perkataannya. Arbie masuk ke kamar dan menemukan dua popok yang tergeletak begitu saja di lantai. "Aikaaaa!"
Dia mengambil popok itu dengan cara menjimpit ujungnya dan meletakkannya di dalam tong sampah berpenutup di kamar mandi. Kamar mandi pun sama buruknya dengan kamar tidurnya yang acak-acakan.
"Kamu ini, ruangan sempit gini aja nggak bisa rapi, gimana kalau kita tinggal sendirian, Ka? Udah karam rumah kita dengan sampah dan mainan."
Ratna menyadari anaknya datang, dia pun segera menemui mereka di kamar Aika. Dia pun ikutan berang melihat kamar Aika yang mirip tempat sampah itu.
"Duh, kamu ini, tolong pengertiannyalah! Arbie itu harus bantu ngurus kerjaan Mario, Aluna ngurus Mario di rumah sakit. Kamu cuma disuruh urus anak dua aja susah banget, sih. Kenapa kamar berantakan gini? Mau tidur di mana anakku?" teriakan Ratna membangunkan Angkasa dan Aruni. "Duuuh, cucu nenek kaget, ya, sini-sini sama nenek."
Arbie melepas jasnya dan melemparkannya ke sembarang arah dan membuka kancing kemejanya. Dia mendadak menjadi dingin setelah sakit yang dialami Mario secara tiba-tiba. Sebagai anak ke dua di keluarganya, dia harus selalu siap menggantikan sang kakak. Dan, saat itu pun terjadi juga.
"Kamu juga, Bie, kenapa, sih kamu ke mari? Kenapa nggak ke kantor Mario. Ada banyak hal yang harus kamu kerjakan di sana. Pengertiannya, lah! Jangan asal bolak-balik ke sini kalau kamu nggak bisa ngerjain pekerjaan Mario dengan baik."
Arbie diam saja mendengarkan omelan ibunya. Dia menyingsingkan lengan bajunya dan berjalan ke arah kamar mandi. Aika hanya bisa diam tidak berani berkata-kata. Dia pun membantu suaminya untuk membersihkan kamar yang memang sengaja dia tinggalkan begitu saja tadi.
Tangannya dengan cepat mengubah kamar itu menjadi rapi kembali. Dia mengambil air dingin dan memberikannya pada suaminya yang kini sedang duduk di sofa sambil memijit kepalanya yang mendadak sakit.
"Maaf ya, harusnya aku bersihkan dulu kamarnya agar lebih rapi. Maafkan, Aika."
"Kamu mulai minta maaf lagi ama aku, Ka?"
"Aika tahu, memang berat menjadi anak kedua yang selalu dibandingkan dengan saudaranya. Aika juga gitu. Sabar ya, Mas."
"Aku mau wine aja boleh ya? Sekali ini aja," pintanya tak acuh.
Arbie seperti tidak ingin membahas apa-apa pada Aika. Dia lelap dalam pikirannya sendiri ditemani segelas wine yang Aika tuangkan untuk suaminya itu. Aika meninggalkan Arbie sendirian di kamar. Dia mencari anak-anaknya di ruangan Ratna.
Dia berjalan sambil mengingat-ingat apa yang dikatakan ibu mertuanya beberapa hari lalu. "Kamu kan sekarang cuma ngurus resort baru gak masak lagi. Kan bisalah bantu-bantu Mario sekarang. Dia sakit, nggak jelas juga kenapa tiba-tiba bisa kolaps gitu. Pasti istrinya tu bawa sial ke keluarga ini. Mama minta tolong ya, Bie."
Kala itu, Arbie menolaknya mentah-mentah, terlebih dia juga harus mengurus dua restoran lainnya. Namun, mau tak mau, dia pun melakukannya juga karena terpaksa. Dia juga terpaka tinggal di rumah ibunya lebih lama karena tak ingin Aika kesepian di rumahnya.
Hari berlalu, sebulan sudah Mario di rawat di rumah sakit dan masih tak sadarkan diri, Arbie mulai tak bisa mengimbangi kesibukannya di tempatnya bekerja. Dia hapir tak memiliki waktu untuk mendengarkan rengekan Aika perihal ibunya yang sering menyindirnya.
Aika yang biasanya harus bedrest lebih lama karena kehamilannya, kini harus legawa, dengan keadaannya sekarang. Anak-anak yang lucu itu mulai bisa duduk dan merangkak. Mereka akan mengacak-acak rumah neneknya jika tidak dijaga dengan baik. Belum lagi berat badan mereka berdua yang mendadak susut.
Aika masih terus berusaha memompa Asinya, tetapi hal itu malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Keram di perut, sakit di pundak. Tubuhnya remuk redam, tapi tak berani berbicara pada suaminya.
Perlahan mereka pun mulai menjauh satu sama lain. Dan Ratna selalu meminta keduanya untuk mengalah dan mengerjakan pekerjaan yang ditinggalkan Aluna dan Mario.
Bagi wanita seperti Aika, dia tidak ingin mendengarkan ibu mertuanya itu. Tapi, dia juga paham, rasa sakit yang ada di hati Arbie. Walau dia terlihat sedikit membenci Kakaknya itu, dia juga terlalu mencintia Mario. Dia bahkan, tidak bisa menolak keinginan ibunya kali ini.
Wanita cantik itu berhenti sebentar di depan lift. Alih-alih pergi ke tempat ibu mertuanya, dia pun memutuskan kembali ke kamarnya. Dia ingin bertanya sesuatu pada suaminya.
Namun, sang suami sudah jatuh terlelap karena mabuk.
"Sudah tahu gak bisa minum itu tapi masih diminum." Aika mendekati suaminya dan meluruskan kakinya dan melepaskan tali pinggang Arbie pelan-pelan.
Aika mengambil peralatannya dia membersihkan wajah sang suami perlahan. Tangannya memijit pelan kepala suaminya itu. Laki-laki itu pun akhirnya terjaga.
"Ai, aku minta maaf ama kamuu..."
Aika tahu, laki-laki itu tidak pernah berani meminta maaf jika dalam keadaan sadar. Aika mengabaikannya, dia terus membersihkan wajah sang suami pelan-pelan.
Dia mengeluarkan secarik kertas yang ada di kantung kemeja suaminya. Hatinya sakit melihat kata-kata yang tertoreh di sana.
"Aku menunggumu, bos. Aku akan memberikan hal yang tidak pernah diberikan istrimu, bos."
Pandangan matanya mendadak kabur, dadanya sesak sejadinya. Dia meremas kertas itu dan membuangnya. Arbie terjaga, dia menatap sekilas istrinya itu, lalu pergi ke kamar mandi.
"Mas? Mau makan?"
"Aku mau mandi, abis ini mau balik lagi ke sana. Kamu urus anak-anak aja. Kau juga capek kan?"
"Aku harus ke RS buat cek kandungan."
Arbie menoleh, dia memegangi kusen pintu kamar mandi. "Bisa tolong gugurkan aja kandunganmu?"
Bagai disengat listrik, mendengar ucapan suaminya itu. Bagaimana mungkin dia harus menggugurkan kandungannya?
"Apa kau mau membunuh anakmu sendiri?"
"Kau terlihat berantakan sekarang, benar kata Mama kamu bahkan tidak bisa mengurus dirimu sendiri. Mending, nggak usah ngurus anak lagi, kan?"
"Mas ini lagi kenapa? Stress? Aika pijitin ya?"
"Jangan gangu aku, Ka."
Aika sedang tak bernafsu mendekati suaminya itu. Dia pun memilih pergi ke ruangan ibu mertuanta lagi. Setibanya Aika di ruangan ibu mertuanya. Dia melihat anak-anaknya tengah disuapi oleh pembantu yang bertugas menjaga.
"Ma, sini biar Aika aja."
"Ah, kebetulan kamu ke sini. Tolong pengertiannya ya, kami semua lagi kerepotan, belum lagi ribet ngurus anak-anakmu ini. Kalau bisa, gugurin aja kandunganmu yang sekarang. Toh, kamu sudah punya dua anak, cukuplah itu. Biar Arbie juga bisa fokus buat bantuin Abangnya. Kamu tahu sendiri kan, Mario sekarang lagi sekarat."
Aika terdiam. "Bukannya, kalian yang menginginkan kehamilan? Lantas mengapa sekarang aku harus merelakan bayi ini biar bisa fokus merawat semua orang?"
Aika menahan semua kata kejam itu di dalam dadanya. Dia tak kuasa mengatakan semua itu pada ibu mertuanya.