Ratna menghembuskan keraguan pada hati Arbie. Dia kembali ke kamar istrinya dan melihat Aika sedang mengunyah pangs it buatannya.
"Apa katanya, Mas?"
Arbie menggeleng, dia duduk di samping Aika dan mengelus kepalanya. "Jangan diabisin, dong, Mas kan juga mau!"
"Sini, Aika suapin. Aaaa!"
Arbie membuka mulutnya lebar. Namun, bukan dimsum yang masuk ke mulutnya. Aika mengecup pipinya. Arbie buru-buru mengelapnya, bekas minyak dari kuah dimsum menempel di pipinya.
"Dedeeeek! Sempet-sempetnya becandain, Mas."
"Suamiku, makasih ya, udah baik bangeet." Aika mengatakannya dengan mata berkaca.
"Ah, ini sepertinya anak kita bakalan perempuan, kamu baper terus dari tadi. Sudah-sudah. Jangan nangis sambil ketawa kayak orang bodohh gitu. Bilang kalau sakit, bilang kalau berat, jangan gitu. Jangan semua serba disimpen sendiri." Arbie mengacak rambut istrinya yang masih berantakan.
"Makasih, Mas."
Aika menangis terharu.
"Jadi pengen, Ka. Mana dingin, anak udah tidur. Yuk, Ka. Mau gak?" goda Arbie.
"Masih mules, loh! Jahat banget!"
Arbie hanya terkekeh melihat ekspresi kaget istrinya itu. "Manisnya, kalau udah ngambek, ih, gemesh.
...
Pagi harinya, Aika melihat Ryu sendirian di dapur. Dia terlihat sedang berusaha membuat sarapan untuk anaknya. Gadis kecil berkuncir dua itu duduk di meja makan sambil memegang mangkuk dan sendok. Aika ikut duduk di sampingnya dan menirukan gaya sang gadis kecil.
"Abang, makanan aku mana? Aku laper!" rengek Aika sambil memegangi mangkuk dan sendok.
Gadis kecil itu melirik tajam ke arah Aika. Aika menjulurkan lidahnya ke arah Chantika yang mulai terlihat marah.
"Ibu gak boleh deket-deket, Papa aku!!" omelnya.
Gadis kecil berkuncir dua itu mendelik ke arah Aika. Mata bulatnya yang indah malah membuat Aika makin semangat menggodanya.
"Papaaaaa, aku mau minta makan!" kata Aika lagi pada Ryu. Lali-laki tinggi itu sontak menoleh ke arah Aika.
"Astaga Aika, jantungku bisa copot kalau manggilnya kayak gitu!" protesnya. " Udah, duduk sana biar aku bikinin sesuatu. Lagi pula, suamimu kan chef, kenapa gak minta bikinin makanan ama dia aja, sih?"
"Dia sibuk, tu. Sibuk jalan-jalan ama binik lu!"
"Lah?" Ryu segera berjalan ke arah Aika. Dia diam sebentar sambil memegangi pundak Aika. "Apa? Ke mana mereka?"
Aika menunjuk ke arah luar. Ryu menarik tangan Aika menuju teras rumah. Arbie dan Aira baru saja pulang dari berjalan-jalan. Keduanya mematung menatap ke arah mereka berdua.
"Kau tak marah, Ka?" tanya Ryu pelan. Ryu menatap raut wajah Aika yang sedikit menampakkan kedongkolannya.
"Buat apa, mereka kan cuma teman," sahutnya dengan menekan kata teman, cukup tegas.
"Mereka mantan, aku kesal setiap kali Aira hanya melirik ke arah Arbie. Kau tidak kesal, Ka?" balas Ryu menatap lurus ke arah Arbie yang terlihat tersenyum lebar sambil mendorong stoler berisi Angkasa dan Aruni.
"Ya, kesal-lah! Tapi, gimana? Kita terikat seperti ini sekarang." Aika mulai memajukan bibirnya. Hatinya mulai panas dan sesak.
"Kalau gak inget dia suamimu, udah aku timpuk, Ka!" geram Ryu.
Aika menarik tangan Ryu kembali ke dapur, mereka sadar, jika Arbie dan Aira sebentar lagi sampai di depan pintu. Sebelum terjadi salah paham, mereka harus pura-pura tidak tahu apa-apa, sekarang.
"Abaaang bikinin aku sereal, aku laper," katanya melanjutkan rengekannya barusan.
"Tuhan, berisik banget ini anak, kenapa, sih?"
"Aku lapeeeeeeeer!" rengeknya lagi.
Arbie membuka pintu lebar-lebar, dia mempersilakan Aira masuk terlebih dahulu. Dia membawa plastik berisi makanan. Melihat Aika dan Ryu di pantri, dia langsung mendekat.
"Lihat, Ka, dia belanja lagi, tu," lapor Aira pada adiknya.
"Sayang, udah sarapan belum?" kata Aira sambil memulas senyum ke arah Ryu, suaminya. Aira mendekati suaminya, dia memintanya untuk membuka gendongan dan memindahkan Razan, bayi mereka yang sedang tertidur lelap.
"Belum, ini ada anak kecil berisik aja," sahut Ryu sambil melepaskan Razan dari gendongan.
"Dia anak aku! Kok, kamu tega bilang gitu?" sahut Aira ketus, terpancing emosi.
"Bukan, Chantika! itu loh! Si Tupai!" Ryu menunjuk hidung Aika yang berdiri tepat di sampingnya.
"Abang jahat!" katanya sambil lalu. Dia berlari kecil mendekati Arbie dan memeluk suaminya itu erat-erat. "Kenapa gak bangunin aku, Mas?"
"Oh, tadi malem kan, kelitan capek banget, ya udah ini Mas sekalian keluar bareng anak-anak buat beli buah-buahan."
"Buah yang tadi malam juga masih banyak, belum ke makan kok, udah belanja lagi, sih?" protes Aika sambil menggembungkan pipinya. Dia harus bisa menahan rasa cemburunya sekuat tenaga sekarang.
"Di rumah ini kan ada abah, umi, Ari, Ryu dan anak-anaknya. Belum anak-anak kita yang hari ini sudah mulai belajar makan, Ka. Masa aku nggak beliin mereka semua," sahut Arbie santai.
"Kalau rumah ini berubah jadi lembaga sosial, semua orang yang datang pasti Mas kasih bantuan kan?" Aika melepaskan rangkulannya dan kini beralih ke arah Aruni yang ada di dalam stroller.
Arbi hanya tersenyum kecil mendengarnya. Pasalnya, dia memang berhati malaikat jika soal memberi.
"Gak usah repot-repot, Bie, pindahin aja itu swalayannya ke sini." Ahmad baru saja keluar dari ruang kerjanya, dia menghampiri Angkasa dan Aruni yang masih terlelap di strollernya.
Arbie pun tertawa mendengarnya.
...
Di sore hari, mereka pun kembali ke rumah Ratna. Wanita paruh baya itu sangat terobsesi dengan cucu-cucunya. Sehari saja tidak melihat keduanya, membuat hatinya tersiksa.
Wanita cantik yang sedang hamil muda itu pun menarik napasnya dalam-dalam. Dia bersiap mendengarkan omelan ibu mertuanya itu.
"Jangan gitulah, Mama kan gak seserem itu."
"Tapi, tetep aja takut," kata Aika sambil tersenyum kaku.
Edward baru saja datang dengan mobil Mario. Dia keluar dari mobil dan bertemu dengan Aika dan Arbie.
"Kalian ngapain di sini, enggak masuk?"
Laki-laki yang dua tahun lebih tua dari Arbie itu pun, membantu membawakan barang-barang Aika.
"Ngapain? Bukannya kamu udah resign?"
"Emang kalau udah resign gak boleh bantuin kamu?"
Arbie tak terlalu ambil pusing dengan perdebatan mereka, dia harus segera membawa anak-anaknya masuk sebelum terkena sindiran maut ibunya.
"Kamu ini, lama bener pulangnya? Mama udah kangen ama Angkasa dan Runi! Mana ditelponin juga gak dijawab!!"
"Iya, Ma, biasalah namanya juga lagi di rumah mertua. Mana bisa pegang hape aja. Aika kalau di sini juga sama, kan? Gak bisa main hape."
Ratna hanya tercengung mendengar perkataan anaknya itu. Perhatiannya segera teralihkan ke Angkasa yang terjaga. Mata bulatnya membuat Ratna tersenyum kecil. "Duh, sini cucu Nenek!"
Hari berganti, Arbie mulai sibuk dengan pekerjaannya di resort baru. Mario mendadak jatuh sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Aluna sibuk wira-wiri mengurus Mario di rumah sakit, dan juga sarapan untuk Ratna. Namun, pagi ini Aluna mendadak tidak pulang ke rumah.
"Ke mana Aluna? Aika juga, ke mana dia?" Amarah Ratna memuncak mendapati hanya potongan buah segar yang terhidang di atas meja. Dia berang melihat Aika yang hampir tak bisa bangkit dari tempat tidurnya sama sekali. Dia harus naik ke lantai tiga untuk melihat cucunya yang lucu.
Belum lagi penampilan Aika yang terlihat kusut dan buruk rupa dengan rambut kusut masainya. Ratna hanya bisa mendesah panjang dan menyimpan repetannya untuk mantunya itu.
"Kamu ini, masa mabuknya belum selesai juga! Mama ini nggak ada yang urus, belum lagi anak-anak kamu makin hari makin lincah dan gak bisa diam. Semua barang habis berantakan di lantai!"
Aika mencoba bangkit dari tempatnya. Runi sudah duduk di lantai dan menumpahkan selai yang ada di atas meja. Sementara Angkasa sudah masuk ke dalam lemari pakaian dan menarik semua pakaian keluar dari lemari.
"Aduuuh! Makanya, kalau belum mampu urus diri sendiri, mending gak usah hamil lagi, deh!" Ratna menghela napasnya kasar. Dia pun berteriak meminta pembantu untuk membersihkan kamar Aika.
Aika turun dari ranjang dan memeluk Angkasa erat-erat. "Angkasa nyari apa sayang?" Suara Aika bergetar, dia mencoba tersenyum di hadapan anaknya.
"Ini, Non, Neng Runi udah dibersihkan."
"Makasih, ya, Bik."
...