Denis duduk di kursi tunggu dengan perasaan serta penampilan kacau. Kepalanya tertunduk, menatap kosong lantai rumah sakit. Wajahnya memerah dan kedua tangannya terkepal erat. Rahangnya mengeras dengan amarah yang mendesak untuk diluapkan.
"Argh!"
Pada akhirnya Denis tidak bisa menahan amarahnya. Tangannya yang terkepal memukul lantai rumah sakit membuat beberapa orang yang berlalu lalang menatapnya terkejut. Papa Diana yang duduk tidak jauh darinya langsung menghentikan kebrutalannya yang memukul lantai rumah sakit penuh emosi. Tangannya memerah dan mulai mengeluarkan darah tetapi dirinya seolah mati rasa, tidak merasakan apa-apa.
"Jangan seperti ini. Doakan saja agar Diana dan calon anak kalian baik-baik saja," meski sama kalutnya, Papa Diana memberikan Denis kalimat penenang karena jika Denis menuruti amarahnya, tentu saja akan sangat mengganggu pihak medis yang di dalam sana tengah menangani sang putri.
Jika ditanya apakah dirinya marah. Tentu saja marah. Ayah mana yang tidak marah saat mengetahui putrinya terjatuh dalam keadaan hamil. Apalagi yang melakukan itu suami putrinya sendiri.
Ingin marah dan memberikan pukulan pada lelaki yang menyandang status sebagai suami putrinya itu tetapi dia berpikir normal, lebih baik diam dan jangan membuat keributan. Memendam kemarahannya yang ingin meledak demi sang putri. Di dalam sana---di ruang perawatan beberapa pihak medis memberikan penanganan terbaik bagi putrinya. Harapannya tentu saja menginginkan yang terbaik bagi putrinya. Bukan hanya untuk putrinya, juga pada sang calon cucu.
"Tidak ada gunanya kamu marah karena itu tidak bisa mengembalikan keadaan."
Papa Diana menepuk bahu Denis yang mulai tenang. Tatapannya mengarah pada pintu ruang rawat yang masih tertutup, menghantarkan ketakutan. Takut jika semuanya jauh dari harapannya.
"Semua salahku. Anakku ...."
Gumaman Denis membuat Papa Diana nyaris kehilangan kontrol diri untuk memukul Denis. Denis seolah hanya memikirkan calon anaknya, bukan pada putrinya yang kesakitan. Teringat jelas raut kesakitan sang putri saat Denis menggendongnya dari kamar. Hatinya turut sakit melihat sang putri kesakitan.
Apa mau dibuat. Semua sudah terjadi. Menyesal pun, tak ada artinya.
Jika menyesal bisa melegakan, mungkin dia akan terus menyesal karena telah memberikan kepercayaan kepada Denis. Berpikir jika Denis semulia itu. Nyatanya Denis adalah musuh dalam selimut sesungguhnya.
"Anak kalian pasti baik-baik saja selagi Ibunya kuat," nada getir terdengar jelas. Papa Diana menatap Denis yang menunduk dengan tatapan sedihnya. Sedih karena Denis memperlakukan putrinya tanpa perasaan.
Apakah ini sifat Denis yang sesungguhnya? Lelaki yang dulu sempat meminta restu padanya untuk menikahi putrinya dan mengaku sangat mencintai putrinya.
Cinta. Apa Denis masih mencintai putrinya setelah apa yang terjadi selama ini?
"Bagaimana dengan anak saya, dok?"
Lamunan Papa Diana buyar saat mendengar suara parau Denis.
Tertegun, Papa Diana menatap Denis dengan tatapan sulit diartikan. Tubuh ringkihnya mendekati Denis yang berdiri di depan dokter, mendengar baik-baik informasi yang disampaikan dokter. Nyatanya, Papa Diana sama sekali tidak mendengar apa yang dokter sampaikan. Pikirannya justru berkelana, memikirkan jalan pikiran Denis yang sulit dimengerti.
Denis lebih mengkhawatirkan calon anaknya daripada putrinya.
Malang sekali nasib putrinya. Papa Diana tertunduk, menatap lantai rumah sakit dengan pedih. Masih tidak menyangka jika nasib putrinya akan seperti ini. Andai ... ah, bukan saatnya berandai-andai karena mau sebanyak apapun berandai-andai, semua telah berlalu. Kenyataannya memang sudah begini.
Papa Diana tersadar dari lamunannya ketika Denis memasuki ruang rawat Diana dan dokter berlalu dari pandangan. Papa Diana menyusul Denis memasuki ruang rawat putrinya dan menemukan sang putri membuka matanya.
"Kamu telah membuat anakku nyaris tinggal nama," desis Denis yang bisa Papa Diana dengar ketika baru saja menutup pintu ruang rawat Diana. Kedua tangan keriputnya mengepal, marah pada Denis yang menyalahkan putrinya.
"Maaf," lirih Diana mengusap perutnya yang masih membuncit tetapi sedikit nyeri. Kemudian tatapannya mengarah pada Papanya yang berdiri di sisi kirinya---berseberangan dengan Denis.
Sontak Diana melengos. Masih tidak sudi menatap Papanya. Daripada menatap Papanya, Diana memilih menatap Denis yang menatapnya marah. Seharusnya dia yang marah karena Denis yang membuatnya seperti ini. Tetapi ... pada dasarnya dirinyalah yang bersalah. Andai dia tidak lancang pada barang berharga milik Denis mungkin dia tidak terbaring di rumah sakit.
"Ini terakhir kalinya kamu membahayakan anakku," Denis menunjuk Diana sebelum akhirnya menjatuhkan bokongnya di samping Diana dan satu tangannya bergerak mengusap perut Diana. Melupakan amarahnya, Denis mencium perut Diana berkali-kali dengan perasaan lega karena sang calon anak bisa diselamatkan. Mengabaikan keberadaan Papa Diana yang menatap sedih putrinya yang enggan menatapnya sebelum akhirnya memilih meninggalkan ruang rawat Diana dengan perasaan lega namun sesak. Lega karena putrinya baik-baik saja, tidak seperti dalam bayangannya.
...
Keesokan harinya Diana sudah diperbolehkan pulang tetapi harus istirahat total membuat Denis tidak beranjak sedikitpun dari sisi Diana. Saat Diana membutuhkan sesuatu, Denis sigap mengambilkan apa yang Diana inginkan meski sedikit jengkel karena Diana menolak meminum obat yang bisa dikatakan banyak. Dokter memang memberi obat lumayan banyak untuk Diana, mengingat Diana nyaris keguguran dan Diana juga kekurangan cairan.
"Aku bisa mandi sendiri, kamu keluar aja," tolak Diana halus seraya mendorong Denis menjauh saat Denis bersikeras memandikannya setelah memaksanya untuk menerima digendong Denis ke kamar mandi.
Denis mengabaikan perkataan Diana. Dia justru menarik pelan baju yang Diana kenakan hingga terlepas dari tubuh Diana dan dengan sigap Diana menutupi bagian atas tubuhnya seraya menatap Denis kesal.
"Aku bisa ...."
Cup
"Diam atau aku ikut mandi bersamamu."
Diana bungkam dan tanpa sepengetahuan Denis, dia mengusap bekas ciuman Denis di bibirnya. Bukan karena jijik, tetapi dia kesal pada sikap semena-mena Denis. Dari dirinya terbaring di rumah sakit, Denis justru mengkhawatirkan anaknya. Bukannya tidak senang karena Denis mengkhawatirkan anaknya. Tetapi ... dia merasa tidak dihargai. Dia terluka karena Denis tetapi Denis membuat seolah-olah semua salahnya. Ah, memang salahnya yang memancing kemarahan Denis.
Tapi, apa tidak ada setitik rasa bersalah padanya? Toh, dia melakukannya demi kebaikan Denis sendiri.
Byur
Diana tersentak dan nyaris terjatuh andai kedua tangan Denis tidak menahan tubuhnya. Wajahnya memberenggut sebal seraya melepas tangan Denis di pinggangnya.
"Jangan melamun di kamar mandi," ujar Denis tanpa rasa bersalah dan kembali membasahi tubuh Diana. Tersenyum tipis, Denis mengacak rambut basah Diana membuat Diana memukul lengannya dan sontak senyum tipisnya menjadi tawa karena telah membuat Diana kesal.
Nyatanya memandikan Diana memakan waktu lama. Penyebabnya tentu saja karena adanya drama yang membuat Denis membutuhkan waktu lama untuk memandikan Diana. Wajah Diana yang tertekuk membuat Denis menggelenge pelan. Dipeluknya Diana dari belakang seraya memandangi wajah Diana dari pantulan cermin yang memperlihatkan wajah jahilnya dan wajah sebal Diana.
Perlahan Denis mengambil alih handuk dari tangan Diana dan membantu Diana mengeringkan rambutnya. Selesai mengeringkan rambut dan menyisirnya hingga rapi, tatapan Denis jatuh pada kedua tangan Diana yang keriput. Sontak Denis menggendong Diana ke tempat tidur kemudian menyelimuti tubuh Diana. Punggung tangannya menyentuh kening Diana dan sedikit hangat membuatnya mengumpat. Karena berlama-lama di kamar mandi, Diana kedinginan dan tubuhnya sedikit hangat.
"Kamu mau ngapain?"
Kedua tangan Diana yang berada di dalam selimut sontak keluar dan menahan Denis yang hendak mendekatinya hingga kedua tanganna bersentuhan langsung dengan dada bidang Denis yang tidak tertutupi baju. Bukan sok jual mahal, alasan Diana menahan Denis mendekatinya tentu saja karena melihat Denis melepas bajunya kemudian mendekatinya membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Takut jika Denis melakukan sesuatu disaat tubuhnya masih lemas.
Denis tetaplah Denis. Dengan santainya Denis melepas tangan Diana dan melanjutkan aksinya membuat Diana memekik ketika Denis menarik tubuhnya mendekat hingga tidak ada jarak antara mereka.
"Kamu mau apa?" Diana berusaha mendorong Denis menjauh tetapi Denis menyembunyikan wajah di lehernya.
"Tentu saja menikmati masa pengangguranku bersama istriku. Kamu tidak keberatan kan, kalau punya suami pengangguran?" gumam Denis membuat Diana diam. Wajahnya berubah murah dan kedua tangan yang semula mendorong Denis menjauh menjadi memeluk Denis.
"Kalau aku keberatan, sudah dari awal aku lari dari kamu. Kamu bukan pengangguran. Aset kamu masih banyak. Yang kamu kasih ke aku, itu semua punya kamu. Kamu punya perusahaan."
"Itu milikmu dan keluargamu. Aku tidak punya apa-apa untuk kubanggakan. Posisi kita berbeda. Kamu memiliki segalanya dan aku hanya numpang hidup padamu untuk beberapa saat karena jika sudah waktunya, keadaannya akan berubah dengan semestinya."
"Denis ...."
"Dan berhenti memikirkanku dan berlagak melindungiku karena aku tahu semuanya, jauh sebelum kamu mengetahuinya."
"A--apa?"
Suara Diana tercekat dengan jantung berdebar.
"Aku sudah mengetahuinya. Berita sampah itu, aku sudah tahu sebelum kamu mengetahuinya. Aku tidak masalah dengan itu. Aku justru masalah dengan sikapmu. Kamu telah lancang merusak ponselku dan mengambil kartu ponselku. Aku lebih baik kehilangan warisan dari keluargaku daripada kehilangan ponselku."
"Denis ...."
"Apa kamu tidak tahu jika ponsel itu sangat berharga bagiku? Bertahun-tahun aku tidak mengganti ponsel baru dan bertahan dengan ponsel lama yang memiliki kenangan tersendiri bagiku. Mungkin menurutmu itu berlebihan, namun yang harus kamu tahu, ponsel itu adalah barang paling berharga bagiku. Barang yang aku pegang saat aku dibuang oleh keluargaku, menjadi manusia paling sampah di jalanan kemudian bertemu denganmu hingga kisah itu berjalan sampai saat ini. Ponsel itu menjadi saksi bagaimana aku mendekatimu dan saksi bagaimana aku menghancurkanmu tanpa perasaan. Kamu tahu Diana, dalam ponsel itu tersimpan foto pernikahan kita. Foto yang diambil paksa atas kemauanku. Foto pernikahan dimana aku memaksa untuk mencium bahkan memelukmu dimana di foto pernikahan yang diabadikan oleh photographer tidak ada foto seintim itu."
Lirih tetapi tatapan mata Denis menyorotnya tajam membuat Diana menunduk, merasa bersalah dan sedih. Membawanya pada kenangan yang tidak ingin diingatnya.
"Aku ... aku minta maaf."
"Maaf untuk apa? Maaf karena pernah menolakku dan memberikan kesan buruk padaku mengenai cinta atau maaf karena telah merusak ponselku membuatku menjadi semakin buruk di mata orang tuamu?"
Belum sempat Diana menjawab, Denis kembali menyelanya.
"Kamu tidak perlu menjawabnya karena aku memang jahat. Citraku cukup buruk di mata orang tuamu dan aku malas untuk mempebaikinya karena aku memang jahat padamu. Aku hanya menyayangi anak-anak saja, itu yang mungkin kamu pikirkan. Tidak masalah. terus saja tanamkan pikiran itu, Diana. Itu lebih baik agar kamu tidak terlalu hancur jika suatu saat aku menyakitimu lebih dalam."
Diana menatap Denis bingung dan tanpa memberinya waktu untuk berbicara, Denis memejamkan mata kemudian menariknya kian mendekat membuatnya memilih bungkam dengan pikiran berkelana.
...
Jangan lupa tinggalkan jejak!
Nungguin gak?
...
Hold Me Tight | shopiaaa_
25 Februari 2023