“Terus kalau ketahuan kating gimana? Kan pasti bakal ada yang patroli.”
“Makanya gue diam-diam, lagian disini kan gelap, gue juga gak berniat bawa senter biar gak ketahuan.”
“Terus kalau lu gak bawa senter, lu nyari kalungnya gimana? Itu kan bukan benda yang gampang dilihat dengan mata telanjang.”
“Terus gimana dong? Daripada ketahuan?”
“Mending di hukum daripada bahaya, Win. Ini tuh hutan, bukan taman belakang rumah lu.”
Wina menggeleng, “gak bisa, minta tanda tangan aja tadi gue dibentaknya kayak gitu. Apalagi kalau gue ketahuan ngelanggar peraturan? Bakal gimana gue nanti? Jantung gue gak kuat ngehadapin Kak Mika sama Kak Sonia lagi.” Mengelus-elus dadanya, Wina mendemonstrasikan perasaan takut yang nyata. “Ini buku gue kurang tanda tangan aja masih bikin gue deg-degan, ga tahu bakal dihukum kayak gimana gue.”
Untuk sesaat, Rifka tak mengatakan apapun. Hanya memandang Wina dengan pasrah, lalu dia menghela napas. “Gue masih berpikir lu harus bilang ke senior, siapa tahu mungkin malah dibantu cari. Karena jujur aja, menurut gue lu ke pinggiran hutan situ bahaya. Jalanannya juga gak rata kan.”
“Tenang aja, gue bakal hati-hati. Lagian cahaya bulan cukup terang buat ngeliat jalan kok.”
Rifka menggeleng, dan kembali berdiri di atas batu untuk mengatur rambur Wina. “Keputusan lu itu konyol.” Ujarnya pelan, menarik Wina untuk kembali ke posisinya sebelumnya.
Menurut Wina, konyol atau tidak, sebelum dia benar-benar mencobanya ide ini masih tetap layak untuk dipertimbangkan. Lagipula, kalung itu benar-benar penting. Itu kalung pemberian neneknya sebelum beliau meninggal. Jadi bagaimanapun, Wina harus mendapatkannya kembali.
"Doain kalungnya ketemu ya, itu penting banget."
Kalau penting harusnya jangan lu pakai! "Gue bakal ngedoain supaya lu gak kenapa-kenapa ke hutan tengah malam."
"Tenang aja, kampus berani ngadain acara disini, berarti aman."
Rifka menghela napasnya, tak lagi berdebat. Karena sebenarnya dia pikir ada seribu alasan mengapa hutan itu berbahaya, bahkan jika itu bukan kawasan liar.
***
Seperti yang dia rencanakan, Wina keluar tenda dengan diam-diam. Hati-hati menatap ke sekeliling agar tidak ketahuan kakak tingkat yang berpatroli. Dia sudah membangunkan Rifka sebelum berangkat, memberikan wejangan untuk mencarinya jika dalam dua jam dia belum kembali. Ditambah sedikit bertengkar karena Rifka kelewat khawatir dan nyaris tak membiarkannya pergi.
Setelah tenang seperti ini, sebenarnya Wina juga berpikir bahwa keputusannya ini konyol. Tapi dia juga tidak bohong kalau kejadian siang tadi membekas di benaknya, dan dia belum siap beradu argumen lagi dengan senior yang lain. Apalagi, kali ini masalahnya lebih berat, karena dia jelas-jelas sudah melanggar peraturan.
Tapi dia juga tidak bisa diam begitu saja kan, itu kalung neneknya!
Sampai di tepi hutan yang dibatasi tali rafia, Wina mulai memfokuskan penglihatan. Seperti yang dia katakan pada Rifka, sebenarnya jalan itu cukup terang oleh cahaya bulan yang penuh. Jadi tidak benar-benar gelap. Dia bisa melihat samar-samar setiap lubang, gundukan tanah, atau parit kering yang terbentuk secara alami. Namun, yang namanya hutan di malam hari tidaklah benar-benar tidak mencekam. Itu juga tidak benar-benar terang.
Rasanya ada aura mistis yang membuat bulu kuduk merinding.
Langkah Wina hati-hati, sedikit berjongkok untuk meraba diantara rumput basah dan tanah. Pada detik ini dia sudah sepenuhnya menyesali sifat impulsifnya, dan gadis itu bahkan sudah hampir menangis.
Konyol sesungguhnya, tapi dia tidak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya dia tidak membawa kalung itu, seharusnya dia tidak memakainya, seharusnya dia melapor saja saat ini alih-alih takut karena dihukum. Tapi penyesalan tetap penyesalan, dan Wina hanya menguatkan diri untuk terus mencari.
Dalam gelap, dan dingin oleh embun basah.
Kemudian, ini adalah alur paling klise yang pernah terjadi. Seakan terjebak dalam sinetron murahan yang bertabur iklan dan skrip kacangan, Wina terpleset, tak menyadari selama pencariannya yang sia-sia pada akhirnya dia mencapai tepi yang curam dan terperosok sejauh nyaris dua meter.
Gadis itu lecet-lecet, bajunya kotor penuh tanah merah dan rumput hancur, lalu seakan itu belum cukup ketika dia berdiri dia merasa sakit yang tajam pada pergelangan kakinya. Terkilir, kurang klise apa coba.
Pada akhirnya, dia tak bisa menahannya, gadis berambut sepunggung itupun menangis. Menangis karena rasa sakit disekujur tubuhnya, menangis karena dingin yang membuatnya menggigil, menangis karena tak bisa menemukan kalung pemberian neneknya, menangis karena—takut.
Terisak pelan, Wina menarik kakinya dan memeluk lutut. Gadis itu bahkan tak berpikir untuk minta tolong. Pada detik ini otaknya rasanya macet, yang dia tahu dia hanya ingin menangis, tiba-tiba merindukan ibunya dan tempqt tidurnya yang nyaman. “Sakit...”
“Wina?!”
Hal pertama yang Wina lakukan adalah menutup mata dengan erat, karena sebuah cahaya yang menyorot wajahnya dari atas begitu menyilaukan. Kemudian dia mendengar suara daun kering yang hancur karena terinjak, sebelum akhirnya bayangan merah pada kelopak matanya memudar yang menandakan cahaya menyilaukan sebelumnya ditarik dari wajahnya.
Wina membuka mata, memberikan beberapa detik untuk menyesuaikan penglihatan dan menyadari seseorang berdiri di depannya.
“Lu kenapa disini?!” Suara orang itu cukup keras untuk menyentak Wina, namun dia berjongkok di depan gadis itu dan meletakan senter di tanah sampingnya. Hanya memberikan cahaya yang cukup tanpa mengganggu penglihatan. “Ya Tuhan, lu gak apa-apa?” Mengulurkan tangan kearah Wina, suaranya di warnai kecemasan dan wajah penuh kekhawatiran.
Namun, tangan itu bahkan belum sampai kemanapun tujuannya bermula, ketika Wina sudah mencondongkan tubuh dan menarik orang didepannya, memeluk lehernya dan terisak. Menumpahkan semua ketakutan dan rasa pilu gadis itu, “Xiel—Xiel,…” Suara gadis itu pelan, berbisik dengan sedikit isak yang bercampur syukur. Terus menerus memanggil.
Tanpa menyadari, tubuh pemuda di depannya membeku. Axel Pranata, tak ingat bagaimana akhirnya dia meraih tubuh gemetar Wina dan mengecup dahi gadis itu lembut. Ia hanya merasakan air mata yang membasahi pundak kemejanya begitu membakar, “sshhh... Gak apa-apa, aku disini, jangan nangis lagi.”
Karena mendengar isak tangis itu, hatinya—sakit.
----------------------------------------------------------------------------
Hai kakak-kakak, lama tak bersua....
Tolong jangan timpuk aku, please >.<
Setelah sekian lama kita bertemu lagi, butuh hujan meteor untuk membenturkan kepalaku dan menghapus kebuntuannya.
Maafkan aku.
Tapi mudah-mudahan kakak-kakak gak bosan-bosan menunggu apdetan tak teratur dariku ya... :'(
Pada akhirnya, kita sekarang ketemu babang Axel yang telah sekian lama absen.
Siapa yang kangen? :D
Akhir kata, tolong cintai aku lebih lagi, karena aku mencintai kalian melebih ruang angkasa tempat pembuangan imposter dan manusia-manusia tak bersalah lainnya.
Juga, semoga apdetan selanjutnya gak lama-lama biar kakak-kakak gak bosan nunggunya. :D
So, biar ga kepanjangan, aku harap kakak-kakak sekalian bisa menikmati cerita ku...
Regards,
R. R. Putri
KAMU SEDANG MEMBACA
Clockwork Memory
RomansaNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 20
Mulai dari awal
