Bau tembakau yang kuat tercium dari almamater biru di tubuh Wina, namun kehangatan yang dibawa oleh almamater itu mampu menembus hati. Wina tidak tahu bagaimana dia harus bereaksi dengan fakta ini, sementara keheningan yang canggung berputar-putar disekelilingnya. Membawa gadis itu tanpa sadar mencengkram bahu pemuda di depannya.
Ya, posisi Wina saat ini sulit. Bukan hanya karena almamater Axel yang dipaksakan oleh pemuda itu untuk dikenakan, tapi kenyataan bahwa Wina sekarang berpegangan pada bahu pemuda itu sementara dia tergendong dibelakang punggungnya membuat Wina tak bisa berkata-kata. Axel bahkan lebih sunyi daripada Wina, jadi bagaimana Wina bisa memecah kebekuan?
Itupun setelah mengesampingkan fakta lain bahwa Axel tadi mencium dan memeluknya. Setelah kekacauan tadi, Wina tak cukup berani untuk bertanya maksud Axel. Apa dia cuma mengambil kesempatan dalam kesempitan?
Perjalanan mereka cukup jauh, karena Axel mengambil jalan memutar. Sementara Wina berpikir dia bahkan tak akan bisa bertahan cukup lama dalam keheningan yang mencekik ini. Akhirnya gadis itu menghela napas, mengeluarkan uap putih di udara yang dingin.
“Twinkle twinkle little star. How I wonder what you are. Up above—“ Suara tawa tertahan menghentikan Wina, membuat gadis itu seketika cemberut. “Apa yang lucu?”
“Gak ada.”
“Terus kenapa ketawa?”
“Kenapa harus lagu twinkle twinkle?”
Wina menyipitkan mata pada belakang kepala Axel, curiga. “Gak apa-apa, suka aja.”
“Kayak anak kecil.”
“Biarin!” Karena kesal, Wina ingin melanjutkan lagunya kalau perlu melantunkannya dengan keras. Namun, sebelum dia bisa melakukannya entah kenapa dia merasa percakapan ini pernah terjadi, dan itu mengganggu pikirannya. Déjà vu?
“Gak lanjut nyanyi?”
Pertanyaan Axel dengan nada menggoda menyadarkan Wina, gadis itu menggeleng pelan. “Udah gak mood.”
“Hm,…” Axel terdiam sejenak, “lu gak berubah.”
“Apanya?” Wina bingung.
“Ayo kita kenalan.”
“Hah?” Dibalik punggungnya, Wina menatap belakang kepala pemuda itu dengan bingung.
“Ayo kita kenalan, supaya lu tahu siapa gue.”
“Tapi kan gue udah tahu siapa lu,” ujar Wina masih dengan tak mengerti.
Namun Axel tak memberikan tanggapan, hanya jeda yang membuat Wina bertanya-tanya. Sampai suara itu kembali terdengar, tak kuat tapi itu jelas bagi Wina.
“Nama gue Axel Pranata,” suara rendah pemuda itu menggelitik hati Wina. “Mahasiswa semester lima jurusan Ilmu Komunikasi dan Tekhnik Komputer. Gue bukan siapa-siapa, hanya cowok udik yang pindah dari Semarang ke Jakarta untuk mengejar jejak mantan gue, Wina Austria.”
Wina terdiam, tanpa sadar jarinya meremas bahu pemuda itu. Namun Axel bahkan tak menunjukan reaksi.
“Mungkin lebih tepat kalau gue dibilang penguntit. Karena gue masih ngejar bayangan dia walau mungkin dia ingin gue menghilang. Tapi gimana gue bisa menyerah?” Axel berhenti melangkah, saat ini cahaya dari obor yang menyala hanya berjarak beberapa langkah dari mereka.
Mereka sudah sampai.
Menoleh kebelakang, Axel hanya mampu menatap sisi samping wajah Wina, namun kata-kata yang terucap kemudian tetap setegas sebelumnya. “Karena sampai detik ini, dengan konyolnya gue masih sayang sama dia.”
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
