Tiga tahun yang lalu...
“KE SEMARANG?!”
“Ssttt!” Wina membekap mulut Sidney dan menatap ke pintu kamar gadis itu dengan cemas. “Jangan teriak-teriak! Nanti kalau Mama dengar gimana?”
Sidney menarik tangan Wina dari mulutnya, mata bundar gadis itu penuh dengan keluhan, rasa kantuk yang semula menggerogotinya tiba-tiba saja menguap. “Lagian Kakak yang benar aja, mau ke Semarang buat nemuin teman online? Kakak waras? Yang bolak balik nyuruh aku jangan mau ketemu sama teman online, siapa coba?”
Berdecak, Wina meraih bantal Sidney dari tempat tidur dan duduk di atas karpet bersandar pada kaki tempat tidur Sidney, menoleh ke arah adiknya yang baru saja dipaksanya bangun. “Kamu kan udah pernah ketemu dia, lagian kamu juga tahu siapa dia, jadi amanlah pasti.”
“Gak ada jaminan, Kak, lagian aku juga gak kenal dia. Aku cuma tau dia dari game sama youtube.” Sidney yang tidak punya pilihan selain bangun, duduk bersandar di kepala tempat tidur. Menggaruk kepalanya dan menyebabkan rambut sebahu gadis itu berantakan. Tatapannya memandang Wina, seakan kakaknya itu gila atau gak, minimal kesambet setan tengah malam.
“Nah, apalagi dia orang terkenal, masa iya dia bakal macam-macam.”
“Jack d’Reaper aja dokter, tapi dia ngebunuhin orang.” Sidney berujar sinis, tidak mau mengalah.
Wina memutar matanya, “teori konspirasi itu.”
Sidney melemparkan tatapan ‘yang benar saja,’ tapi memutuskan untuk tak membalas Wina, malas meladeni kakaknya yang mengigau tengah malam.
“Pokoknya, ini Kakak bilang sama kamu buat jaga-jaga aja biar ada yang tahu Kakak pergi kemana. Jadi kalau ada apa-apa kamu punya informasi nyari Kakak di mana.”
“Nah kan, Kakak aja takut kalau terjadi apa-apa. Jadi mending gak usah!” Sidney benar-benar tidak setuju keputusan kakaknya yang tidak pikir panjang. Terlebih lagi, dia punya firasat buruk akan dijadikan kaki tangan, kalau itu terjadi bagaimana nasibnya nanti?
Wina memutar matanya, “gak bakal terjadi apa-apa.”
“Kakak tau dari mana?”
“Soalnya—“
Tiba-tiba saja pintu terbuka, itu membungkam Wina dan Sidney secara bersamaan. Kepala Mama muncul di antara celah pintu, menatap kedua anak gadisnya dengan curiga. “Kalian ngapain tengah malam begini? Kenapa belum tidur?” Tanyanya, dan masuk ke dalam kamar.
Sidney melemparkan pandangan menuduh pada Wina.
Wina menelan ludah, dan berdiri, sambil lalu melemparkan bantal dipelukannya ke wajah Sidney yang lalu berteriak. “Gak ada, Ma, itu…” ragu-ragu, Wina bahkan tak berani menatap ibunya. “Neneknya Ditha meninggal.” Ujarnya cepat dengan suara rendah, takut dia kehilangan keberanian.
Dibelakangnya, Sidney spontan memutar matanya, menggeleng kepala pelan. Tak percaya Kakaknya bisa berbohong kepada ibu mereka semudah itu. Calon-calon penghuni neraka nih!
“Hah, ya ampun, kok bisa?” Mama Wina memegang dada terkejut.
“Sakit, makanya Wina besok boleh ikut keluarganya ke Bandung, Ma? Nemenin Ditha.” Wina menelan ludah, gugup setengah mati. Baru kali ini dia berbohong seperti ini kepada orang tuanya.
Ibunya menghela napas, merasa kasihan pada teman anak gadisnya. Jadi dia bisa mengerti permintaan Wina, kemudian dengan tatapan prihatin dia mengangguk. “Nanti biar Mama telepon orang tuanya Ditha—‘
“Jangan Ma!” Tanpa sadar, Wina meninggikan suaranya. Bisa gawat kalau ibunya menghubungi Ditha.
Mengernyit bingung, wanita yang bahkan belum setengah baya itu menatap Wina dengan aneh. “Kenapa jangan?”
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
