“Win, tadi lu nyatet gak?” Rifka menguap, wajahnya tampak lelah.
Mata kuliah pertama mereka baru saja selesai, dan Wina sedang merapikan alat tulisnya ke dalam tas. Gadis itu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Rifka. “Kenapa?”
“Gue gak nyatat.” Rifka menghampiri Wina, kembali menguap.
“Belum ada yang penting juga kan, masih perkenalan dosen dan peraturannya, apa yang perlu di perhatiin?” Menutup tasnya, gadis itu mengernyit melihat Rifka yang untuk kesekian kalinya menguap. “Lu gak tidur tadi malam?”
“Hah?” Di bangku depan, Rifka menegakan duduknya. Mengerjap beberapa kali, sebelum kembali menguap. “Maraton dracin, niatnya gue cuma mau nonton dua episode, ternyata bablas sampai setengah.”
Wina menatap Rifka seakan tak tahu harus berbuat apa lagi dengan gadis di depannya itu. Rifka yang menyadari betapa konyolnya dia, hanya membalas tatapan Wina dengan cengiran. Wina menggeleng pelan, dan menyandang tasnya.
Mengikuti Wina yang bergabung dengan beberapa anak menuju pintu keluar, gadis itu mengeluh. “Tapi serius Win, lu harus nonton film yang gue saranin waktu itu, tadi malam gue tamatin sedih banget ceritanya.”
“Gue gak minat yang sedih-sedih.”
“Tapi happy ending kok, cuma happy ending-nya bikin terharu.”
“Happy ending tapi bikin terharu tuh gimana?”
“Jadi kan ya, happy ending buat pemeran utamanya, tapi second lead-nya—AW!” Tengah seru menjelaskan, Rifka terhenti karena menabrak Wina yang berhenti tiba-tiba di depannya. Mengusap tangan pada pangkal hidung, Rifka bergeser untuk menatap Wina. “Kenapa berhenti tiba-tiba sih?”
Namun alih-alih menjawab Rifka, Wina justru terpaku. Tatapannya memandang lurus, pasalnya seorang pemuda dengan kaki panjang yang dibalut jeans hitam dan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, tengah bersandar pada dinding tepat di sebrang lorong yang memisahkan pintu kelas Wina.
Rifka mengikuti pandangan Wina, dan menyerukan ‘ah’ kecil, lalu mengulum senyum. Sementara di sekeliling mereka, beberapa anak perempuan yang tersisa di sekeliling mereka saling berbisik heboh, dan anak laki-laki yang melewati mereka saling memberikan salam pada pemuda itu.
Axel, senior mereka.
Axel mendekati Wina, wajahnya tak menujukan ekspresi namun siapapun yang benar-benar mengenalnya akan melihat kelembutan di mata pemuda itu. “Bisa ngobrol sebentar, Wina Austria?”
Saat ini, Wina yang masuk dalam keadaan trance benar-benar tak menyadari apa yang terjadi di sekelilingnya. Bisik-bisik, pandangan ingin tahu, aura kebencian yang menguar halus, semua itu seakan menghilang. Perhatiannya hanya terpaku pada pemuda yang sekarang berdiri di hadapannya.
“Win!” Rifka menyenggol gadis itu, menyadarkannya dari lamunan.
Mengerjap beberapa kali, Wina akhirnya mendapati kesadarannya dan dengan canggung mengangguk.
Melihat situasi itu, Rifka berbisik. “Gue duluan ya, mau nyamperin Nazwa.”
Sontak gadis berambut panjang itu menoleh pada teman di sampingnya, tatapannya panik. Sementara Rifka pura-pura tak melihat dan pergi meninggalkan Wina. Sialan lu Rif!
***
Wina mengaduk-aduk ice coffee latte-nya, tak berani memandang pemuda yang duduk bersebrangan dengan gadis itu.
Axel membawa Wina ke kafe tak jauh dari kampus, berpikir mungkin gadis itu perlu kembali lagi ke kampus nanti. Tapi sejak mereka sampai sepuluh menit yang lalu, tampaknya Wina bahkan tak mau menatapnya. Axel memajukan tubhnya, meletakan siku di atas meja, dan menopang sebelah pipi dengan telapak tangan, menatap Wina dengan dalam. “Win,…”
Wina kaku, kemudian masih menolak menatap Axel gadis itu menyesap es kopinya. “Hm?”
“Bisa lihat gue sebentar?”
Wina meletakan minumannya, menjilat bibir gugup dan perlahan menatap pemuda itu, lalu terdiam. Ini cowok maksudnya apaan sih?! Mau ngebunuh gue? Ya Tuhan, dia ganteng!
Axel tersenyum tipis, “gimana kaki lu?”
“Hah?”
“Kaki.” Memberi gesture dengan mata, Axel mengarahkannya pada kaki Wina.
Wina mengikuti arah pandang Axel, dan sekejap dia mengerti. “Oh, ini?” menggoyangkan kakinya Wina melanjutkan, “udah gak apa-apa.”
Axel mengangguk mengerti. “Lain kali hati-hati.”
Wina bergumam mengiyakan, dan dengan canggung kembali meminum es latte-nya.
“Win,..”
“Ya?”
Axel tersenyum, tidak cukup tipis kali ini. “Apa lu gak punya pertanyaan untuk gue?”
“Hm? Pertanyaan apa?” Wina melirik Axel, tapi memandang pemuda itu yang terfokus padanya dengan senyum di bibir, Wina kembali tak sanggup, jadi dia sekali lagi berfokus pada latte-nya. Sadar, Win, sadar! Ya ampun!
“Apa aja. Gue bakal jawab apapun itu.”
Mengaduk latte-nya, Wina berpikir. Sebenarnya, dia punya banyak pertanyaan. Seperti, apa maksud dia dengan percakapan waktu itu, atau bagaimana dengan kabar Sonia, atau apa hubungan dia dengan Sonia sebenarnya, atau bahkan apa sebenarnya yang dia inginkan. Tapi dia tidak tahu bagaimana mengungkapkan satu demi satu pertanyaan itu tanpa terlihat putus asa. Jadi pada akhirnya, Wina memilih pertanyaan yang paling sederhana. “Gimana kabar Kakak?” lalu, dia kembali menyesap minumannya.
Mendengar itu, senyum Axel masih tak hilang, malah mungkin semakin jelas. “Baik.”
“Oh.”
“Cuma kangen sama lu.”
“UHUK! UHUK!”
Axel tertawa kecil, duduk tegak dan mengulurkan satu tangan untuk menepuk-nepuk Wina, sementara dia memanggil waiters. “Pesan air mineral satu ya.”
Terbatuk dengan heboh, Wina mendelik pada pemuda yang wajahnya penuh dengan senyum itu.
“Ini, minum dulu.” Menyodorkan sebotol air mineral yang telah dengan sigap Axel buka tutupnya, dia hanya tertawa saat Wina menyambarnya. “Kenapa lu selalu tersedak kalau ngobrol sama gue?” ujarnya main-main.
Sungguh, Wina membenci pemuda itu. Lu pikir gara-gara siapa, hah?!
“Jadi, bagaimana kabar Wina sendiri?” tanya pemuda itu dengan menggoda.
Dari balik botol air mineral yang masih dia minum, Wina menatap Axel dengan meneliti. Dia tidak pernah tahu kalau pemuda itu bisa bermain-main seperti ini, dan senyum menggoda pemuda itu, sebenarnya cukup tampan. Kapan dia gak kelihatan cakep sih? “Baik.” ujar Wina singkat, meletakan botol air mineral di atas meja.
Axel memundurkan tubuh untuk bersandar pada kursi. Melipat tangan di depan dadanya, tatapan pemuda itu tak lepas pada gadis di hadapannya. “Jadi, kalau gak ada pertanyaan lain, bagaimana kalau kita melanjutkan percakapan kita terakhir kali?”
Cengkraman Wina pada botol mineralnya mengerat. Menarik napas panjang, pada akhirnya gadis itu memberanikan diri menatap Axel langsung. “Tapi, aku masih punya pertanyaan.”
“Hm?”
“Apa hubungan Kakak dengan Kak Sonia?” Mencengkram botol air mineralnya, Wina menguatkan diri untuk tak melepaskan pandangan. “Kakak ninggalin aku kemarin itu, karena Kak Sonia kan?”
“Itu—“
Rirrriiingg….
Suara dering dari ponsel Axel yang diletakan di atas meja berbunyi, cukup untuk di dengar keduanya. Baik Axel dan Wina menatap layar yang menampilkan nama ‘SONIA’ dengan cukup jelas.
Seakan ada balon kempis di dadanya. Keberanian Wina menguap, bahkan tiba-tiba saja perasaannya datar. Dengan setengah kesal, gadis itu membuka botol air mineralnya dan menenggak banyak-banyak. Berharap itu akan meredakan amarah yang tiba-tiba saja muncul.
Heran! Kenapa selalu mengganggu di saat yang tepat sih! Apa perempuan itu cenayang?!
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
