Dering ponsel membangungkan Wina dari tidurnya. Padahal untuk bisa sampai tertidur seperti inipun, dia sudah bersusah payah. Meraba-raba nakas di samping tempat tidur, gadis berambut panjang itu meraih ponselnya. Tanpa benar-benar melihat siapa yang menghubungi, dia menekan tombol jawab.
"Halo?"
"Win..."
Butuh beberapa detik bagi Wina untuk mendeteksi suara di balik telepon, sebelum dengan terkejut dia terduduk. "Axel?" Pandangannya menggelap karena bangun dengan tiba-tiba. Wina bahkan lupa untuk menambahkan kata 'Kak' dalam panggilannya.
Axel bergumam membenarkan. "Gue ngebangunin lu?"
Basa-basi! Ini basa-basi kan? "Enggak kok."
"Enggak? Kenapa belum tidur?" Ada teguran dalam nada pemuda itu.
Wina mencibir di dalam hati. Berputar-putar banget! "Nazwa sama Rifka tadi datang, nginap di rumah, jadi baru selesai ngobrol-ngobrol."
"Oh. Terus, mereka di situ sekarang?"
"Enggak, di kamar tamu."
"Oh gitu."
Kemudian hening.
Wina menyisir rambutnya dengan jari, tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan. Sambil lalu melirik jam di atas nakas, itu sudah jam dua. "Um, Kak Axel?"
"Ya?"
"Kenapa Kakak nelpon?"
Keheningan yang lain.
Ini membuat Wina gregetan sendiri. "Kalau--"
"Gue minta maaf soal tadi siang."
Wina tak jadi melanjutkan kata-katanya akibat dipotong, tapi ingatan tentang kejadian tadi siang malah kembali membanjiri pikirannya. Pipinya memerah. "Gak apa-apa." Ujarnya lembut. "Urusan Kakak udah selesai?"
"Um."
"Syukurlah kalau gitu." Sebenarnya, Wina ingin bertanya apa yang terjadi. Siang tadi, Axel tampak terburu-buru, wajahnya kusut, siapa yang tidak akan bertanya-tanya jika begitu. Tapi dia ragu, apa jika bertanya dia terkesan ikut campur?
Pada akhirnya, mereka kembali jatuh pada keheningan lagi.
Satu menit penuh tak ada percakapan yang terjadi, masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Disaat Wina berpikir mereka akan terus seperti ini sampai pagi, akhirnya dia mendengar Axel memanggilnya.
"Win..."
Wina menghela napas di dalam hati. "Ya?"
"Lu harus tidur, ini udah jam dua lewat."
Wina terdiam. Lu pikir, gara-gara siapa gue gak bisa tidur?!
"Gue tutup teleponnya, oke? Selamat malam." Lalu begitu saja, tanpa menunggu Wina menjawab, Axel sudah menutup teleponnya.
Wina tercengang. Menjauhkan ponsel dari telinganya, gadis itu menatap layar ponselnya yang perlahan menggelap. Pikirannya sementara kosong, samar-sama merasakan deja-vu. Ini cowok maksudnya apa sih?!
***
Duduk di bangku besi yang keras, Axel memandang ponsel yang perlahan menggelap di tangannya. Wajahnya pucat, dan kelelahan tampak jelas dari sorot matanya. Dia belum tidur--tidak bisa tidur.
Nelpon Natasha? Riko berdiri di hadapan Axel, mengulurkan gelas kertas berisi cairan gelap. Nih, kopi.
Mengangkat kepalanya, Axel menatap Riko, seakan bertanya-tanya sejak kapan pemuda itu berdiri di hadapannya, sebelum meraih gelas yang menguarkan bau kopi instan yang agaknya menyegarkan pikiran sejenak. Thanks.
Riko membalas dengan gumaman, kemudian duduk di sebelah pemuda itu, menyesap kopi miliknya sendiri. Lu kelihatan capek, gak pulang aja?
Axel menggeleng dua kali, menatap pantulan samar dirinya pada permukaan gelap kopi.
Lu tahu kan, itu bukan salah Lu?
Axel tak menjawab, masih terpaku pada kopi, pikirannya melayang.
Riko menatap sahabat di sampingnya dengan prihatin. Mengulurkan tangan, dia merangkul punggung Axel yang membungkuk. Dulu, waktu kami masih SMA, pernah ada berita tentang perselingkuhan ayahnya. Pada saat itu, banyak media yang menyorot ini. Di sekolah kami, berita itu sempat meledak sebelum ditarik beberapa hari kemudian. Tapi lu tahu, pada waktu itu dia bersikap seakan tak terjadi apa-apa. Seakan berita itu gak mempengaruhinya. Dia masih bergaul, masih bermain, masih tertawa seperti biasanya. Gue pikir, Gila nih cewek mentalnya kuat banget. Dan itu bikin gue mulai tertarik sama dia.
Lalu suatu ketika, kami pergi ke laboratorium bahasa untuk pelajaran bahasa Inggris. Saat itu, ponsel gue ketinggalan di kelas, jadi gue balik untuk ngambil. Tapi apa lu tahu apa yang gue liat waktu balik ke kelas? Riko mencengkram pundak Axel tanpa dia sadari, menoleh pada pemuda itu dengan senyum yang tak mencapai mata.
Tanpa menepis tangan Riko, Axel hanya menoleh pada pemuda itu dengan tatapan datar.
Tak menunggu Axel menjawab, Riko melanjutkan. Di paling sudut ruangan, gue lihat dia lagi meringkuk dengan cutter di atas pergelangan tangannya.
Ada kejutan yang melintas di mata Axel yang selama ini dingin. Dia—
Masih dengan senyum aneh itu, Riko mengangguk. Dia mau nyayat pergelangan tangannya. Ujarnya tanpa nada.
Mata Axel membulat.
Tapi apa lu tahu, melepas rangkulannya, Riko mencengkram kopinya dengan dua tangan. Menunduk menatap permukaan kopi seperti yang dilakukan Axel sebelumnya. Waktu gue rebut cutter itu, dia cuma natap gue dengan perlahan dan bilang, Kenapa diambil? Aku cuma mastiin, aku masih hidup apa enggak. Karena rasanya terlalu hampa.. Kembali menoleh pada Axel, kali ini ada senyum tipis di wajah pemuda yang biasanya selalu ceria itu. Saat itu gue sadar ada yang salah sama dia, tapi detik itu juga gue memutuskan kalau gue akan ngelindungi dia apapun yang terjadi.
Lu suka dia. Tidak ada kejutan dari nada Axel, seakan dia memang hanya menyampaikan fakta.
Di luar dugaan, Riko tertawa kecil. Gue pikir lu udah lama tahu.
Ya, Axel mengangguk, kembali menatap kopinya. Gue udah lama sadar, makanya sejak awal gue bilang sama lu kalau gak ada apa-apa antara gue sama dia. Menghela napas, Axel menyesap kopi mencecap rasa pahit tanpa gula yang begitu tajam. Alisnya mengernyit, sebelum kembali menurunkannya dan menoleh pada pemuda yang duduk di sampingnya. Tapi mendengar langsung dari lu dan mereka-reka jelas dua hal yang berbeda.
Senyum Riko timpang. Waktu gue tahu dia suka sama lu, gue pikir mungkin gue bakal rela jika itu demi kebahagiaan dia.
Dia suka sama gue? dengan membuka mata lebar-lebar, Axel menampilkan keterkejutan di wajahnya.
Riko mencibir menghina. Lu bodoh atau cuma minta dipukul aja sih?
Axel menghela napas, menyandarkan punggung pada dinding di belakang tubuhnya dan menatap langit-langit. Gue bercanda. Gue tahu dia suka sama gue, karena itu gue kasih tahu dia soal Wina sejak awal. Gue pikir dia bisa nerima itu, lagipula selama dua tahun ini baik-baik aja. Makanya, gue gak nyangka dia— Axel tak melanjutkan kata-katanya, hanya berdecak ringan.
Di sebelahnya, Riko ikut-ikutan menatap langit-langit. Gue udah bilang ini bukan salah lu. Ini hanya hal yang memang akan dia lakukan. Sama seperti waktu berita perselingkuhan ayahnya pada saat kami SMA, ini bukan yang pertama kalinya dia melampiaskan emosinya dengan menyakiti diri sendiri.
Tapi tetap aja, kalau gue tahu—
Kalau lu tahu, lu bakal ngelepas Natasha untuk dia?
Axel menoleh, pada satu titik Riko sudah menatap Axel lebih dulu. Mereka saling melemparkan pandangan seperti itu untuk beberapa saat, sampai Axel yang kemudian menghela napas dan menggeleng, kembali menatap langit-langit. Enggak, tentu aja enggak.
See? ujar Riko singkat, mempertegas segalanya.
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
