Wina membuka pintu rumah dengan wajah lelah, perutnya lapar dan rasanya dia ingin berlari ke dapur. Tapi memikirkan bahwa dia baru saja pergi jauh, rasanya tidak nyaman untuk makan sebelum membersihkan diri. Jadi dengan sedih dia memutuskan untuk naik ke kamarnya dan membersihkan dirinya terlebih dahulu.
“Dari mana saja kamu?”
Wina baru saja mau menaiki tangga, saat suara Mama menghentikannya. Mengangkat kepalanya, di atas tangga dilihatnya Mama menatap dengan tajam dan mencengkram pegangan tangga dengan satu tangan. Seketika itu juga Wina merasakan firasat buruk.
Menelan ludahnya, Wina mencoba memberanikan diri. Mungkin Mama hanya terlihat marah karena dia pulang sore. “Kan kemarin Wina udah kasih tahu, Ma, Neneknya Ditha—“
BRAK!
Mama memukul pegangan tangga dengan keras, dan itu menciutkan keberanian Wina yang secara spontan mundur selangkah—ketakutan. Entah bagaimana, gadis itu punya firasat buruk kalau Mama sudah tahu kebenarannya.
Menuruni tangga, Mama melewati Wina yang menegang. “Kemari kamu,” suara Mama tenang, dan dia berjalan menuju ruang tamu. Duduk di salah satu sofa, kemudian menyilangkan kakinya. “Duduk di situ.” Mama menunjuk sofa di depannya.
Wina yang mengikuti Mama dibelakang, duduk dengan jantung berdegub keras. Melepas ransel yang dia pakai, gadis itu meremas-remas tangannya gugup.
“Sekali lagi Mama tanya, kemana saja kamu dua hari ini?” Suara Mama masih tenang, tapi itu justru terdengar lebih menakutkan.
Wina tak menjawab, dia hanya menundukan kepala dan meremas-remas tangannya semakin kuat. Rasanya jantungnya dicengkram, dan dia mau nangis.
“Jawab, Wina, kemana saja kamu dua hari ini?”
Pada akhirnya, Wina tidak tahan, dan air mata jatuh setetes demi setetes di atas tangannya yang teremas.
“Wina!”
Tersentak, Wina mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata, “Ma, Wina minta maaf.” Ujarnya akhirnya, dengan isak yang sesekali menyelingi, gadis itu mungusap wajahnya menghapus air mata yang masih tak kunjung berhenti.
“Kenapa kamu minta maaf sama Mama?” Suara Mama dingin, jelas Mama menahan amarah.
“Karena Wina udah bohong, hiks,” lengan baju Wina sudah basah karena dia mengusap air matanya di sana, dia bahkan tak berani mengambil tisu di atas meja. “Wina gak kerumah Ditha, Wina—hiks—pergi ke Semarang.” Tangis Wina semakin keras, sekarang selain ketakutan dimarahi, itu juga dicampur dengan rasa bersalah.
Mama memukul meja, yang membuat Wina tersentak. “Kenapa kamu bohong sama Mama?!” Suara Mama akhirnya meninggi.
Itu membuat Wina semakin terisak, “Wina takut dimarahi.”
“Jadi kamu lebih memilih berbohong sama orang tua kamu? Pergi jauh-jauh cuma buat nemuin laki-laki yang gak tahu asal usulnya? Kamu gak punya harga diri?”
Wina terdiam, berusaha keras agar isak tangisnya tak terdengar begitu keras, sementara kepalanya semakin tertunduk. Gadis itu bahkan berharap sofa yang dia duduki memiliki gigi yang bisa melahapnya habis.
Tapi jelas Mama tidak peduli dengan perasaan Wina saat ini, dan melanjutkan amarahnya. “Pergi diam-diam begitu, kamu gak takut kalau ada sesuatu yang terjadi sama kamu diluar sana dan orang rumah gak tahu?” Mama berhenti sejenak, membakar ubun-ubun Wina dengan tatapan tajam. “Kamu itu masih SMA, Wina! Masih tanggung jawab Mama sama Papa. Apa pernah Mama ngajarin kamu kayak gini? Jadi anak gak penurut, dan tukang bohong? Masih remaja saja kamu udah susah diatur kayak gini, mau jadi apa kamu nanti dewasa?”
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
