Chapter 28

1.5K 164 53
                                        

Setelah renungan malam yang membuat mata para mahasiswa baru bengkak. Akhirnya setelah membuka penutup mata, mereka sadar kalau sekarang tengah dikumpulkan di lahan parkir yang cukup jauh dari area kemah. Menyadari kalau rute mereka dari tadi hanya berputar-putar saja, beberapa anak yang semula menangis hingga terisak kuat sekarang di nodai perasaan kesal.

Tapi tak ada yang mengatakan apa-apa, tentu saja. Dengan patuh, mereka duduk setengah melingkar dengan tiga lapisan agar muat dan tak terlalu jauh dari api unggun yang dibuat di tengah-tengah. Di depan mereka, para senior berkumpul, menatap wajah-wajah juniornya dengan kepuasan tersendiri.

Banyak anak yang melihat para senior itu mencibir di dalam hati, tapi tak sedikit juga yang berpikir bahwa ospek yang mereka jalani ini tak sepenuhnya tak berguna. Kalau dipikir-pikir, selama perjalanan mereka sejak tadi, cukup banyak hal yang berarti yang baru mereka sadari. Karena itu, menatap Riko yang saat ini berdiri di tengah para maba tak memiliki terlalu banyak keluhan.

Saat ini, mereka sudah berada di penghujung acara.

"Selama ospek, kami meminta kalian untuk mengisi buku ini dengan tanda tangan para senior," Riko mengangkat buku catatan yang mereka kumpulkan siang tadi. "Gunanya adalah agar senior dan junior bisa saling mengenal, dan nantinya bisa saling tolong menolong. Bagaiamanapun, sebagai mahasiswa baru, kalian akan tetap membutuhkan senior kalian. Jadi kalau tidak saling mengenal, bagaimana itu bisa terjadi? Karena itu, kami mewajibkan ini. Tapi ternyata, ada di antara kalian yang tak memenuhi itu sampai tuntas."

Jantung Wina berdetak kencang. Dia tidak tahu apakah ada yang lain yang tak memenuhi buku tanda tangan itu, yang jelas salah satunya pasti dia.

"Karena ada beberapa orang yang melakukannya, gue gak akan manggil kalian satu-satu." Riko kembali melanjutkan. "Teman-teman kalian juga tidak ingin membuang waktunya untuk melihat kalian di hukum." Wajah pemuda itu angkuh luar biasa. Dinginnya Axel memang menakutkan, tapi Riko jelas tipe yang menyimpan dendam dan memastikan dibayar dengan berkali lipat. "Tapi bukan berarti kami akan melepas pelanggar begitu saja." Lanjutnya. "Karena itu, gue akan panggil satu perwakilan yang setelah hasil diskusi kami merupakan yang paling parah dari kalian."

Detik ini, Wina punya firasat buruk. Karena bagaimanapun, siapa lagi selain dirinya yang bahkan tak mendapatkan tanda tangan Sonia dan Mika?

"NIM SING015-20. Natasha Vienna."

Menutup mata sembabnya rapat-rapat, jantung Wina mencelos. Sekalipun dia sudah menduganya, tetap saja gadis itu tak siap.

"Oke, Natasha Vienna, ayo maju ke depan."

Dengan lesu dan hati penuh doa, Wina berdiri dan beringsut mendekati Riko. Kepalanya menunduk. Kegugupannya bahkan menutupi rasa berdenyut di kakinya.

Riko menggeser bahu Wina agar menghadap ke teman-temannya yang duduk tak jauh dari mereka. Membiarkan Wina menjadi pusat perhatian. "Jadi, ini adalah teman kalian yang bahkan tidak hanya tidak menyelesaikan tugas yang diberikan, tanda tangan yang bahkan tidak dia selesaikan adalah milik, Sekretaris BEM dan seksi kedisiplinan kita." Riko menoleh menatap Wina yang menunduk semakin dalam. "Ternyata adik ini cukup berani ya."

Kenyataannya, bukankah Riko seharusnya tahu kenapa Wina tidak bisa meminta tanda tangan mereka? Di dalam hati, Wina mengeluh.

"Seharusnya, orang yang bersangkutan yang memberikan hukuman. Tapi baik Sonia dan Mika tidak hadir—"

Wina mengerutkan dahinya, dan menoleh menatap Riko. Itukah sebabnya dia tak melihat mereka berdua sejak siang tadi? Karena mereka bahkan tak ada?

"—jadi sebagai perwakilan, kami persilahkan Ketua BEM yang memberikan hukuman." Riko nyengir, menghilangkan keangkuhan yang semula ada dan menatap Wina dengan pandangan menggoda.

Clockwork MemoryWhere stories live. Discover now