Tiga tahun yang lalu…
“Kenapa hari ini gak online?” Wina memilin-milin rambutnya, senyum diwajah yang tercipta karena seseorang meneleponnya susah hilang. Matanya menatap langit-langit kamar, sementara dia berbaring di tempat tidur. Sejujurnya, dia bahkan sudah berniat untuk masuk alam mimpi, tapi entah sejak kapan telepon sebelum tidur menjadi sebuah kebiasaan.
“Ada sesuatu tadi.”
Tangan Wina berhenti, begitupula senyum konyolnya. Ada yang salah dari nada seseorang yang sedang meneleponnya, Wina pikir pasti sesuatu sudah terjadi. “Kenapa?”
Hening sesaat, Wina bahkan sampai memeriksa ponselnya untuk mayakinkan bahwa koneksi masih tersambung.
“Apa terlalu banci kalau aku bilang gak apa-apa?”
Wina bangun dan duduk bersila, menatap lampu kamar tidur di atas nakasnya dengan melamun. “Bukan terlalu banci,” gadis itu memulai, “tapi itu bikin aku khawatir. Mungkin aku memang belum benar-benar kenal kamu, tapi gimanapun juga aku kan pacar kamu.” Ya, pacar. Baru hari minggu kemarin dia menerima pemuda yang sekarang menghubunginya—Axel Pranata.
Sebenarnya menyebutkan status mereka didalam pembicaraan, rasanya masih agak canggung.
“Oh iya, pacar ya.” Ada tawa dalam kata-kata itu.
Wina mendengus, “jadi kamu kenapa tadi?” Tanyanya setengah merajuk.
“Cie, yang ngambek.”
“Xiel.”
“Coba ulangi?”
“Apa?”
“Panggil namaku.”
Wina menghela napas, “jangan ngalihin pembicaraan. Kamu tadi kenapa?”
“Serius, Wina Austria, aku mau dengar kamu manggil namaku. Itu bakal ngebuat aku merasa jauh lebih baik.”
Wina tak percaya itu, dia tahu kalau Axel hanya menggodanya. Tapi pada akhirnya, Wina tetap menuruti pemuda itu, dan memanggil namanya dengan sejelas mungkin. “Axel Pranata.”
“Bukan, bukan nama panjangku.”
“Duh kamu maunya apa sih?!” Kesal Wina, kenapa pembicaraan mereka jadi unfaedah.
“Panggil ujung namaku, kayak yang kamu ucap tadi.”
“Apaan? Xiel?”
Axel tertawa kecil, “iya itu, tapi yang lembut coba.”
Menarik napas panjang, Wina menggertakan giginya, “Xieeeeelllll! Puas?”
Axel kembali tertawa, “nah gitu. Aku suka waktu kamu manggil aku kayak gitu. Kamu gak ngucap ‘Xel’, tapi Xiel. Rasanya kayak Bahasa perancis, dan katanya Bahasa perancis itu Bahasa teromantis di dunia.”
Wina terbatuk-batuk, tersedak oleh ludahnya sendiri. Dia bahkan tak sadar kalau dia memanggil Axel seperti itu. Bersyukur karena mereka hanya menggunakan saluran telepon, Wina mengipasi wajahnya yang memerah. “Apaan sih! Kamu mikirnya kejauhan! Udah ah kalau kamu lagi gak mau cerita, aku mau tidur aja!”
Tertawa semakin keras, Axel merasa bersyukur dengan betapa mudahnya Wina teralihkan. Seakan dia mendapat amnesti. Pada akhirnya, pemuda itupun mengucapkan selamat malam untuk Wina sebelum menutup teleponnya.
Tapi yang Wina tidak tahu adalah, bahwa sebelumnya Axel benar-benar berada dalam mood yang hancur. Meskipun apa yang kemudian Wina lakukan hanyalah hal sepele, namun mendengarkan suara gadis itu, mendengarkan dia memanggil nama Axel dengan penuh kekhawatiran, itu jelas menaikan semangat pemuda itu lagi.
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
