Wina menggulir pesan obrolan di ponselnya, maju mundur bolak-balik. Ekspresinya datar, membaca pesan yang hampir di hapalnya di luar kepala.
“Ada chat baru?” Nazwa melangkahi kursi panjang untuk duduk di depan Wina, meletakan mangkok berisi bakso yang baru saja di pesannya.
Rifka yang mengikuti memilih duduk di samping gadis berambut panjang itu, sambil menggeser mie ayam yang dia pesan untuk Wina kehadapannya. “Kayaknya enggak ya?” menatap wajah Wina yang datar, gadis itu menimpali.
Wina meletakan ponselnya di meja dalam keadaan layar di bawah. Menarik mangkok yang diberikan Rifka dan mengaduknya. “Sibuk kali.” Jawabnya, agak sedikit ketus.
Nazwa dan Rifka saling pandang.
Wina tak mengatakan apa-apa lagi, mulai memakan mie ayam dalam keheningan yang membuat canggung.
Mengaduk bakso seakan tak membahas soal pesan sebelumnya, Nazwa mulai mencoba memecah suasana kaku. “Ngomong-ngomong, kalian udah ngisi KRS? Masuk hari apa aja? Cocokin jadwal sama gue.”
Bersyukur dengan kepintaran Nazwa, Rifka mengangguk dan merebut topik itu. “Oh gue sama Wina masuk senin, selasa, rabu, sama jumat.”
“Yah rabu gue libur, kamis jumat malah masuk.”
“Wah, sama dong.” Duduk di samping Nazwa, seorang pemuda meletakan tasnya di atas meja.
Nazwa menoleh, menatap pendatang yang melihat es teh manisnya dengan posesif. “Kak Riko?”
Mengangkat kepala, Wina menangkap Riko dengan matanya.
“Gue haus, minta es teh manisnya ya.” Ucapnya, namun jelas sebelum kalimat itu lengkap tangannya sudah terulur untuk mengambil gelas dan langsung menyesapnya.
Nazwa memandang pemuda di sampingnya dengan tak percaya. “Gue belum bilang iya, Kak.” Sinisnya, tapi kemudian seakan tak mau ambil pusing, dia kembali memakan bakso di mangkoknya. “Ngapain ke sini, btw?”
Hampir manghabiskan es teh manis Nazwa, Riko akhirnya merasa lega. Pemuda itu kemudian menghela napas panjang. “Ya sama kayak kalian, ngisi KRS.” Ujarnya.
Wina melirik, menggigit-gigit bibir jelas ingin bertanya. Tapi gadis itu tidak tahu bagaimana mengungkapkannya tanpa terlihat sangat ingin tahu. Sejujurnya dia benar-benar bertanya-tanya tentang kabar Axel, tentang Sonia, tentang dimana pemuda itu. Apakah normal jika seorang laki-laki menyatakan cinta untuk menghilang di hari berikutnya. Nyatanya, Wina tidak benar-benar tidak peduli dengan perasaan pemuda itu.
Nazwa melirik Wina, sadar betul dengan pemikiran sahabatnya ini. Mengunyah bakso di mulut untuk di telan, kemudian dia menatap Riko yang sudah mengeluarkan ponselnya. “Kakak sendirian ke sini?”
“Yep.” Jawab pemuda itu singkat.
Nazwa mengutuk ketidak pekaan katingnya itu. Memutar setengah tubuh agar berhadapan dengan Riko, gadis berambut pendek itu meletakan lengannya di atas meja dengan rasa kesal. “Kenapa sendiri? Biasanya dengan Kak Axel.”
Riko juga memutar tubuhnya, dan berhadap-hadapan dengan Nazwa, ada senyum jahil yang bermain-main di wajahnya. “Kenapa harus berputar-putar? Tanya aja langsung.” Kemudian dia melirik Wina, yang buru-buru sok sibuk dengan mie ayamnya. Seringai pemuda itu melebar. “Kalian nanyain Axel kan?”
Nazwa memutar matanya. “Kan barusan gue nanya.”
Riko mengedikan bahu. “Dia di rumah sakit.”
Cengkraman Wina pada garpunya mengerat. Tapi dia masih menundukan kepala setia menatap mie ayamnya.
“Jadi berita itu benar? Kak Sonia sakit?”
“Yep.” Riko kembali menatap ponselnya, dan sibuk mengetik. “Dia sakit, dan Axel nemenin dia dari kemarin di rumah sakit. Sonia masih belum stabil, dan dia masih butuh Axel.”
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
