Chapter 19

3K 309 25
                                        

Nazwa menulis dengan serius, sementara Wina di sebelahnya hanya menatap kertas kosong tak tahu harus menulis apa. Lebih parah lagi, Rifka bolak balik hanya menghembuskan napas yang pada akhirnya membuat Nazwa jengah.

“Lama-lama sesak napas lu, Rif,” ujar gadis itu datar.

“Gue masih kebayang-bayang kejadian tadi, Kak Sonia seram, sumpah. Padahal katanya dia baik banget.” Rifka memeluk tubuhnya, agak merinding.

“Dari awal gue juga udah gak suka sama dia. Kok kayaknya sempurna banget, agak mencurigakan.”

"Bukan karena iri?" Rifka memasang tampang polos.

Mendengar itu, Nazwa hanya melemparkan rumput yang dihindari Rifka sambil nyengir.

Masih bengong menatap  kertasnya, Wina tiba-tiba berujar. “Tapi dibanding Kak Mika, Kak Sonia sebenarnya lebih sopan.”

Nazwa mendelik. “Mau jadi orang sok suci lagi lu? Udah digituin masih aja ngebelain dia.”

“Ya bukannya ngebelain,…” Wina terdiam, tak bisa melanjutkan pemikirannya. Bahwa dia mengerti kenapa sikap Kak Sonia bisa jadi seperti itu, benar kata Nazwa, cewek mana yang suka ngeliat cowoknya flirting cewek lain di depan mata. Jika itu Wina, dia juga pasti cemburu. Jadi, bisa mengharapkan apa lagi dia?

Walau gue yakin Kak Axel gak ada niat flirting.

“Win, lu beneran udah gak ada rasa sama Kak Axel?” Rifka, yang hanya diam saat suasana memanas ketika bersama Sonia tadi, tiba-tiba saja bertanya. Gadis itu menatap Wina dengan ragu, atau bisa dibilang curiga. “Karena jujur, sikap lu terkait Kak Axel itu agak ambigu,” lanjutnya.

Tertegun, Wina tak benar-benar tahu harus menjawab apa. Jika dia tidak mengenal Axel sebagai kisah masa lalunya, Wina mungkin dengan tegas bisa mengatakan kalau dia menyukai pemuda itu. Dia bahkan mungkin tak akan peduli meski Axel sudah punya kekasih, itu kan hanya perasaan tidak akan menyakiti siapapun. Tapi yang dihadapinya ini berbeda. Dia mengenal Axel, bukan hanya sekedar sebagai senior di sekolah barunya. Demi Tuhan! Itu mantannya!

Wina bahkan dengan tegas berjanji pada dirinya untuk tak jatuh pada pesona pemuda itu. Tapi sebenarnya jauh dilubuk hati, Wina mungkin menyadari kalau dia hanya membohongi diri sendiri.

“A—ambigu gimana? Perasaan lu doang itu. Kan gue udah bilang kalau gue udah move on.” Wina membuka tutup pulpennya, menatap kertas dan berpura-pura mulai sibuk berpikir.

Mata Rifka menyipit, sementara Nazwa menyilangkan tangan di dada. Semula mereka hanya curiga, tapi sekarang rasanya mereka bisa menebak jawaban sebenarnya gadis itu.

Wina jelas merasakan tekanan mereka, akhirnya mendengus dan dengan berani menatap kedua temannya. Tatapan mereka mengintimidasi, Wina bahkan bisa membayangkan mereka melepas kulit Wina satu persatu kayak pisang. Itu mengganggu Wina, dan membuat gadis berambut panjang itu jengah. Akhirnya, menghempaskan pulpennya ke atas kertas, Wina balik memandang mereka dengan menantang, mengikuti Nazwa melipat tangan di dada. “Oke, apa? Kalian mau ngomong apa sebenarnya.”

“Gak ada, cuma mau lu jujur.” Rifka masih mengejar.

Wina menggigit bibir, “gue kan udah jujur.”

“Kalau emang lu gak ada rasa, kenapa dari tadi lu nyariin Kak Axel? Kenapa lu nerima aja semua perlakuan Kak Axel ke elu? Kenapa lu kelihatan bersalah waktu tadi berhadapan sama Kak Sonia?”

“Ya karena dia senior kita, Rifka.”

“Tapi itu gak ngejelasin kenapa lu nyariin dia, kenapa lu nerima aja perlakuan dia, dan kenapa lu kelihatan bersalah di hadapan Sonia, Win.” Nazwa, terdengar cuek namun tatapannya memandang Wina serius.

Clockwork MemoryOù les histoires vivent. Découvrez maintenant