"Makasih," mengambil minuman yang disodorkan Axel, gadis itu tersenyum manis menepuk tempat kosong disebelahnya. Mengisyaratkan Axel untuk duduk disampingnya. "Aku lagi mau ngasih tanda tangan buat adik kelas nih." Ujarnya, mengedikan kepala kearah Wina dan Rifka.
Pada saat itu, akhirnya Axel mengalihkan perhatian pada mereka. Sedikit keterkejutan kemudian terpantul di matanya, hanya sedetik sebelum digantikan oleh wajah yang acuh.
Wina masih menatap Mika, tapi genggaman tangannya pada Rifka menguat, membuat gadis itu tersentak kecil dan meringis. Sudah cukup dia harus menghadapi Sonia, kenapa sekarang harus ditambah Axel juga? Wina banyak-banyak nyebut dalam hatinya.
"Enaknya mereka disuruh apa nih?" Mika, menyilangkan tangan di dada dengan tatapan mengintimidasi.
Sonia meraih buku catatan yang diulurkan Rifka, senyumnya masih tampak diwajah, bahkan sepertinya semakin lebar. Kemudian dia menatap Wina dengan tatapan berminat. "Gak usahlah, kasihan."
"Ya gak seru dong, Son." Mika berdecak, menatap Sonia dengan tidak setuju. "Lagian lu jangan terlalu baik sama adik kelas, nanti malah ngelunjak lagi." Melihat Wina sinis dengan ujung matanya, Mika menyindir terang-terangan. "Udah digalakin aja masih ada aja yang cari gara-gara, gimana kalau kita baik-baik?"
Wina menggertakan gigi. Sejujurnya, dia masih enggan bertatapan dengan Axel. Apalagi kejadian dibelakang fakultas tadi belum lama berlalu. Jadi, gadis itu mati-matian berusaha mengabaikannya, gengsi.
"Ya udah-ya udah,..." Sonia masih mempertahankan senyum, kemudian dia menatap Axel yang kemudian duduk disampingnya sambil tertawa main-main. "Enaknya kita suruh apa ya, Yang?" Suaranya manis, terkesan manja.
Rasanya Wina mau muntah darah!
"Gak perlu."
Tersentak, Wina mengerjapkan mata beberapa kali saat suara Axel yang tanpa nada mencapai telinga gadis itu. Pada akhirnya matanyapun bergeser memandang Axel, sementara pemuda itu mengambil buku catatan Wina dan Rifka dari tangan Sonia yang perlahan kehilangan senyum, agaknya terkejut dengan jawaban Axel. Dia kemudian dengan enteng menandatangani buku itu lalu menyerahkannya kepada Wina. Balas memandang gadis itu dengan tatapan yang lebih dingin dari daratan Antartika.
"Gak minat ngerjain yang satu ini." Lanjutnya, tak melepaskan kontak.
Wina rasa, saat ini dia pasti di teluh. Soalnya, sekarang di dalam dadanya rasanya sakit, dia bahkan bisa membayangkan darah mengalir dari lubang imajiner di jantungnya. Sementara tangannya meraih buku catatan yang disodorkan Axel dengan gemetar, tatapannya masih terkunci pada pemuda tampan itu.
Ini bukan seperti di novel-novel atau komik-komik Jepang, yang ketika beradu pandang dengan tokoh utama pria akan menimbulkan percikan listrik di udara. Ini lebih seperti film horor, detik-detik ketika sang pembunuh ingin menusuk jantung korbannya. Jadi meski ada cerita di balik masa lalu Wina dan Axel, gadis itu tak merasakan nuansa romantis dari tatapan mereka saat ini. Bagaimana dia bisa merasakan suasana romantis, jika tulang punggungnya sekarang terasa menggigil!
"Makasih, Kak. Kalau begitu saya permisi." Tenggorokannya kering, suaranya terdengar serak. Tanpa menunggu jawaban, Wina kemudian menarik Rifka pergi dari situ. Begitu terburu-buru hingga Rifka nyaris tersandung.
Waktu tadi berdua, lu nanya kejadian tiga tahun lalu seakan-akan itu penting buat lu. Tapi sekarang di depan pacar lu, lu ngebully gue! Axel Pranata, jangan harap gue bakal jatuh cinta lagi sama lu! Baik dulu dan sekarang, perasaan gue sama lu itu cuma khilaf!
"Duh, Win! Tunggu, pelan-pelan. Lagian kok kita langsung pergi? Gak jadi minta tanda tangan Kak Sonia?"
"Enggak!"
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
