Wina tak fokus, tidak seperti yang dipikirkan teman-temannya bahwa dia mengkhawatirkan giliran penampilannya nanti, gadis itu khawatir tentang sesuatu yang lain. Berulang kali tangannya meraba leher yang terasa kosong, menggigit bibir dengan pikiran penuh untuk memiliki kekuatan mempercepat waktu agar dia bisa pergi diam-diam.
Tapi tentu saja itu tak mungkin, ini kan bukan dunia fiksi ilmiah.
“Gugup banget sih, Win.” Rifka menyisir rambut Wina, dan menyanggulnya dengan rapi ke belakang.
Dengan terlihat sengsara Wina menoleh, yang dihadiahi decakan keras dari Rifka. Sanggul yang susah payah dia buat kini berantakan lagi. “Gue bukannya gugup.”
“Terus?”
Menelan ludah, Wina melirik kiri dan kanan. Sebagian besar anggota kelompok mereka kini tengah sibuk mendandani Panji, pasangan Wina untuk fashion show malam ini. Menatap Rifka yang kini jauh lebih tinggi darinya karena berdiri di atas batu untuk memudahkannya mendandani Wina, gadis itu berbisik pelan. “Kalung gue hilang.”
“Apaan? Kalung? Lu pakai kalung?”
Wina mengangguk melas.
“Bukannya kita gak boleh pakai perhiasan?”
“Makanya gue bisik-bisik ngasih tahunya, supaya gak ada yang dengar.” Wina menarik Rifka turun.
Rifka menghela napas, “hilang dimana?”
“Gak tahu, sebelum ngumpulin-ngumpulin daun tadi, gue masih make. Terus gue sadarnya pas gue ganti kaos buat make daun-daunan ini.” Dengan penuh dendam dia memandang ‘gaun daun’ yang digunakannya. “Mungkin jatuh pas gue ngambil daun.”
“Ya ampun, Win. Terus gimana? Kita kan gak mungkin nyari sekarang, apa kita minta tolong anak-anak buat bantuin nyari?”
“JANGAN!” Reflek Wina berteriak, membuat teman-teman satu kelompoknya yang berdiri tak terlalu jauh dari mereka serentak menatapnya.
“Kenapa, Sha?” Risti yang bingung, akhirnya menghampiri.
“Gak apa-apa, Ris.” Wina melambaikan tangan dengan panik, lalu mengirimkan kode dengan mata pada Rifka.
“Terus kenapa lu teriak?”
“Dia nolak saran gue buat nyuruh dia buka kaosnya, inikan gaun tanpa lengan, aneh banget kalau make kaos.” Jelas Rifka lancar.
Wina hanya menaikan alis.
“Kalau gue jadi Natasha gue juga pasti ogahlah, Rif. Make daun kayak gitu langsung, bisa gatal-gatal. Lagian lu aneh-aneh aja.” Risti geleng-geleng tak percaya. “Ya udah, lu lanjut dandanin si Natasha deh, gue ngurusin Panji dulu. Rese tuh anak, banyak maunya.” Tambahnya, mungkin berpikir bahwa tak ada masalah Risti pun berlalu.
Selepas kepergian Risti, Wina melemparkan tatapan menuduh pada Rifka.
Gadis itu mengedikan bahunya, “lu yang ngirim sinyal minta tolong.”
“Tapi alasan lu ngada-ngada banget, untung Risti gak curiga.”
"Gak usah banyak protes, yang penting hasil bukan proses."
“Lu kebanyakan gaul sama Nazwa! Perasaan, pertama gue kenal lu, lu manis dan gak berbahaya deh.”
“Bahkan mawar aja berduri, Win.”
Wina memutar matanya.
Rifka memutuskan untuk tidak ambil pusing, “jadi, gimana kalung lu.”
Pertanyaan itu membuat gadis berambut sepunggung itu kembali tak tenang. “Gak tahu, mungkin kalau nanti udah pada tidur, gue bakal balik ke tempat gue ngambilin daun tadi deh buat nyari kalung.”
YOU ARE READING
Clockwork Memory
RomanceNatasha Vienna (Wina), seorang mahasiswi baru yang tengah bersemangat menjalani awal kehidupan kampusnya. Bertekad untuk memiliki banyak teman dan berhubungan baik dengan para senior, bertemu dengan seorang ketua BEM yang menjadi idola satu fakultas...
Chapter 20
Start from the beginning
