Epilog

279 15 2
                                    

3 bulan kemudian..

"Hei, Maiden!"

"Henry.. mau pesan bunga apa?"

"Mawar putih, lima tangkai."

"Okay! Segera datang!"

Maiden kembali masuk ke dalam kios bunganya.

"Lima tangkai bunga mawar putih."

Aku menerima buket bunga itu dan memberikan uangku.

"Thanks, Maiden."

Aku mencium bunga mawar segar itu. Wangi mawar yang segar memasuki hidungku. Seketika membuatku tenang.

"Biar kutebak, untuk kekasihmu, Henry?"

Maiden memangku dagunya dengan kedua tangannya.

"Sok tahu! Ini untuk sahabatku!"

"Dia perempuan?"

"Hm.. dia sangat cantik! Sudah, aku pergi dulu."

"Hati-hati, Henry!"

Maiden tersenyum sambil melambaikan tangannya.

Aku melihat jam tanganku.
Masih pukul tujuh pagi.

Kukendarai mobilku menuju lokasi yang ingin kutuju.

~

Kubelokkan mobilku pada lapangan parkir sebuah tempat. Aku menyunggingkan senyumanku melihat tempat yang ku kunjungi.

Sebuah area pemakaman.

Aku berjalan sambil membawa buket mawar putih itu, dan berhenti di sebuah batu nisan.

'Park Florence (1910-2020)'

"Hei, Flo. Apa kabarmu di sana?"

"Ini, kubawakan bunga mawar untukmu. Kau pernah bilang padaku, kau suka bunga mawar putih 'kan? Jadi kubawakan untukmu."

Aku memandangi pusara Florence sambil tersenyum.

"Kau pasti sudah bahagia di sana. Kau tahu? Aku sangat bahagia bisa menjadi sahabatmu. Dari tahun 1930 sampai aku sekarang. Pertama kalinya aku bertemu denganmu itu adalah hal yang paling berkesan untukku. Aku tidak akan bisa melupakan senyumanmu dan gelak tawamu padaku. Bagiku, itu adalah simfoni yang indah di telingaku. Suaramu yang lembut, memanggil namaku. Aku sangat menyukai itu."

Aku memegang batu nisan itu.

"Flo.. jadilah pendoa untukku.."

Aku menoleh saat merasa seseorang selain aku akan mengunjungi makam Florence.

Sunny.

"Hei, Henry."

"Hei, Sunny."

"Kau.. barusan datang kemari?" tanya Sunny.

"Iya, baru saja."

Sunny menaruh buket bunga yang sama denganku di sebelahku.

"Kau ternyata juga tahu, kalau nenekku sangat suka bunga mawar putih."

Sunny terkekeh.

"Ah, tentu saja kau lebih tahu, kau sudah bersahabat dengan nenekku sejak tahun 1930. Karena mesin waktu fantastismu kau bisa bertemu nenekku."

Aku tersenyum.

"Kau tahu? Nenekku sering sekali menceritakan dirimu padaku. Dia selalu menyebutmu sebagai beruang salju berhati murni. Dan selalu bercerita bagaimana persahabatan yang tulus itu. Terkadang, kau tidak perlu seribu orang untuk menjadi sahabatmu. Cukup satu orang saja yang benar-benar bisa mengerti dirimu dan bisa menerima semua kekurangan yang kau miliki. Kata-kata itu yang sering ia ucapkan kepadaku. Dan sampai sekarang aku masih mengingatnya."

Time TravellerWhere stories live. Discover now