36

89 12 0
                                    

"Aku tidak paham ini." ucapku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Bagaimana ini.. aku mengandung anak Ryan. Aku.. aku tidak tahu kalau saat aku melakukan 'itu' hari itu adalah masa suburku.."

Eleanor semakin menangis.

"Aku belum siap.. aku tidak mau melahirkan tanpa ayah."

Aku meneguk buttermilkku. Dan melirik Eleanor.

"Kalian benar, Ryan memang brengsek. Dia hanya menginginkan tubuhku. Bukan hatiku ataupun cintaku."

"Aku..aku sungguh mencintainya, tapi inikah yang kudapat? Aku tidak mau seperti ini. Aku masih ingin jadi wanita karier. Karierku masih panjang."

Eleanor menangis.
Aku hanya memandangi Eleanor dengan tatapan kasihanku. Memang aku sunggung kasihan dengan Eleanor, dia sudah menjadi korban Ryan. Untung saja, Flo sudah berakhir dengan Ryan. Setidaknya dia aman.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

"Bolehkah aku menjawab pertanyaan Eleanor?" bisikku pada Flo.

"Tentu saja, Henry-oppa. Kau boleh menjawabnya. Aku tidak tahu harus menjawab apa."

"Ehem.. begini, Eleanor. Mengapa kau tidak diskusikan saja pada Ryan? Dia seharusnya bertanggung jawab."

"Kau sudah mewakili jawabanku, Henry-oppa. Gomawo."

Aku tersenyum.

"Aku sudah membicarakan ini dengan Ryan, tapi lihat yang dia lakukan padaku."

Perlahan, Eleanor membuka coatnya.

Aku dan Flo membelalakkan mataku.

Memar.
Memar di kedua lengan Eleanor.

"A-apa-apaan ini, Eleanor?! Apa Ryan menyiksamu?" tanya Flo.
Aku hanya terdiam menelan ludahku sambil melihati memar-memar di lengan Flo.

Eleanor mengangguk.

"Masih ada lagi."

Perlahan, Eleanor membuka roknya.

Memar semakin banyak di pahanya.
Aku bergidik ngeri.

Eleanor menangis lagi.
Flo membantu menutup tubuh Eleanor dengan coat Eleanor.

"Apa yang harus kulakukan..?"

"Apa aku harus menggugurkan kandunganku ini?"

"Jangan! Jangan digugurkan! Dia tidak bersalah, Eleanor. Jangan berpikiran untuk menggugurkannya!" ucap Flo.

Flo mengelus perut Eleanor yang terlihat  membuncit.

"Dia akan menjadi harta karun terindahmu. Dia yang akan menjadi malaikat penyelamatmu. Jangan hilangkan nyawanya."

"Apa jenis kelaminnya?"

"Laki-laki."

"Jangan, dia yang akan menjadi penjagamu. Dia akan melindungimu."

Eleanor menghapus air matanya.

"Aku akan kerepotan dengan pekerjaanku."

"Kalau kau benar-benar merawatnya dengan penuh cinta, kau tidak akan merasa kerepotan sama sekali. Justru, kau akan berusaha untuk melindungi pangeranmu."

Aku melihat Eleanor tersenyum. Dia tersenyum dengan manis.

"Kau benar, aku akan membesarkan bayi ini. Aku sungguh berharap, dia akan menjadi penjaga untukku dan malaikat kecil untukku."

Ah, aku ingin menangis rasanya.
Di sini mellow sekali.
Aku mengambil gelasku dan akan meneguk buttermilkku.

"Tuan, Anda mau tambah buttermilk lagi?" tanya bartender itu.

"Huh? Tidak buttermilkku masih ada."

"Tapi gelas Anda kosong."

"Oh?"

Aku melihat gelasku.
Kosong.
Flo dan Eleanor menertawakanku.
Aku tersenyum malu.

"Ah, iya. Buttermilk satu."

"Kau beruntung, Flo. Memiliki sahabat yang benar-benar bisa menjadi pelindungmu. Kalau bukan karena Henry dan ketulusannya.."

"Mungkin kau akan berakhir sama sepertiku."

Flo mengelus pundakku dan tersenyum padaku.

Eleanor memegang perutnya.

"Baiklah, i'm ready to bear this child. By myself. Aku akan menjadi wanita yang kuat!"

"Kau pasti bisa, Eleanor." kata Flo.

"Thank you, Florence. That means a lot for me."

"Henry.."

"Ya?"

"Gomawo.."

Aku tersenyum.

"Ah, aku akan kembali ke rumahku. Aku harus mulai merawat bayi ini."

Eleanor berdiri dari kursinya.

"Hati-hati, Eleanor." ucapku.

Aku dan Flo memandangi Eleanor yang berjalan ke arah pintu keluar Bar.
Ia berbalik.

"Aku akan menamai anak ini 'Henry'. Agar dia memiliki ketampanan sepertimu, Henry."

"Aku akan menjadi ibu yang bahagia!"

Deg!

Boxy smile mengembang di kedua sudut bibirku. Aku mengangguk.

"Kau akan bahagia, Eleanor!"

Eleanor mengangguk, dia keluar dari Bar.

Flo memandangiku.

"Hei, ada apa?"

Flo mengambil buku catatannya.

"Pukul setengah enam sore, di Bailey's Bar. Henry-oppa sangat hebat !! Dia sangat memotivasi!"

Aku terkekeh dan mengelus puncak kepala Flo.

~~

22.00

"Henry.."

"Hei, Johan! Odi issoyo?"

"Supermarket, aku menemani Noel membeli susu pisang."

"Anyeong! Henry!"

Aku melambaikan tanganku pada Noel.

"Aku tidak sabar, kau kembali kesini. Nanti kau ceritakan padaku ada apa di sana."

"Iya, nanti aku cerita."

"Henry."

"Ada apa, Johan?"

"Kami sudah tanyakan pada paman Arthur. Kami tidak bisa mengubah programnya, program itu sudah diatur sejak dari pertama kali mesin waktu itu di rancang. Kau akan otomatis kembali ke masamu. Maafkan kami, Henry."

Aku menghela napasku dan tersenyum.

"Tidak apa-apa, Johan. Aku akan kembali berdasarkan program itu. Bilang pada Arthur, kalau aku kembali. Siapkan CapJae dan Jajjangmyeon untukku."

"Arthur sedang membeli bahannya. Dia sedang di rak bahan makanan."

"Aku tahu kau memang tidak ingin berpisah dengan Florence. Tapi-"

"Tidak apa-apa, Johan. Florence mengerti."

"Benarkah?"

Aku mengangguk.

"Dia sama sekali tidak ingin lupa denganku. Jadi, dia menulis setiap kegiatan yang dilakukannya bersamaku. Agar dia tidak lupa padaku."

"Itu manis sekali."

Aku terkekeh.

"Dia juga mengambil fotoku diam-diam dengan kamera polaroidnya Arthur. Dan menyimpan fotoku, aku masih ingat dia menyimpan fotoku saat aku sedang makan sundae. Itu manis sekali."

Johan menyunggingkan senyuman gemasnya. Gummy smilenya.

"Baiklah.. aku ingin tidur.. selamat malam."

"Hm.. selamat malam."

Aku mematikan video callku, dan menarik selimutku.

~~

Time TravellerOù les histoires vivent. Découvrez maintenant