35 : Comeback

6.2K 350 52
                                    

......

-3 Years Later-

Angin berhembus dengan kencang. Bir memeluk Jenata dengan kencang pula karna Jenata berhasil lulus dengan nilai terbaik.

Tidak sia-sia Bir mendedikasikan hidupnya untuk Jenata, walaupun sudah uangnya yang jadi masalahnya. Sampah berkali-kali Jenata ingin berhenti karna masalah uang dan berkali-kali juga Bir tak membiarkan itu terjadi.

"Aku yang terbaik!" Jenata memeluk Bir dengan erat. Hingga siapapun yang melihatnya akan berspekulasi bahwa mereka berdua adalah pasangan kekasih.

Tapi, tentu itu salah besar. Jenata dan Bir sudah seperti kakak-beradik yang tinggal serumah. Meski terkadang keduanya berkelahi untuk hal yang tak penting.

"Congrats!" teriak Bir sambil terus memberikan pelukan terhangatnya untuk Jenata. Memberikan pelukan terbaiknya untuk satu-satunya temannya yang mau menemaninya dari nol.

Bukan sebagai teman hidup, tapi, sebagai teman satu perjuangan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan.

Jenata memang dasarnya tak memiliki teman sama sekali. Jenata terlalu malas untuk berteman, saat seperti ini Jenata sendiri hanya Bir yang setia bersamanya.

"Begitu cepat waktu berlalu," ucap Bir menggantung ucapannya.

"Aku akan pulang, seperti janjiku pada diriku sendiri. Aku merindukan Mom and Dad."

"Aku tidak bisa menemanimu." sahut Bir, ada sedikit penyesalan dalam ucapannya.

"Tak apa, aku akan datang kesini lagi."

"Jangan datang lagi."

"Why?"

"Karna aku... akan secepatnya menyusulmu!" senang Bir sambil tersenyum.

Jenata memukul Bir dengan kencang. Kesal jelas saja Bir tak pernah mengatakan apa-apa.

"Ayo pulang. Kita rayakan ini!" ajak Bir Jenata hanya mengangguk setuju.

Diperjalan mereka berdua nampak terus tertawa kadang-kadang memperdebatkan hal yang tidak ada faedahnya. Seperti misalnya, kenapa angin tidak kelihatan, kenapa kita tidak naik taxi saja, atau kenapa kita berjalan, dan kenapa bisa kau jadi yang terbaik? Sesederhana itulah hal yang bisa membuat mereka bertengkar.

"Terimakasih luka, kau mengajarkan betapa indahnya menyembuhkannya. Seperti awan yang berwana putih, hatiku tak sesesak dulu lagi."

Jenata tersenyum menatap langit.

"Cepat untuk apa melihat sesuatu yang mengelilingimu?" tanya Bir heran. Melihat Jenata yang terus menatap langit.

"Kita perlu melihatnya, agar saat itu menghilang kau tidak kaget."

"Lagit tak akan hilang."

"Sudahlah." Jenata menyudahi perdebatan mereka. Tak ingin lagi berdebat dengan Bir yang mungkin tidak terlalu normal.

Mereka hanya berjalan, meski memerlukan waktu lama.

"Jangan naik taxi, kita bukan sultan." kata-kata yang selalu ditekankan Bir saat Jenata ingin naik taxi.

"Aku tidak pernah merasa semiskin ini sebelumnya." kekeh Jenata nampak mengasihani dirinya sendiri.

"Ayo semangat sebentar lagi kita sampai!" semangat Bir yang menarik tangan Jenata keatas biar lebih semangat.

MISS JENATA [Revisi Lagi]Where stories live. Discover now