[17] KEHIDUPAN BARU

66 25 4
                                    

Inilah awalnya, kau harus terbiasa. Karna kehidupan yang sebenarnya sudah menanti dirimu.
.
.

HAPPY READING
SYAILA STORY’








“Udah, kita harus pergi dari kota ini.” Ucap Joy kepada kami berdua.

Aku mengangguk lalu menaiki bus bewarna Biru ini. Lalu ku ucapkan salam perpisahan dengan kota dimana aku dilahirkan.

“Selamat tinggal Padang, aku akan merindukan mu”


🌅🌅🌅


“Kita udah sampai dimana Bund?”


“Sabar nak, sebentar lagi.” Jawab Riana pelan, mungkin ia lelah karna perjalanan panjang ini.

Aku lantas ber-oh ria, perjalanan ini terlalu membosankan. Aku duduk dengan Riana sedangkan Joy di kursi yang lebih jauh di depan. Perjalanan ini hanya dipenuhi oleh sesak napas para penumpang, dan juga suara pedagang perkedel jagung yang dari tadi mondar-mandir menjajakan barang yang dijualnya.

Ini sudah hampir 4 jam perjalanan, untung saja aku memakai jam tangan, jadi aku tak perlu bertanya ke Riana. Aku penasaran, bagaimana rumah kami di Pekanbaru, setahuku, kami tidak memiliki kenalan apalagi sanak saudara di kota itu.

Rintik hujan membasahi jendela bus berukuran 45x28 cm itu. Aku selalu suka hujan. Bermain dibawah nya seperti melodi indah di hidupku. Hujan mengajarkan ku, bahwa bahagia itu bisa dirasakan oleh siapa saja, dan aku slalu bahagia jika bermain dibawah derasnya hujan.

Hujan, kali ini aku membencimu. Hujan slalu turun ketika perasaan ku kacau dan berlarut dalam kesedihan, namun setelah itu perlahan semua akan membaik kembali. Namun hari ini aku membencimu, entah mengapa kehadiran mu tidaklah tepat. Ingin rasanya aku bermain dibawah mu, tapi tidak bisa. Jika saja aku bisa melihat pelangi seusai hujan ini reda, itu mungkin bisa memperbaiki suasana hati ku sekarang.


Perlahan mata ku mulai terasa berat. Konsentrasi ku mulai buyar. Mungkin aku harus beristirahat, daritadi aku hanya termenung, sedangkan perjalanan ini masih panjang. Aku memutuskan untuk menyederkan kepala ku ke jendela yang ada disamping ku.










“Masa iya ini rumah kita yah, kayak kandang bebek gini disebut rumah?!” ucapku tak terima, melihat kenyataan bahwa hidupku kini bak telur di ujung tanduk.

“Kamu harus bisa bersyukur, banyak orang diluar sana yang hanya untuk makan saja tidak mampu, apalagi mempunyai tempat tinggal yang layak. Tau diri kamu sebagai anak mana?!” teriak Joy marah.

“Layak darimana ayah?!, ini kolom jembatan! Kotor, becek, bau sampah!. Layak darimana nya coba?!”

“TUTUP MULUT KAMU SYAILA!” teriak Riana penuh emosi.

“KELUARGA KITA ITU JATUH MISKIN GEGARA DIDI! AYAH SAHABAT YANG KAMU BELA-BELA ITU, KAMU SADAR GAK SIH?!”


“KITA ITU UDAH MISKIN! JADI ANAK JANGAN MANJA!” tambah Joy.








“TIDAK!!”





“Kamu kenapa Dek?” tanya Riana khawatir. Seisi bus melihat kearah ku dengan tatapan menyelidik. Aku terkejut, perasaan ku tadi kami udah sampai di Pekanbaru, dan itu hanya mimpi saja.


“Gapapa bun,”  jawabku, lalu aku meminum air putih yang diberikan oleh Riana.



Riana bernapas lega, “Kita udah sampe, kamu lapar?”


Aku mengangguk pelan, lalu aku membantu membopong barang-barang yang dibawa Riana, sekaligus koper besar yang berisi perlengkapan pribadi milikku.


Kami berhenti di Terminal Halaban, nama yang aneh. Tapi terminal ini jauh lebih elit dari terminal sebelum nya. Disini lebih bersih, keamanan yang terkendali dan juga tempat makan yang menggiurkan para perantau jauh. Hujan masih turun, namun tidak selebat tadi, hal itu menyebabkan perut kami membunyikan gong nya.


“Ayah pengen makan bakso Galaksi itu deh, bunda mau kan?” ucap Joy tak sabar.


“Bunda ngikut aja deh yah” jawab Riana pasrah, soal selera suami nya ini tidak bisa ditolak, kalau ditolak ngambek nya sampai berhari-hari.


Kami berjalan menuju Kedai Bakso itu, dari luar saja bau kuah nya sudah tercium. Tidak tebayang nanti betapa menggoda nya kuah kaldu dan juga dagin yang empuk. Pas untuk hari gerimis seperti saat ini.


“Bang, bakso galaksi nya 3 porsi. Yang sedang aja” teriak Joy dari tempat duduk kami yang agak jauh dari jangkauan abang bakso nya.


Joy menatapku aneh, “Kamu kok murung gitu sih sayang?”

Aku menatap Joy dengan tatapan lesu, karna faktor lapar, juga beban pikiran. “Gapapa yah”


“Kamu gak bisa lho kayak gini, ada apa?” tanya Riana mengelus kepala ku.


“Apa yang ayah sembunyikan dari aku?” tanya ku tepat mengenai sasaran.


Joy tersenyum, “Kamu ingat saat ayah berbicara tentang harta terbesar ayah adalah kamu?”

Aku mengingatnya, perkataan Joy yang paling menyentuh hati kecilku.


“Ayah bersyukur, ayah hanya kehilangan semua yang bersifat duniawi. Tidak terbayang oleh ayah jika harus kehilangan kalian”


Aku terkejut, semua yang bersifat duniawi?, “Maksud ayah?”






“Ayah bangkrut nak..”






BUG! Perkataan Joy barusan tepat sasaran. Semua mimpi itu menjadi kenyataan. Bak putri tidur, semua nya terasa nyata. Aku terdiam, tak tau harus berkata apa, disatu sisi aku benci takdir ku seperti ini, sisi lainnya aku merasa iba melihat keterpurukan Joy.




“Kamu harus terbiasa, kita akan tinggal di rumah kontrakan untuk sementara, ayah akan mencari pekerjaan agar perut kita bertiga tetap terisi, dan soal sekolah kamu, ayah urus dulu” jelas Joy.


Aku masih fokus dengan lamunan ku, seketika diriku merasa tidak diadilkan oleh takdir. Tanpa menghiraukan perkataan Joy.



“Kamu tidak terima keputusan ayah?”


“Hm? Eh, i-ya ayah, Syaila mengerti” bohong ku.


Riana dan Joy tertawa lega, “Baguslah, anak kita penurut ya sayang”


Dan pesanan kami pun tiba, “Ayo, keburu dingin, mumpung anget ini kuah nya”



Aku mengambil mangkok bakso itu dengan malas, seluruh nafsu makan ku hilang. Tanpa sadar aku mengambil botol saos yang ku anggap kecap dan menuangkannya di mangkok ku. Riana yan melihat gelagat aneh ku lantas bertanya.


“Itu saos kok  nuangin nya banyak banget? Sejak kapan adek suka pedes?” ucap Riana menahan tawa.


“Eh, iya tadi mau ambil kecap malah saos” jawab ku kikuk.



“Sini minum dulu astaga” ucap Joy tertawa.



Lalu terbesit di benak ku, mungkin perkataan Joy ada benarnya. Masih beruntung aku memiliki keluarga yang lengkap, dan bisa tertawa seperti ini. Mungkin diluar sana, banyak yang merindukan kehangatan keluarga yang aku alami setiap hari.



“Lanjut gih bun, ayah makan nya”






*****





~To be continued

Syaila [Completed]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz