[25] Sebuah Nasehat

6.1K 788 46
                                    


Maapken tipona nyaaa🤒😘

~~~

"Jangan ngebut ya, Nies."

Dennies mengangguk, ia mengambil helm yang ia letakkan di jok belakang motor besarnya, kemudian memakainya. Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, namun ia masih berada di rumah Bi Arum hingga kini, dan belum pulang ke rumah ayahnya sejsk siang tadi. Dennies biasa saja, karena bukan hal aneh baginya yang hanya pulang ke rumah ayahnya hanya untuk menumpang tidur. Ya, bisa dibilang begitu.

Sebenarnya, ayahnya juga sempat menelpon Dennies beberapa waktu yang lalu, namun Dennies mengabaikannya.

"Bi, Dennies pulang dulu ya, bilangin ke yang lain," ucap Dennies, kemudian mulai menyalakan motornya.

Mendengar itu, Bi Arum tersenyum. "Iya, nanti Bibi bilangin."

Dennies mengangguk, kemudian mulai menjalankan motornya untuk pergi meninggalkan pekarangan rumah Bi Arum.

Sepanjang perjalanan, Dennies hanya diam sambil menatap lurus jalanan yang dilewatinya. Pikirannya kembalu menerawang jauh. Hari ini, adalah hari di mana tepat 10 tahun wafatnya Ibu dan juga Papahnya, Kahfa. Tidak terasa, sepuluh tahun sudah Ibu pergi meninggalkan Dennies sendiri. Membiarkan Dennies berjuang melawan arus kehidupan yang menerjang ia dengan begitu kerasnya. Air mata, pengorbanan, perjuangan, kecewa, marah, Dennies sudah mengalami semua hal itu. Iya, seorang diri.

Hebat, bukan?

Tes.

Setetes air mata jauh dari pelupuk mata Dennies. Untung saja ia memakai helm, jadi tidak ada yabg tahu jika ia sedang menangis. Dennies sudah berusaha tegar, ia sudsh berusaha menjadi kuat, namun ia hanya manusia biasa, yang kadang berada di fase di mana ia lelah dengan semuanya, dan kadang menangis sedikit mampu menjadikannya lebih kuat untuk bertahan walau sesak.

"Ibu, Dennies udah hapal surah waqi'ah loh."

"Wah, masya Allah, anak Ibu emang pinter, sini Ibu cium dulu."

Tes.

Ibu, Dennies sangat merindukannya, amat. Rasanya, Dennies ingin menceritakan semuanya pada Ibu. Dennies ingin menceritakan bahwa ia sudah bisa menjadi anak yang kuat. Ia yang masih bisa tersenyum walau sesak mendera dadanya, ia yang masih tetap berdiri kokoh walau puluhan batu menimpuk hatinya. Ia yang bahkan masih bisa tetap berjalan walaupun begitu banyak serpihan kaca yang menghalangi langkahnya.

Ya, Dennies sekuat itu.

Andai saja Ibu masih ada, Dennies pasti tidak akan pernah merasa sesakit ini. Ia pasti tidak akan pernah merasa sesepi ini. Setidaknya, ia bisa membagi keluh kesahnya pada Ibu. Tapi nyatanya—

Lamunan Dennies terhenti, sepertinya ia terlalu lama melamun hingga tak teras kini motor besarnya sudah melaju memasuki area pekarangan rumah keluarga Ayahnya. Dennies menghela napas menyadari itu. Ia, memasukkan motornya ke dalam garasi rumah, kemudian sesampai di sana, ia tidak langsung pergi meninggalkan garasi. Dennies terdiam sejenak, is membuka helm yang di pakainya, dan menatap sekeliking garasi yang nampak sepi.

Tidak ada siapapun, seperti biasa, garasi itu dipenuhi oleh kendaraan mahal yang awalnya hanya bisa Dennies lihat di televisi atau internet. Dennies turun dari motornya, mrnyimpan helm pada jok belakannya, dan perlahan kakinya ia langkahkan untuk keluar dari garasi menuju pintu utama rumah. Hal pertama yang ia lakukan sebelum masuk adalah, menyentuh matanya. Ya, tadi ia menangis, tidak ada satu orang pun yang boleh mengetahuinya. Mengusap kasar matanya, akhirnya Dennies membuka pintu rumah itu.

DENNIESWhere stories live. Discover now