[19] I am No Accepted

7.3K 946 95
                                    


Ini nggak sedih sama sekali kok ya, belum masuk yang sedih - sedih lagi:')

Hepi reding♥

~~~

~~~

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

...

Dennies membuka pintu rumah dengan malas. Sejujurnya, ia enggan untuk menapakkan kakinya di rumah, namun ia tetap bertahan di sini, di rumah yang isinya merupakan orang-orang yang dahulu sudah berpartisipasi dalam memisahkan Ayah dan Ibunya. Oh God! Rasa sakit itu tak pernah hilang, bahkan setiap hari semakin menjadi. Terlebih, saat Dennies melihat Ayahnya yang tersenyum dengan keluarganya; anak-anak dan istrinya. Senyum itu, bagaikan peluru panas yang mengenai tepat di jantungnya. Semuanya tidak mudah bagi Dennies.

"Heh, jangan jorok, di rumah ini kamu tidak boleh duduk sembarangan!"

Dennies yang baru saja duduk di kursi ruang keluarga sontak menoleh, mendapati Andini yang sedang menatap dengan tatapan tajam ke arahnya. Dennies menghela napas pelan, sebegitu bencinya kah Nenek-nenek tua itu pada Dennies? Dan lagi, bukankan ini ruang keluarga? Tempat di mana keluarga besar Ayahnya berkumpul. Kenzie bahkan sering tidur terlentang di sini dengan badan yang kotor. Semuanya berhakkan duduk di ruangan ini?

Kecuali, jika Nenek tua itu menganggap jika Dennies bukan bagian dari keluarga ini. Huft, ia lupa jika ia memang bukan bagian keluarga ini. Semenjak Ayahnya pergi meninggalkannya, Dennies sudah menganggap jika ia tidak memiliki sosok Ayah yang lain selain Kahfa, dan setelah Papahnya itu meninggal, Dennies merasa bahwa sosok Ayah yang selama ini dirindukannya telah tiada. Walaupun nyatanya ia ada, tapi tak memungkiri jika Dennies bahkan enggan untuk menemuinya. Hingga pada akhirnya, ia di sini juga. Tinggal bersama Ayahnya.
"Hanya anggota keluarga yang boleh duduk di sana!"

Benar, ia kan bukan bagian dari keluarga ini. Dennies berdecih pelan kemudian. Padahal sebenarnya, seperti anak yang lainnya, Dennies juga ingin kedatangannya disambut. Namun ia segera menepis pemikiran itu. Terlalu banyak berharap dan menginginkan sesuatu hanya membuatnya semakin sakit. Karena jelas, harapan dan keinginannya itu tidak mungkin pernah menjadi kenyataan.

"Oh," Dennies tak ingin lama-lama berdekatan dengan Nenek tua itu. Akhirnya, ia bangkit dan mulai berjalan meninggalkan Nenek tua itu sendirian di ruang keluarga.

"Tidak sopan sekali kamu! Berani-beraninya kamu berjalan di hadapan saya?!"

Dennies memberhentikan langkahnya. Dengan tatapan malas, ia menatap Nenek tua itu. "Terus gue harus jalan di mana? Di belakang lo?" ucap Dennies, kemudian ia berbalik dan memutar jalannya di belakang Neneknya itu. "Nih, gue jalan di belakang lo, puas lo Nenek tua?"

Astagfirullah, Dennies berkali-kali beristigfhar dalam hati. Maafkan Dennies. Sejujurnya, ia tidak ingin memanggil neneknya dengan seperti itu. Hanya saja, saat neneknya sendiri tidak menganggap Dennies sebagai cucunya, lalu kenapa Dennies harus menganggap nenek itu adalah nenek yang harus dihormatinya? Dennies juga manusia, perkataan atau bahkan perbuatan orang lain terhadapnya, kadang juga melukai hatinya. Namun sejenak ia tak peduli, tak menghiraukan rasa sakit itu, hingga ketika luka itu semakin membesar, ia sadar bahwa selama ini ia telah membiarkan lukanya bertambah dengan ia yang selalu diam.

DENNIESWhere stories live. Discover now