[7] Akhir dan awal dari sebuah kisah

6.9K 969 92
                                    


Hapunteun typo:)

~~~

"Kalian yakin akan pergi?"

Dennies mengangguk pelan. "Dennies sama Adnan mau ke rumah Bibi Arum."

"Apa Bibi Arum saudara kalian?"

Hening, Dennies melirik Adnan yang sedari tadi hanya menunduk sambil diam di sampingnya. Dennies tahu, pasti bukan hal yang mudah bagi Adnan untuk meninggalkan semuanya. Teman-teman, bahkan guru-gurunya di sini. Orang-orang yang mereka sayangi ada di sini, bahkan makam Ibu dan Papahnya pun ada di sini. Tapi Dennies paham, bahwa hidup bukan hanya tentang menetap di tempat yang mereka inginkan. Ada hal lain, Dennies sebenarnya kurang paham, namun keadaan memaksanya memahami segala hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan oleh anak seusianya. Layaknya anak-anak lain, tugas Dennies seharusnya belajar, bermain dan melakukan hal yang harusnya ia sukai.

Namun sekali lagi, keadaan memaksa Dennies menjadi dewasa di usianya yang masih belia.

"Bukan, tapi sudah Dennies anggap seperti nenek sendiri," ya, hanya itulah jawaban yang keluar dari mulut Dennies. Anak itu, kemudian mengambil amplop yang ada di meja. Ia, menatap wanita berkaca mata di depannya, kemudian tersenyum. "Terimakasih, Bu."

Perempuan itu, merupakan wali kelas Dennies. Dennies, datang hari ini ke sekolah untuk berpamitan sekaligus mengambil uang tabungannya selama enam bulan terakhir. Tidak terlalu besar, namun cukup jika digabungkan dengan uang Adnan untuk bekal perjalanannya.

"Kalau begitu, Dennies sama Adnan pamit ya, Bu," Dennies bangkit, diikuti oleh Adnan yang menatap Bu Guru dengan mata berkaca-kaca. Tanpa berkata-kata, Adnan berlari, anak itu memeluk gurunya dengan tangis tersedu-sedu.

"Bu Guru, terima kasih karena selama Adnan dan Kak Dennies sekolah di sini, Bu Guru sudah banyak memberikan ilmu Bu Guru. Adnan nggak akan lupain Bu Guru, Adnan dan Kak Dennies sayang Bu Guru."

Guru yang diketahui bernama Bu Sara itu, balas memeluk Adnan, kemudian menarik Dennies untuk ia peluk juga. Wanita itu menangis, menangisi nasib malang yang menimpa dua anak murid kesayangannya. Sungguh, seandainya ia bisa, ia ingin menjadi orang tua angkat dari anak seperti Dennies dan Adnan, tapi ia tidak bisa. Terlalu rumit hidup yang dijalaninya.

"Kalian hati-hati di jalan ya?" Bu Sara menghapus air mata yang keluar dari mata Adnan. Ia, kembali memeluk kedua anak itu. "Maafkan Bu Guru yang tidak bisa menolong kalian."

Dennies melepaskan pelukannya dari Bu Sara, kemudian anak itu tersenyum. "Bukannya Bu Guru sendiri yang bilang kalau Dennies dan Adnan itu anak yang pintar? Jadi, Bu Guru nggak usah khawatir, Dennies dan Adnan akan baik-baik aja."

Mendengar itu, Bu Sara hanya mampu tersenyum.

Dennies menggenggam tangan Adnan, anak itu kemudian mengambil tas ransel hitam miliknya, dan kemudian menggendongnya. Begitu juga dengan Adnan yang membawa ransel kecil miliknya. Barang-barang mereka hampir semuanya ludes terbakar, hanya beberapa baju saja yang tersisa, itupun bukan baju bagus. Tapi, untuk sekarang, memiliki baju yang bisa ia gunakan saat bajunya yang telah ia pakai dicuci pun, sudah sangat Dennies syukuri.

"Ayo, Dek," Dennies memberikan tas Adnan untuk ia gendong.

Sambil menghapus air matanya, Adnan mengangguk, dan kemudian menggendong tas yang disodorkan oleh Kakaknya.

"Bu Guru, Dennies dan Adnan pamit, ya," Dennies menyalami tangan gurunya itu. Disusul oleh Adnan tentunya.

Setelah itu, Adnan dan Dennies berjalan keluar. Namun, betapa mereka berdua terkejut saat melihat semua teman-man sekolah mereka yang tampak berdiri berjajat di sepanjang jalan sambil menatap Dennies dan Adnan secara bergantian.

DENNIESWhere stories live. Discover now