[5] You didn't do anything to saved your family

7.5K 908 109
                                    

Aku lagi galau euy, jadi bawaannya pengen ngeik yang sedih sedih aja. Ini, aku sampe update tiap hari lhoo

Jangan lupa lasih vote dan komennya yaa:')

~~~

"Susah, Kak Dennies ajarin Adnan dong?"

Dennies menoleh, kemudian menatap buku yang ditunjukkan oleh Adnan. Anak itu, sedikit menganggukkan kepalanya, tanda ia memahami apa yang ada di buku sang Adik.

"Sini."

Akhirnya, Dennies mengambil alih buku yang dipegang oleh Adnan dan mengambil pinsil yang ia simpan di atas karpet yang kini di dudukinya dengan Adnan. Dennies dan Adnan memiliki jadwal teratur. Walaupun belum cukup usia, Kahfa mengajarkan mereka untuk selalu disiplin dalam masalah waktu. Seperti sekarang ini, setiap sehabis maghrib sampai Isya nanti, adalah waktu untuk dua anak itu mengerjakan tugas sekolahnya. Sementara untuk sehabis isya sampai jam 9 malam, adalah waktu kedua anak itu untuk menyetorkan hapalan mereka. Tidak heran, di usianya yang baru menginjak 7 tahun, Adnan sudah mampu menghapal 15 juz ayat dalam al-Qur'an. Sementara Dennies yang memang mudah ingat, sudah menghapal 20 juz melebihi Adnan. Semua itu, mereka dapatkan karena didikan Kahfa dan Laura yang memang begitu ketat dalam membimbing mereka.

Tak berbeda dengan Dennies, Adnan pun kerap kali menjadi juara di kelasnya. Kedua anak itu, selalu bersaing dalam hal prestasi. Jika Dennies lebih kelihatan kalem dan tenang, dan terkesan pendiam, Adnan justru sebaliknya. Anak itu, akan dengan lantang berbicara jika tidak menyukai sesuatu, ia lebih mudah dalam mengekspresikan perasaannya.

"Adnan, Dennies, waktu ngerjain tugasnya sudah habis, sekarang bersekan kamarnya, Papah dan Ibu nunggu di mushola." Laura tiba-tiba saja datang, kemudian menatap kedau bocah yang jarak usianya hanya terpaut satu tahun itu dengan senyum lembut miliknya. Walaupun sederhana, rumah Kahfa memiliki mushola kecil yang letaknya di belakang rumah, dekat dengan pesawahan yang mendadak akan ramai jika musim panen telah tiba. Pedesaan sekali. Sebenarnya mushola itu bukan berbentuk seperti mushola, hanya sebuah saung beratapkan jerami yang sengaja dibuat Kahfa untuk Dennies dan Adnan, agar mereka suka bermain di sana dan tak bosan saat belajar mengaji bersamanya.

Kembali lagi, sama halnya dengan Dennies, pada akhirnya Adnan pun memanggil Laura dengan sebutan Ibu, pun dengan Dennies yang memanggil Kahfa dengan sebutan Papah. Kebersamaan Kahfa dan Laura, bagaikan orang tua lengkap bagi Adnan dan Dennies yang pada dasarnya hanya memiliki satu orang tua.

"Kak Dennies, tivi kita masih rusak ya?"

Dennies menoleh, kemudian mengangguk. "Iya, Papah belum punya uang deh kayaknya buat benerin tivi."

"Kenapa kita nggak beli tivi baru aja?" Adnan bertanya dengan alis terangkat.

Menanggapi, Dennies menggeleng. "Gak boleh."

"Kenapa? Kak Fathur aja punya tivi empat. Di kamarnya ada tivi juga loh, kemarin Adnan main ke rumah Kak Fathur," Adnan menatap Dennies. "Kenapa kita nggak bisa kayak Kak Fathur?"

Dennies berpikir, kemudian menatap Adnan dalam. "Kalo kita punya tivi, nanti kita buang waktu buat hal yang nggak berguna. Nanti Adnan sama Kak Dennies lebih suka nonton tivi lagi dari pada baca Qur'an."

Adnan bangkit, kemudian mengulurkan tangannya, bermaksud mengajak Dennies bangkit juga. "Adnan mau cepet kerja ah, biar bisa beli tivi, hehe."

Dennies menerima uluran tangan Adnan, kemudian ikut bangkit. "Kalo Kak Dennies udah kerja, Kak Dennies mau beliin Papah motor, biar kalo berangkat kerja nggak pake sepeda lagi. Kasihan, kemarin Kak Dennies liat kaki Papah berdarah karena seharian ngayuh sepeda."

DENNIESWhere stories live. Discover now